PEMBUATAN BIOETHANOL DARI SINGKONG SECARA FERMENTASI
MENGGUNAKAN RAGI TAPE
Ethanol atau etil alkohol C2H5OH, merupakan cairan yang tidak berwarna, larut dalam air, eter, aseton, benzene, dan semua pelarut organik, serta memiliki bau khas alkohol. Salah satu pembuatan ethanol yang paling terkenal adalah fermentasi.Bioethanol dapat diperoleh salah satunya dengan cara memfermentasi singkong.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan bioethanol dari singkong secara fermentasi menggunakan ragi tape.Pada penelitian ini variabel yang digunakan adalah rasio ragi(80 gr,90 gr,100 gr),penambahan nutrien NPK ( 10 gr,15 gr,20 gr),dan lama fermentasi (10 hari.14 hari,18 hari).
Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa pada variabel ragi penambahan ragi 90 gr diperoleh hasil yang paling tinggi yaitu 5,33 % v/v,untuk variabel nutrien penambahan NPK 20 gr dperoleh hasil paling tinggi yaitu 4,98 % v/v,sedangkan untuk variabel lam fermentasi diperoleh hasil tertinggi pada lama fermentasi 14 hari yaitu 4,14 % v/v.dengan persen error rata-rata untuk variabel ragi adalah 96,33%,untuk variabel nutrien adalah 96,66%,dan untuk variabel lama fermentasi adala 97,24%,pada fermentasi ini menggunakan substrat singkong dengan kadar pati 21,6 %.
Kata kunci : Bioethanol,ragi tapai,fermentasi,yield dan persen error
1. Pendahuluan.
Salah satu energi alternatif yang menjanjikan adalah bioetanol. Bioethanol adalah ethanol yang bahan utamanya dari tumbuhan dan umumnya menggunakan proses farmentasi. Ethanol atau ethyl alkohol C2H5OH berupa cairan bening tak berwarna, terurai secara biologis (biodegradable), toksisitas rendah dan tidak menimbulkan polusi udara yg besar bila bocor. Ethanol yg terbakar menghasilkan karbondioksida (CO2) dan air. Ethanol adalah bahan bakar beroktan tinggi dan dapat menggantikan timbal sebagai peningkat nilai oktan dalam bensin. Dengan mencampur ethanol dengan bensin, akan mengoksigenasi campuran bahan bakar sehingga dapat terbakar lebih sempurna dan mengurangi emisi gas buang (seperti karbonmonoksida/CO).
Bioethanol dapat dibuat dari singkong. Singkong (Manihot utilissima) sering juga disebut sebagai ubi kayu atau ketela pohon, merupakan tanaman yang sangat populer di seluruh dunia, khususnya di negara-negara tropis. Di Indonesia, singkong memiliki arti ekonomi terpenting dibandingkan dengan jenis umbi-umbian yang lain Selain itu kandungan pati dalam singkong yang tinggi sekitar 25-30% sangat cocok untuk pembuatan energi alternatif. Dengan demikian, singkong adalah jenis umbi-umbian daerah tropis yang merupakan sumber energi paling murah sedunia. Potensi singkong di Indonesia cukup besar maka dipilihlah singkong sebagai bahan baku utama.
Melihat potensi tersebut peneliti melakukan percobaan pembuatan bioethanol dari singkong secara farmentasi menggunakan ragi tape. Digunakan ragi tape karena ragi tape sangat komersil dan mudah didapat.
Jasad renik yang terisolasi oleh para ilmuwan dari berbagai ragi tape merek-merek dari tempat-tempat yang berbeda dan pasar-pasar di Indonesia adalah suatu kombinasi Amylomyces rouxii, Rhizopus oryzae, Endomycopsis burtonii, Mucor sp., Candida utilis, Saccharomycopsis fibuligera, Sacharomyces cerevisiae, dan beberapa bakteri :Pediococcus sp., Baksil sp (Gandjar et. al., 1983; Gandjar &Evrard, 2002; Ko, 1972; Ko 1977; Ko 1986; Saono et. al., 1974; Saono et. al., 1982; Basuki l985; Steinkraus, 1996). Peneliti-peneliti di dalam Negara Pilipina, Malaysia, Thailand, Vietnam menemukan juga jenis yang berasal dari pribumi sama dari jasad renik di dalam inokulum mereka.
Adonan di dalam ragi tape bersifat amylolytic kuat dan menurunkan pangkat sebagian besar karbohidrat dari beras atau beras diuraikan ke dalam gula-gula yang sederhana yang lalu yang diuraikan lebih lanjut oleh ragi-ragi hingga mengandung alkohol
Tujuan penelitian ini untuk mencari yield bioetanol dari singkong secara farmentasi menggunakan ragi tape untuk mengetahui kondisi optimum dari masing-masing variabel serta membandingkan yield praktis dengan yield teoritis skala industri.
2. Bahan dan Metode Penelitian
Bahan-bahan.
Singkong diperoleh dari kebun di daerah Tembalang.Ragi tape yang digunakan merk NKL solo dalam bentuk tablet putih besar. NPK,Aquades,kertas pH,Glukosa standart,NaOH , fehling A dan fehling B,HCL 0.1 N, Indikator MB
Alat-alat yang digunakan.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Erlenmeyer, Buret, Beaker glass, Pemanas, Statif klem, Pendingin balik, Gelas ukur, Labu takar, Termometer, Selang, Corong, Pompa vakum, Pipet, Adaptor, Kompor listrik, Gelas arloji, Pendingin Leibig, Labu leher tiga, Kertas saring, Neraca analitis, Cawan porselen, Pengaduk.
Cara kerja.
Analisa Pendahuluan
Analisa Kadar Pati : a. Pembuatan larutan glukosa standart ,Larutan glukosa standart dibuat dengan jalan melarutkan 2 gram glukosa anhidrid dengan aquadest sampai 1000 ml.b. Standarisasi Larutan Fehling ,Larutan Fehling A dan Fehling B sebanyak 5 ml diambil dengan menggunakan pipet volume kemudian dicampur dan ditambahkan 15 ml larutan glukosa standart dari buret. Campuran di didihkan selama beberapa menit, dalam keadaan mendidih penetesan larutan glukosa dilanjutkan sampai warna biru hilang. Catat volume titran. Setelah itu campuran ditambahkan 2 -3 tetes indikator Metylen Blue sampai terbentuk warna merah bata. Volume glukosa standart yang dibutuhkan di catat ( F).
Penentuan Kadar Pati dalam singkong :10 gram sampel di tambah dengan katalis HCl 1 N sebanyak 100 ml dipanaskan dalam labu leher tiga selama 1 jam pada suhu 100oC kemudian di dinginkan dan di saring, lalu di netralkan
dengan NaOH. Ambil sampel sebanyak 5 ml, diencerkan sampai 100 m, kemudian diambil sebanyak 5 ml, masukkan dalam campuran fehling A dan fehling B ( masing – masing 5 ml ) dengan pipet volume dan glukosa standart sebanyak 15 ml dari buret. Campuran di panaskan sampai mendidih dan penetesan glukosa standart dilanjutkan sampai warna biru hilang. Setelah itu campuran di tambah 2 – 3 tetes indicator Metylen Blue dan titrasi sampai warna merah bata, catat kebutuhan glukosa standart (M). (Kadar pati = 90% kadar glukosa)
Kadar Glukosa:%10055100)(xWBxNMF−
Proses Fermentasi
Menimbang singkong yang sudah dikukus selama 1/2 jam seberat 1 kg.kemudian masukkan dalam toples lalu menambahkan nutrient NPK ,ragi tape yang sudah dihaluskan, masing masing sesuai variabel yang telah ditentukan.mengatur ph sekitar 5-6 pada suhu ± 30 0 C dan mentutup rapat toples tanpa adanya arasi selama kurun waktu yang telah ditentukan untuk memastikan proses berjalan aerob dan mencegah kontaminasi., setelah mencapai waktu yang telah ditentukan,maka akan terbentuk cairan diatas permukaan bubur singkong tersebut,kemudian disedot dengan pompa vakum lalu masukkan ke dalam erlenmayer dan siap untuk dianalisa.
Respon yang diamati adalah uji kadar pati awal dlam sampel singkong,serta kadar alcohol akhir hasil fermentasi.kadar pati awal dianalisa sebelum proses fermentasi, pengambilan hasil fermentasi untuk variabel waktu adalah 10 hari, 14 hari, 18 hari.
3. Hasil dan Pembahasan
Pengaruh Penambahan Ragi Tape Terhadap Yield
didapatkan hasil yang maksimal pada penambahan ragi tape 90 gr dan menurun cukup drastis pada penambahan ragi tape 100 gr. Semakin banyak ragi tape yang ditambahkan maka etanol yang dihasilkan juga semakin banyak karena dengan semakin banyak ragi yang ditambahkan, maka bakteri yang mengurai glukosa menjadi etanol pun semakin banyak tapi pada penambahan ragi 100 gr cenderung turun hal ini disebabkan adanya ragi yang mati pada saat proses fermentasi berlangsung ,ini ditandai dengan ditemukannya serbuk putih kekuningan pada hasil akhir fermentasi sehingga mikroba yang berperan dalam fermentasi ini pun menjadi kurang maksimal, Jasad renik yang terisolasi oleh para ilmuwan dari berbagai ragi tape merek-merek dari tempat-tempat yang berbeda dan pasar-pasar di Indonesia adalah suatu kombinasi Amylomyces rouxii, Rhizopus oryzae, Endomycopsis burtonii, Mucor sp., Candida utilis, Saccharomycopsis fibuligera, Sacharomyces cerevisiae, dan beberapa bakteri :Pediococcus sp., Baksil sp (Gandjar et. al., 1983; Gandjar &Evrard, 2002; Ko, 1972; Ko 1977; Ko 1986; Saono et. al., 1974; Saono et. al., 1982; Basuki l985; Steinkraus, 1996), Adonan di dalam ragi tape bersifat amylolytic kuat dan menurunkan pangkat sebagian besar karbohidrat dari beras atau beras diuraikan ke dalam gula-gula yang sederhana yang lalu yang diuraikan lebih lanjut
oleh ragi-ragi hingga mengandung alkoho, karena ragi merupakan komponen penting dalam proses fermentasi alcohol ini maka dengan berkurangnya jumlah ragi dalam media maka akan menurunkan konversi alcohol, sehingga menurunkan yield.
Pada proses fermentasi nutrient sangat diperlukan walaupun dalam jumlah kecil.komponen essensial yang kami tambahkan dalam bentuk senyawa N dan P ,maka kami gunakan pupuk NPK( 16% N ,16%P).pada gambar 4 Semakin banyak NPK atau nutrient yang ditambahkan dalam media fermentasi maka etanol yang dihasilkan semakin besar dengan hasil maksimal pada penambahan NPK 20 gr itu terjadi karena suplai nutrient untuk pertumbuhan bakteri semakin tercukupi. Bakteri membutuhkan nutrient esensial seperti nitrogen dan phosphate untuk tumbuh,dengan demikian maka etanol yang dihasilkan juga lebih maksimal.
Pengaruh Lama Fermentasi Tape Terhadap Yield
Gambar 5 Grafik waktu fermentasi(hari) vs yield (%v/v)
Pada gambar 5 Semakin lama waktu farmentasi maka etanol yang dihasilkan juga semakin banyak yaitu pada hari ke 14 karena dengan semakin lama waktu maka makin banyak yang terkonversi menjadi etanol tapi pada hari ke 18 cenderung
turun hal ini, disebabkan karena adanya isolasi yang tidak sempurna pada toples yang membuat proses anaerob yang tidak sempurna,yang membuat proses sedikit aerob sehingga memungkinkan tumbuhnya Acetobacter aceti yang dapat mengkonversi alkohol menjadi asetat yang ditandai rasa masam pada sempel sehingga menurunkan yield. Reaksinya sebagai berikut :
C2H5OH(l) + O2(g) → CH3COOH(l) (asam asetat/cuka) + H2O(l)
Acetobacter aceti
Perbandingan Yield Praktis Terhadap Teoritis Untuk Variabel Rasio Ragi
ragi (gr)
Yield percobaan (gr/gr substrat)
yield teoritis (gr/gr substrat)
persen error(%)
80
0.0203
0.48
95.77
90
0.0211
0.48
95,60
100
0.0206
0.48
95.71
persen error rata-rata = 95.69 %
Tabel 1. Perbandingan Yield Praktis Terhadap Teoritis Untuk Variabel Rasio Ragi
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa persen error rata-rata untuk variabel ini cukup besar yaitu 95.69 % .Bahwa itu menunjukkan ragi tape yang kami gunakan kurang effektif untuk menghasilkan yield yang sesuai teori . Bila ditinjau dari jasad renik yang terkandung dalam ragi : adalah suatu kombinasi Amylomyces rouxii, Rhizopus oryzae, Endomycopsis burtonii, Mucor sp., Candida utilis, Saccharomycopsis fibuligera, Sacharomyces cerevisiae, dan beberapa bakteri :Pediococcus sp., Baksil sp (Gandjar et. al., 1983; Gandjar &Evrard, 2002; Ko, 1972; Ko 1977; Ko 1986; Saono et. al., 1974; Saono et. al., 1982; Basuki l985; Steinkraus, 1996),dapat kita lihat ragi hanya mempunyai sedikit kandungan mikroba yang mampu mengubah senyawa gula menjadi ethanol diantaranya S.cerevisiae.Dari kadar pati yang diperoleh ternyata juga cukup kecil yaitu hanya 21,6 %,sehingga mempengaruhi yield secara keseluruhan.
Perbandingan Yield Praktis Terhadap Teoritis Untuk Variabel NPK
NPK
Yield percobaan (gr/gr substrat)
yield teoritis (gr/gr substrat)
persen error(%)
10
0.0169
0.48
96.48
15
0.0181
0.48
96,23
20
0.0212
0.48
95.58
persen error rata-rata = 96.10%
Tabel 2. Perbandingan Yield Praktis Terhadap Teoritis Untuk Variabel NPK
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa persen error yang didapat cukup besar yaitu 96.10 % ,hal tersebut menunjukan bahwa proses fermentasi yang dilakukan kurang maksimal,dengan adanya penambahan nutrient essensial seperti N dan P dari pupuk NPK (16%N, 16%P) diharapkan mampu memberikan yield yang mendekati teoritis.namun mengingat susahnya menjaga kondisi lingkungan selama fermentasi juga memberikan dampak yang besar terhadap yield keseluruhan terutama pengontrolan pH yang sangat susah mengingat fermentasi yang kami lakukan dalam fase padat (SSF),dimana pH cenderung turun dengan terbentuknya senyawa asam organic seperti asam asetat, dan laktat sehingga yield secara keseluruhan sangat kecil dengan persen error yang cukup besar.
Perbandingan Yield Praktis Terhadap Teoritis Untuk Variabel Waktu
waktu
Yield percobaan (gr/gr substrat)
yield teoritis (gr/gr substrat)
persen error(%)
10
0,0152
0.48
96,83
14
0,0167
0.48
96.52
18
0,0147
0.48
96.94
persen error rata-rata =96.63 %
Tabel 3. Perbandingan Yield Praktis Terhadap Teoritis Untuk Variabel Rasio Ragi
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa persen error untuk variabel waktu ini pun cukup besar yaitu 96.63 % ,walaupun waktu fermentasi yang kami lakukan cukup lama mencapai 18 hari,namun yield yang dihasilkan masih jauh dari yield teoritis. Hal ini disebabkan beberapa faktor terutama adanya kontaminan mikroba penghasil asetat yang mengkonversi ethanol yang terbentuk menjadi asetat yaitu A.aceti dimana akan tumbuh apabila lingkungan dalam fermentor sedikit aerob akibat dari isolasi yang tidak sempurna. Hal ini merupakan hal yang sangat merugikan terutama mengurangi konversi alkohol sehingga yield secara kesluruhan yang didapat kecil.
4.Kesimpulan
Yield maksimum untuk variabel penambahan ragi adalah pada penambahan sebesar 90 gr. Yield maksimum untuk variabel penambahan nutrient adalah pada penambahan sebesar 20 gr. Yield maksimum untuk variabel lama fermentasi adalah pada fermentasi selama 14 hari. Perbandingan yield praktis terhadap teoritis untuk variabel penambahan ragi memiliki persen error 96,33 %. Perbandingan yield praktis terhadap teoritis untuk variabel penambahan NPK memiliki persen error 96,66%. Perbandingan yield praktis terhadap teoritis untuk variabel lama fermentasi memiliki persen error 97,24 %.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih kami tujukan kepada :
1. Bapak Ir. Sumarno ,M Si, selaku dosen Pembimbing
2. Bapak Untung selaku Laboran Laboratorium Penelitian
3. Bapak Ir. Herry Santosa selaku Koordinator penelitian
4. Bapak Ir. Abdullah, MS, selaku ketua Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro.
5. Teman – teman angkatan 2005 dan semua pihak yang telah membantu hingga penelitian ini dapat terselesaikan.
Daftar Notasi
F = kebutuhan glukosa standart pada standarisasi larutan fehling, kg
M = kebutuhan glukosa standart pada penentuan kadar glukosa dan pati, kg
N = Massa jenis glukosa standart, kg/l
Minggu, 25 Juli 2010
Sabtu, 24 Juli 2010
Kebun Penghasil Bensin
Bangunan di tepi jalan alternatif ke kota Sukabumi itu tersembunyi di antara kebun singkong.
Tak ada yang mengira di gedung 3 kali lapangan voli itu Soekaeni mengolah umbi singkong
menjadi 2.100 liter bioetanol setiap bulan. Dari jumlah itu 300 liter dijual ke pengecer premium
dan 800 liter ke pengepul industri kimia. Harga jual untuk kedua konsumen itu sama: Rp10.000
per liter, sehingga pensiunan PT Telkom itu meraup omzet Rp21-juta per bulan. / /Bangunan di
tepi jalan alternatif ke kota Sukabumi itu tersembunyi di antara kebun singkong. Tak ada yang
mengira di gedung 3 kali lapangan voli itu Soekaeni mengolah umbi singkong menjadi 2.100
liter bioetanol setiap bulan. Dari jumlah itu 300 liter dijual ke pengecer premium dan 800 liter ke
pengepul industri kimia. Harga jual untuk kedua konsumen itu sama: Rp10.000 per liter,
sehingga pensiunan PT Telkom itu meraup omzet Rp21-juta per bulan. / Biaya untuk
memproduksi seliter bioetanol berbahan baku singkong berkisar Rp3.400- Rp4.000. Satu liter
bioetanol terbuat dari 6,5 kg singkong. Dari perniagaan bioetanol pria kelahiran 6 September
1950 itu meraup laba bersih Rp12-juta per bulan. Selain singkong, sekarang ia juga
memanfaatkan molase alias limbah tetes tebu sebagai bahan baku. Bioetanol produksi Soekaeni
itulah yang dimanfaatkan sebagai campuran premium oleh para tukang ojek di Nyangkowek,
Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, untuk bahan bakar kendaraan bermotor. Satu liter
premium diberi campuran 0,1 liter bioetanol. Meski harganya lebih mahal ketimbang premium,
mereka tetap membelinya karena kinerja mesin lebih bagus dan konsumsi bahan bakar lebih
hemat. Setahun terakhir popularitas bioetanol alias etanol yang diproses dari tumbuhan dan
biodiesel atau minyak untuk mesin diesel dari tanaman memang meningkat. Keduanya-bioetanol
dan biodiesel-merupakan bahan bakar nabati. Bersamaan dengan tren itu, bermunculan produsen
bioetanol skala rumahan. Menurut Eka Bukit, produsen bioetanol, kriteria skala rumahan bila
produksi maksimal 10.000 liter per hari. Saat ini volume produksi skala rumahan beragam, dari
30 liter hingga 2.000 liter per hari. Selain Soekaeni di Cicurug, Sukabumi, masih ada Sugimin
Sumoatmojo. Warga Bekonang, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, itu mengolah 1.500 molase
alias limbah pabrik gula menjadi 500 liter bioetanol per hari. Untuk menghasilkan 1 liter
bioetanol pria kelahiran 31 Desember 1947 itu memerlukan 3 liter molase. Ia mengutip laba
Rp2.500 per liter sehingga keuntungan bersih mencapai Rp1.250.000 per hari. Selama sebulan,
mesin bekerja rata-rata 30 hari. Dengan demikian total jenderal volume produksi mencapai
15.000 liter yang memberikan untung bersih Rp37,5-juta per bulan. Di Bekonang dan sekitarnya,
produsen bioetanol skala rumahan menjamur. Menurut Sabaryono, ketua Paguyuban Perajin
Bioetanol Sukoharjo, total produsen mencapai 145 orang. /*Bahan berlimpah*/ Daftar produsen
bioetanol skala rumahan kian panjang jika ditulis satu per satu. Mereka bertebaran di Sukoharjo,
Pati, (Jawa Tengah), Natar (Lampung), Sukabumi (Jawa Barat), Minahasa (Sulawesi Utara), dan
Cilegon (Banten). Para produsen kecil itu mengendus peluang bisnis bioetanol. Harap mafhum,
bahan baku melimpah, proses produksi relatif mudah, dan pasar terbentang menjadi daya tarik
bagi mereka. Menurut Dr Arif Yudiarto, periset bioetanol di Balai Besar Teknologi Pati, ada 3
kelompok tanaman sumber bioetanol. Ketiganya adalah tanaman mengandung pati, bergula, dan
serat selulosa. Beberapa tanaman yang sohor sebagai penghasil bioetanol adalah aren dengan
potensi produksi 40.000 liter per ha per tahun, jagung (6.000 liter), singkong (2.000 liter), biji
sorgum (4.000 liter), jerami padi, dan ubijalar (7.800 liter). Pada prinsipnya pembuatan bioetanol
melalui fermentasi untuk memecah protein dan destilasi alias penyulingan yang relatif mudah
sehingga gampang diterapkan. Berbeda dengan proses produksi biodiesel yang harus melampaui
teknologi esterifikasi dan transesterifikasi. Apalagi sebetulnya bioetanol bukan barang baru bagi
masyarakat Indonesia. Pada zaman kerajaan Singosari-700 tahun silam-masyarakat Jawa sudah
mengenal ciu alias bioetanol dari tetes tebu. Itu berkat tentara Kubilai Khan yang mengajarkan
proses produksi. Lalu pasar? Eka Bukit yang mengolah nira aren kewalahan melayani
permintaan bertubi-tubi. Setidaknya 275.000 liter permintaan rutin per bulan tak mampu ia
pasok. Permintaan itu datang dari industri farmasi dan kimia. ‘Pasarnya luar biasa besar,’ ujar
alumnus Carlton University itu. Oleh karena itu Eka tengah membangun pabrik pengolahan
bioetanol di Kabupaten Lebak, Banten. Menurut Indra Winarno, direktur PT Molindo Raya
Industrial produsen di Malang, Jawa Timur, permintaan etanol, ‘Tak terbatas.’
Pasok langsung
Sebagai substitusi bahan bakar premium, permintaan bioetanol sangat tinggi. Mari berhitung,
‘Kebutuhan bensin nasional mencapai 17,5- miliar per tahun,’ ujar Ir Yuttie Nurianti, manajer
Pengembangan Produk Baru Pertamina. Yuttie menuturkan 30% dari total kebutuhan itu impor.
Seperti diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No 5/2006 dalam kurun 2007-2010,
pemerintah menargetkan mengganti 1,48-miliar liter bensin dengan bioetanol lantaran kian
menipisnya cadangan minyak bumi. Persentase itu bakal meningkat menjadi 10% pada 2011-
2015, dan 15% pada 2016-2025. Pada kurun pertama 2007-2010 selama 3 tahun pemerintah
memerlukan rata-rata 30.833.000 liter bioetanol per bulan. Dari total kebutuhan itu cuma
137.000 liter bioetanol setiap bulan yang terpenuhi atau 0,4%. Itu berarti setiap bulan pemerintah
kekurangan pasokan 30.696.000 liter bioetanol untuk bahan bakar. Pangsa pasar yang sangat
besar belum terpenuhi lantaran saat ini baru PT Molindo Raya Industrial yang memasok
Pertamina. Dari produksi 150.000 liter, Molindo memasok 15.000 liter per hari. Molindo
menjual biopremium melalui Pertamina Rp5.000 per liter. Mungkinkah produsen skala rumahan
memasok Pertamina? Kepada wartawan /Trubus/ Imam Wiguna, Yuttie mengatakan, ‘Pertamina
menerima berapa pun pasokan bioetanol dari pihak swasta. Yang penting memenuhi syarat.’
Syarat yang dimaksud sang manajer adalah berkadar etanol minimal 99,5%. Rata-rata bioetanol
hasil sulingan produsen skala rumahan berkadar 90-95%. Agar syarat itu tercapai, produsen
dapat mencelupkan penyerap seperti batu gamping dan zeolit sehingga kadar etanol melonjak
signifikan (baca: /Bioetanol 99,5% Murnikan Saja dengan Gamping/ halaman 24-25). Selain itu,
pemasok harus mengantongi izin usaha niaga bahan bakar nabati dari Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral. Ketua Tim Nasional Bahan Bakar Nabati Ir Alhilal Hamdi berupaya agar
hubungan Pertamina-produsen skala kecil terjalin dengan mudah. ‘Kami akan memfasilitasi agar
tercipta mekanisme paling mudah bagi industri kecil yang memasok Pertamina tanpa perantara.
Perantara itu kan biaya. Atau bisa juga langsung dikirim ke SPBU karena jaringan Pertamina
luas,’ ujar mantan menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu (baca: Produsen Boleh Oplos
Bioetanol halaman 18). Tentang harga beli, Yuttie mengatakan, ‘Harga beli yang ditawarkan
produsen harus kompetitif.’ Saat ini Pertamina membeli 1 liter bioetanol Rp5.000. Toh, produsen
skala rumahan pun diberi kesempatan mengoplos alias mencampur bioetanol dan premium
sendiri untuk dipasarkan. Produsen yang mengoplos tak perlu takut dicokok aparat karena
memang dilindungi undang-undang. Yang menggembirakan bioetanol untuk bahan bakar bebas
cukai. Itu bukti bahwa pemerintah memang serius mengembangkan bioetanol sebagai sumber
energi terbarukan.
Langit biru
Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar juga berdampak positif. Banyak riset sahih yang
membuktikannya. Dr Prawoto kepala Balai Termodinamika, Motor, dan Propulsi, Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, misalnya, membuktikan kinerja mesin kian bagus setelah
diberi campuran bioetanol. Riset serupa ditempuh oleh Prof Dr Ir H Djoko Sungkono dari
Jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Hasil penelitian Prawoto
menunjukkan, dengan campuran bioetanol konsumsi bahan bakar semakin efisien. Mobil E20
alias yang diberi campuran bioetanol 20%, pada kecepatan 30 km per jam, konsumsi bahan bakar
20% lebih irit ketimbang mobil berbahan bakar bensin. Jika kecepatan 80 km per jam, konsumsi
bahan bakar 50% lebih irit. Duduk perkaranya? Pembakaran makin efisien karena etanol lebih
cepat terbakar ketimbang bensin murni. Pantas semakin banyak campuran bioetanol, proses
pembakaran kian singkat. Pembakaran sempurna itu gara-gara bilangan oktan bioetanol lebih
tinggi daripada bensin. Nilai oktan bensin cuma 87-88; bioetanol 117. Bila kedua bahan itu
bercampur, meningkatkan nilai oktan. Contoh penambahan 3% bioetanol mendongkrak nilai
oktan 0,87. ‘Kadar 5% etanol meningkatkan 92 oktan menjadi 94 oktan,’ ujar Sungkono,
alumnus University of New South Wales Sydney. Makin tinggi bilangan oktan, bahan bakar
makin tahan untuk tidak terbakar sendiri sehingga menghasilkan kestabilan proses pembakaran
untuk memperoleh daya yang lebih stabil. Campuran bioetanol 3% saja, mampu menurunkan
emisi karbonmonoksida menjadi hanya 1,35%. Bandingkan bila kendaraan memanfaatkan
premium, emisi senyawa karsinogenik alias penyebab kanker itu 4,51%. Nah, ketika kadar
bioetanol ditingkatkan, emisi itu makin turun. Program langit biru yang dicanangkan pemerintah
pun lebih mudah diwujudkan. Dampaknya, masyarakat kian sehat. Saat ini campuran bioetanol
dalam premium untuk mobil konvensional maksimal 10% atau E10. Bahkan di Brasil, mobil
konvensional menggunakan E20 alias campuran bioetanol 20% tanpa memodifikasi mesin.
Penggunaan E100 atau E80 pada mobil konvensional tanpa modifikasi mesin tidak disarankan
karena khawatir merusak mesin. Namun, kini muncul flexi car alias kendaraan fleksibel yang
dapat menggunakan bioetanol hingga 100% atau premium 100% pada waktu yang lain. Di
Amerika Serikat saat ini terdapat 5-juta flexi car dengan penambahan 1- juta kendaraan per
tahun.
Berebut bahan
Meski banyak keistimewaan, bisnis bioetanol bukannya tanpa hambatan. Salah satu aral
penghadang bisnis itu adalah terbatasnya pasokan bahan baku. Saat ini sebagian besar produsen
mengandalkan molase sebagai bahan baku. Padahal, limbah pengolahan gula itu juga dibutuhkan
industri lain seperti pabrik kecap dan penyedap rasa. Bahkan, sebagian lagi di antaranya
diekspor. Indra Winarno mengatakan molase menjadi emas hitam belakangan ini. Dampaknya,
hukum ekonomi pun bicara. Begitu banyak permintaan, harga beli bahan baku pun membubung
sehingga margin produsen bioetanol menyusut. Beberapa produsen melirik singkong sebagai
alternatif. Banyak yang membenamkan investasi di Lampung karena provinsi itu penghasil
singkong terbesar di tanahair. Kehadiran mereka ternyata mendongkrak harga ubikayu di sana.
‘Dulu harganya di bawah Rp300 per kg. Sekarang lebih dari Rp400,’ ujar Donny Winarno, vice
president PT Molindo Raya Industrial. Kenaikan harga itu berkah bagi para pekebun. Di sisi lain
menyulitkan para produsen. ‘Saya berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan yang juga
melindungi produsen,’ ujar alumnus University of California itu. Jika hambatan teratasi,
produsen silakan meraup rupiah dari tetesan bioetanol. Soalnya, pasar bioetanol-sebagai bahan
bakar-memang sangat besar karena populasi kendaraan bermotor meningkat. Menurut Gabungan
Industri Kendaraan Bermotor Indonesia, penjualan mobil meningkat rata-rata 53.400 unit per
tahun. Pemilik mobil tak perlu memodifikasi mesin untuk menggunakan campuran bioetanol.
Pasar itu kian luas dan membaik ketika subsidi bahan bakar yang nilainya Rp1.681,25 per liter
itu dicabut. Dengan kebutuhan 17-miliar liter, pemerintah menggelontorkan dana Rp28,6-triliun
per tahun. Terlepas dari urusan bahan bakar, peluang pasar bioetanol tetap besar. Itu lantaran
banyak industri yang memerlukannya. Sekadar menyebut contoh, industri bumbu masak, bedak,
cat, farmasi, minuman berkarbonasi, obat batuk, pasta gigi dan kumur, parfum, serta rokok
memerlukannya. Bahkan industri tinta pun perlu bioetanol. Produk itu berfaedah sebagai pelarut,
bahan pembuatan cuka, dan asetaldehida. Menurut Ir Agus Purnomo, ketua Asosiasi Spiritus dan
Etanol Indonesia (Asendo), kebutuhan etanol untuk industri rata-rata 140-juta liter per tahun.
Investasi marak
Dengan segala kelebihan di atas, penggunaan bioetanol agaknya kian mendesak. Bukan hanya
karena industri itu menjadi lokomotif pengembangan ekonomi dan menciptakan lapangan
pekerjaan. Namun, juga lantaran harga minyak bumi yang diperkirakan melambung hingga
US$100 per barel (1 barel = 117,35 liter) pada tahun mendatang. Itulah sebabnya, Johan Bukit
produsen bioetanol memperkirakan, ‘Siapa pun presiden terpilih, pada 2009 sulit
mempertahankan subsidi bahan bakar.’ Kondisi itu mendorong banyak investor membenamkan
modal untuk membangun kilang hijau alias energi terbarukan. Johan Arnold Manonutu,
misalnya, menjalin kemitraan dengan masyarakat Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Anak
tunggal mantan Menteri Penerangan zaman Bung Karno itu menggelontorkan dana jutaan rupiah
untuk membeli 5 unit mesin produksi bioetanol berkapasitas masing-masing 200 l/hari. Mesinmesin
itu ‘dipinjamkan’ kepada warga Desa Menara, Kecamatan Amurang Timur, Kabupaten
Minahasa Selatan. Satu unit mesin dikelola 3 orang. Johan menampung hasil produksi mereka
yang mencapai 1.000 liter sehari, dengan harga Rp6.000 per liter. ‘Harga itu jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan harga cap tikus yang hanya Rp300 per liter,’ ujarnya. Cap tikus yang ia
maksud adalah sulingan nira aren berkadar etanol 35% yang lazim digunakan untuk bahan
minuman keras. Johan memasarkan etanol itu ke beberapa rumahsakit untuk sterilisasi. Dengan
harga jual Rp16.000-Rp17.000 per liter, omzetnya Rp16-juta-Rp17-juta per hari. Edy Darmawan
dari PT Indo Acidatama berencana membangun pabrik pengolahan berkapasitas 50-juta liter per
tahun di Lampung. Begitu juga Sugar Group Company (SGC), pemilik 3 pabrik gula raksasa
yang mendirikan pabrik berkapasitas sama di Lampung Tengah. Mereka mengendus peluang
besar dengan membangun kilang hijau yang ramah lingkungan. Pangsa pasar terbentang luas,
harga memadai, bahkan dapat digunakan untuk keperluan sendiri. Itulah bioetanol, ‘bensin’ dari
tetumbuhan. Ingin membangun kilang di halaman rumah agar mencecap manisnya berbisnis
bioetanol? (Sardi Duryatmo/Peliput: Andretha Helmina, Imam Wiguna, Lani Marliani, & Nesia
Artdiyasa)
Sumber: Trubus Majalah Pertanian Indonesia : http://www.trubus-online.com Online version:
http://www.trubusonline.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=80
Jumat, 23 Juli 2010
PROYEK PENGEMBANGAN BUDI DAYA SINGKONG VARIETAS DARUL HIDAYAH SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN TARAP KEHIDUPAN EKONOMI PETANI,SEKALIGUS MENGINTIP PELUANG PENGEMBANGAN BAHAN BAKU BIOFUEL
A.PENDAHULUAN
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Pengembangan prakarsa kemandirian harus didorong dengan cara mengembangkan berbagai potensi masyarakat, memanfaatkan berbagai sumber daya yang dimiliki dan mengoptimalkan hasil – hasil dari prakarsa dan pemanfaatan tersebut, sehingga berbagai upaya dimaksud harus berujung dan bertumpu kepada kesejahteraan rakyat, dan kemakmuran daerah yang bersangkutan, berdasarkan sendi – sendi keadilan dan pemerataaan.
Salah satu upaya untuk mencapai tujuan tersebut adalah pengembangan sector AGROBISNIS, yang memang sudah merupakan ciri utama dan mayoritas kehidupan masyarakat di negara kita, dimana sebagian besar penduduknya bertempat tinggal dipedesaan, dengan hidup mengandalkan dari sector pertanian. Berdasarkan Program Menteri Pertanian dengan keputusan Menteri Pertanian Nomor : 867/kpts/TP.240/11/98 tertanggal 4 Nopember 1998 di Jakarta perihal PELEPASAN UBI KAYU LOKAL DARUL HIDAYAH SEBAGAI VARIETAS UNGGUL DENGAN NAMA DARUL HIDAYAH
Hanya saja berbagai upaya yang telah dilakukan baik itu oleh pemerintah maupun berbagai kelompok lain dalam memberdayakan sektor Pertanian selalu terbentur pada persoalan pokok, yaitu harga jual yang selalu rendah pada saat terjadi panen, produktifitas satuan lahan yang kecil, dan persoalan pemasaran.
Untuk mewujudkan harapan dan tujuan tersebut, kami BIGCASSAVA.COM atau SINGKONGRAKSASA.COM telah memulai rintisan sejak lima tahun yang lalu, dengan mencoba mengembangkan budi daya singkong Darul Hidayah ( Singkong Raksasa ), yang merupakan bibit unggul dari singkong – singkong yang ada saat ini, dan telah terbiasa dibudidayakan oleh petani secara konvensional.
Pengembangan singkong Darul Hidayah adalah merupakan jawaban dari persoalan dan rendahnya produktivitas persatuan lahan, dimana untuk jenis singkong konvensional biasanyan hanya dihasilkan sebesar 40 – 50 ton/ha lahan tanaman bahkan terkadang hanya mencapai 20 – 25 ton /ha lahan tanam. Sedangkan singkong Darul Hidayah setelah melalui uji tanam atau Pilot Project I diketahui dapat menghasilkan singkong sebagai hasil tanaman sebesar 100 – 150 ton/ha lahan tanam. Bahkan sejak bulan April 2006 sampai dengan September tidak turun hujan ( kemarau ) singkong Darul Hidayah tetap berkembang panjang umbinya mencapai satu meter per batang ubi kayu , Bahkan tidak sedikit jenis singkong Konvensional yang mati daun dan batang sehingga gagal panen.
Selain itu BIGCASSAVA.COM memilih komoditas singkong sebagai garapan utamanya didasarkan pada hasil survey dan analisa market, bahwa kebutuhan berbagai jenis industri yang memanfaatkan singkong sebagai singkong sebagai bahan bakunya sangat besar, seperti industri makanan, industri farmasi, industri kimia, industri bahan bangungan, industri kertas, Industri BIOFUEL. Akibatnya beragamnya jenis industri yang memanfaatkan singkong sebagai bahan baku utamanya, tidak heran kalau dari singkong dapat dihasilkan 14 macam produk turunan. Kebutuhan bahan baku singkong tersebut bukan hanya untuk konsumsi dalam negeri, juga untuk kebutuhan import, dan ironisnya kebutuhan kebutuhan industri dalam negeri masih mengimport bahan baku industrinya, padahal bahan tersebut berasal dari bahan dasar singkong
Hal lain yang sangat penting dari budi daya singkong ini cenderung dapat ditanam pada jenis tanah apapun di satu sisi sedangkan pada sisi lain dapat mengoptimalkan lahan – lahan yang belum maksimal produksi, sehingga apabila kegiatan – kegiatan tersebut tumbuh kembangkan oleh pemerintah daerah dan masyarakatnya, akan diperoleh beberapa keuntungan yaitu :
Dapat mencegah urbanisasi ke kota – kota besar
Terbukanya lapangan kerja baru
Termanfaatkannya lahan – lahan yang belum optimal produksi
Meningktanya kesejahteraan masayarkat petani
Meningkatkan IPM daerah Kabupaten Sukabumi
Kegiatan pengembangan Budi daya Singkong dengan cara optimalisasi lahan – lahan yang belum dan dalam rangka membangun agro bisnis dan agro industri yang terintegrasi, sangat sejalan dengan PERDA Propinsi Jawa Barat No. 1 tahun 2001 Tentang rencana Strategi Propinsi Jawa barat tahun 2001 – 2005, dimana didalamnya memuat aspek pemanfaatan lahan tidur secara optimal guna meningkatkan prouktivitas pertanian.
B. PELUANG PASAR, KESEMPATAN KERJA & LUAS AREAL TANAMAN SINGKONG
Sebagaimana diuaraikan di atas peluang pengembangan usaha budi daya singkong sangat terbuka, hal ini tidak lain karena kebutuhan produk dan beragamnya produk olahan dari bahan dasar singkong seperti Gaplek, Chips, Pellet, tepung, dengan pangsa pasar untuk dalam negeri seperti industri makanan & minuman ( kerupuk, Sirup), industri textile, industri bahan bangunan ( Gips & Keramik ), Industri kertas, industri pakan ternak, sedagkan untuk pangsa pasar luar negeri dengan tujuan eksport adalah Negara Masyarakat Ekonomi Eropa, Jepang, Korea, China, Amerika Serikat, Jerman, dengan pemanfaatan untuk bahan baku farmasi, bahan baku industri lem, bahan baku industri kertas, dan bahan baku industri pakan ternak.
Potensi Singkong
UNIDO (UN Industrial Development Organization) atau Badan PBB di bidang Pembangunan Industri sudah sejak awal tahun 1980-an menerbitkan beberapa laporan tentang potensi singkong atau ubi kayu atau sampeu atau manioc, terutama di negara berkembang seperti di Indonesia yang memiliki lahan luas dan memungkinkan, karena permintaan pasar produk singkong tersebut dalam bentuk gaplek, tepung gaplek, dan terutama tepung tapioka, sangat tinggi.
Dari data UNIDO sejak tahun 1982, Indonesia tercatat sebagai negara penghasil manioc terbesar ke-3 (13.300.000 ton) setelah Brasil (24.554.000 ton), kemudian Thailand (13.500.000 ton), serta disusul oleh negara-negara seperti Nigeria (11.000.000 ton), India (6.500.000 ton), dan sebagainya, dari total produk dunia sebesar 122.134.000 ton per tahun. Walau dari hasil kebun per hektar (ha), Indonesia masih rendah, yaitu 9,4 ton, kalau dibandingkan dengan India (17,57 ton), Angola (14,23 ton), Thailand (13,30 ton), Cina (13,06 ton), Brasil (10,95 ton). Tetapi, lahan yang tersedia untuk budidaya singkong cukup luas, terutama dalam bentuk lahan di dataran rendah serta lahan di dataran tinggi berdekatan dengan kawasan hutan.
Pada umumnya, di Indonesia masih jarang budidaya singkong berbentuk perkebunan dengan luas di atas lima hektar, karena umumnya masih merupakan kebun sela atau tumpang sari setelah penanaman padi huma, kebun hortikultura, ataupun hanya merupakan kebun sambilan, yang lebih banyak ditujukan untuk panenan daun/pucuknya yang dapat dijual untuk lalap, urab, ataupun makanan lainnya. Sedang dari ubinya, merasa sudah cukup hanya menjadi makanan panganan, baik dalam bentuk keripik, goreng singkong, rebus singkong, urab singkong, ketimus, opak, sampai ke bubuy singkong. Kadang-kadang dapat pula ditingkatkan menjadi makanan yang lebih "bergengsi" kalau menjadi "misro" (atau amis di jero/di dalam) atau "comro" (oncom di jero), dan sebagainya.
Ekspor singkong Indonesia dalam bentuk gaplek (keratan ubi singkong yang dikeringkan), tepung gaplek, ataupun tepung tapioka cukup meyakinkan dan dapat bersaing, seperti gaplek Indonesia yang sangat terkenal di mancanegara, terutama di Masyarakat Eropa (ME) sehingga harganya mampu bersaing dengan produk sejenis dari beberapa negara di Afrika, juga dari India dan Thailand, yaitu rata-rata dengan harga 65-75 dollar AS/ton, kemudian meningkat sampai 130 dollar AS/ ton, padahal produk yang sama dari India, Thailand, dan apalagi dari negara-negara di Afrika, hanya mencapai 60 dollar AS/ ton dan tidak lebih dari 80 dollar AS/ton.
Akan tetapi, berbeda dengan produk tapioka, yang semula Indonesia dikenal sebagai penghasil tepung tapioka terbaik kualitasnya, bahkan mendekati kualitas pharmaceutical grade atau produk bahan baku untuk keperluan farmasi, tetapi tiba-tiba pada tahun 1980-an jatuh menjadi kualitas terendah, kalah oleh produk sejenis dari negara-negara Afrika, apalagi dari India dan Thailand.
Masalahnya adalah, bahwa di dalam tepung tapioka hasil Indonesia terdapat residu (sisa) pestisida yang membahayakan, bahkan di atas ambang batas.
Memang budidaya singkong, pada umumnya di Indonesia, tidak menggunakan pestisida, terutama insektisida (pembasmi hama). Tetapi, mohon untuk diketahui, bahwa pada umumnya pabrik tapioka, yaitu pengolah ubi kayu menjadi tepung, umumnya berada di lingkungan kawasan pertanian padi, serta untuk keperluan pabrik, sejak mencuci ubi sebelum dihancurkan (diparut), menghasilkan "larutan" tapioka dari parutan sampai ke pengendapan dan memisahkan larutan menjadi "bubur" tapioka, dari selokan yang keluar dari kotakan sawah. Jadi kalau dihitung secara teoretis (on paper) penggunaan pestisida, apakah itu organofosfor ataupun lainnya, rata-rata dua kilogram (kg) per ha sawah, maka sisa yang terdapat di dalam air sawah, sekitar 150-200 ppm (part per million atau 1 mg per liter). Dengan begitu, wajar saja kalau sisa/residu tersebut akan terdapat antara 20-35 ppm pada tepung tapioka, sedangkan persyaratan WHO harus kurang dari 0,05 ppm.
Saat produk tapioka Indonesia jatuh dan terpuruk, maka kalau mau dijadikan komoditas ekspor, khususnya ke Eropa, harus dijual dulu melalui Singapura, karena di negara tersebut tapioka kita yang sudah tercemar residu pestisida akan "dicuci" terlebih dahulu hingga memenuhi syarat, kemudian baru diekspor ke beberapa negara di Eropa dengan nama "Made in Singapore", padahal, kelakar banyak pakar pertanian, di Singapura tersebut jangankan ada kebun singkong, mencari untuk obat saja sudah susah, dan baru ada di Malaysia.
Tahun 1980-an, ekspor produk singkong Indonesia, terutama dalam bentuk gaplek dan tepung tapioka, umumnya ke negara-negara ME. Sedangkan yang membutuhkan produk singkong Indonesia, banyak negara di luar ME. Akibatnya keluar semacam SK Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri tahun 1990, yang menyatakan bahwa eksportir Indonesia yang mau mengekspor ke luar ME akan dapat rangsangan 1:2, yaitu dalam bentuk mereka akan dapat jatah ekspor ke ME sebesar dua kali jumlah ekspornya ke non-ME.
Makin menurunnya jumlah ekspor gaplek, karena penurunan produk singkong Indonesia, misalnya dari 17,1 juta ton tahun 1989, menjadi 16,3 juta ton tahun 1990. Ini disebabkan pula karena konsumsi di dalam negeri untuk banyak kegunaan dalam bentuk singkong mencapai 12,65 juta ton, sehingga sisa singkong yang akan digaplekkan hanya sekitar tiga juta ton saja. Dengan catatan konversi (perubahan) dari ubi singkong segar menjadi gaplek sekitar 30 persen saja. Karena itu, tidak heran kalau ekspor juga ikut anjlok, yaitu dari sekitar 790.000 ton ke ME dan 657.104 ke luar ME hanya menjadi 122.845 ton (tahun 1989-1990). Ternyata penurunan tersebut terkait dengan banyak petani singkong yang sudah tidak mau lagi menanam singkong; disebabkan antara lain karena "tanah bekas" singkong menjadi lebih kurus karena selama penanaman tidak pernah dilakukan pemberian pupuk, misalnya pupuk organik dalam bentuk pupuk hijau (tanaman polong-polongan), serta faktor lainnya lagi, antara lain, banyak pabrik tapioka daerah yang kemudian gulung tikar, sehingga produk para petani kemudian banyak yang rusak, misalnya perubahan warna menjadi kehitam-hitaman ataupun membusuk. Juga singkong untuk bahan baku tapioka berbeda dengan singkong konsumsi, yaitu kandungan senyawa cyanida lebih tinggi dan terasa pahit.
Petani, bukan saja disebabkan karena keterbatasan lahan untuk budidaya singkong yang menyebabkan mereka tidak tertarik, tetapi juga karena pemasaran yang bertahap, sehingga dari petani bernilai antara Rp 36 - Rp 50/kg segar, dan para pengumpul menerima sekitar Rp 75-Rp 100/kg segar. Dulu ketika di hampir tiap daerah/desa banyak bermunculan pabrik pengolah singkong menjadi tapioka, hasil jerih payah mereka banyak membantu pendapatan.
Bahwa bertani singkong menguntungkan, banyak dialami petani di beberapa daerah di Jawa Barat, mulai dari Kabupaten Purwakarta, Subang, Sumedang, Tasik, Ciamis, Garut, sampai sukabumi dan Cianjur.
Mereka menanam singkong bukan sekadar sambilan, tetapi sudah dikhususkan pada lahan yang sudah ada, dengan luas antara 1-4 ha, umumnya terletak di lereng pegunungan, berbatasan dengan lahan Kehutanan/Perhutani. Lahan untuk tanaman singkong tidak harus khusus, dan tidak memerlukan penggarapan seperti halnya untuk tanaman hortikultura lainnya, misal sayuran. Juga selama penanaman, tidak perlu pemupukan dan pemberantasan hama atau penyakit.
Ternyata hasil tiap panen (antara 5-6 bulan setelah penanaman) dari luas 1 ha akan dapat diraih keuntungan sekitar Rp 2.500.000, yaitu dari hasil penjualan umbinya (4-6 ton) serta pucuk daunnya. Yang perlu diketahui, bahwa selama budidaya tidak banyak pekerjaan yang harus dilakukan, misal menyiangi gulma (hama). Tentu saja kalau hal ini dilakukan, hasilnya akan dapat lebih baik lagi. Padahal bibit singkong yang mereka tanam masih jenis tradisi, yang hanya memberikan hasil ubi sekitar 4-8 ton/ha.
Sekarang, seperti yang dilakukan oleh para pengusaha singkong di daerah Lampung, Sulawesi Selatan, serta daerah lainnya, di samping lahan yang digunakan dapat lebih dari 500 ha/kebun, bahkan ada yang mencapai ribuan ha, juga bibit singkong umumnya merupakan bibit unggul seperti Manggi (berasal dari Brasil) dengan hasil rata-rata 16 ton/ha, Valenca (berasal dari Brasil) dengan hasil rata-rata 20 ton/ha, Basiorao (berasal dari Brasil) dengan hasil rata-rata 30 ton/ ha, Muara (berasal dari Bogor) dengan hasil rata-rata 30 ton/ ha, Bogor (asal dari Bogor) dengan hasil rata-rata 40 ton/ha. Bahkan, sekarang ada pula jenis unggul dan genjah (cepat dipanen), seperti Malang-1, dengan produksi antara 45-59 ton/ha atau rata-rata 37 ton, Malang-2, dengan produksi rata-rata antara 34 - 35 ton/ha.
Semakin banyak petani berdasi yang saat ini mulai melirik budidaya singkong dengan luas tanam di atas 50 ha, terutama di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan, karena permintaan produk, terutama dalam bentuk gaplek, tepung gaplek dan tepung tapioka, terus meningkat dengan tajam. Serta produk olahan singkong Indonesia, terutama dalam bentuk gaplek dan tepung gaplek, dapat bersaing dengan produk sejenis dari negara-negara di Afrika, juga dari Thailand dan India. H UNUS SURIAWIRIA, Bioteknologi dan Agroindustri, ITB
C. MENANAM BENSIN DIKEBUN SINGKONG
[ ilmu & Teknologi, Gatra No:13 Beredar senin, 7 Februari 2006]
MENTERI Riset Dan Teknologi Kusmayanto Kadiman ternyata bisa juga jadi supir, Mantan Rektor Institut Teknologi Bandung itu tanpa canggung duduk dibelakang setir Land Rover Discovery. Penumpangnya Direktur Jenderal Industri Kimia dan Direktur Jenderal Migas. Mobil kelas atas ini meluncur dari Gedung BPPT di jalan M. H. Thamrin menuju Monumen Nasional, lalu kejalan Jenderal Sudirman dan Memutar lagi di Jembatan semanggi balik lagi ke BPPT.
Tak lama Kusmayanto jadi supir kamis terakhir dibulan Januari itu hanya memamerkan kinerja mobil berbahan bakar Singkong Tapi demo Kusmayanto belum berakhir”Saya akan Promosikan ke Istana Negara,”katanya . Namun sebelum beranjak ke Istana rupanya gayung sudah bersambut oleh Gubernur Sutiyoso. Ia akan menjajaki penggunaan “ Bensin Singkong “ itu untuk taksi di Jakarta.
Bensin Singkong? Tepatnya bensin dioplos alcohol yang dibuat dari ubi kayu. Di dunia dikenal dengan sebutan gasohol atau gasoline-alkohol. Penelitian gasohol giat dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada bensin yang diyakini bakal habis ditambang. Salah satunya alternatifnya mencampurkan etanol kedalam bensin. Etanol mengandung 35 % oksigen, sehingga meningkatkan efisiensi pembakaran. Juga menaikkan Oktan, seperti zat aditif ( methyl tertiary buthyl ether – MTBE) dan tetra ethyl lead (TEL) yang umum dipakai berbeda dengan TEL, Etanol bisa terurai sehingga mengurangi emisi gas buang berbahaya.
Tak mengherankan pemakain Etanol di dunia makin dan makin Besar, Produksi etanol dunia untuk bahan bakar diduga bakal meningkat dari 19 Milyar liter ( 2001) menjadi 31 Milyar liter ( estimasi 2006). Beberapa Negara di Brasil, Amerika Serikat, Kanada. Uni Eropa dan Australia sudah menggunakan campuran 63% etanol dan 37% bensin. Sedangkan yang mengisi tangki Land Rover Pak Menteri itu adalah gasohol Be-10, artinya porsi Bioetanol 10 % dan Bensin 90 %. Dengan porsi 10 % kerja mesinnya bisa optimal, “kata Agus Eko Tjahyono. Kepala Balai Besar Teknologi Pati, Lampung.
Di Indonesia sendiri gasohol bukan barang baru, di Lampung, gasohol sudah bertahun – tahun mengisi tangki mobil dan motor para pegawai Bali Besar. Tapi tak pernah dilirik pejabat Jakarta. Teknologi ini mulai diteliti Balai Besar sejak 1983 dengan bantuan teknis dari lembaga penelitian Jepang,JICA. Mereka terus mengembangkan teknologi itu dengan tekad mengubah sumber pati tak berharga itu – di lampung, tiap kilogramnya, harganya tak lebih dari harga sepotong ubi goreng di Jakarta – menjadi bahan bakar bernilai tinggi. Hasilnya ?”sekarang, gasohol ubi kayu kami termurah didunia. “kata Agus Eko Tjahyono.
Sumber Bioetanol memang tak Cuma singkong, bisa juga tebu,sagu,jagung,gandum,bahkan limbah pertanian seperti jerami. Di Amerika yang banyak dipakai sebagai sumber pati adalah jagung,tapi Agus yakin bahan bakar Bakar alternative dari singkongnya mampu bersaing di pasar.
Teknologi kami makin efisien. Ongkos Produksi lebih murah dari minyak tanpa subsidi, “ katanya untuk skala kecil, kapasitas 60.000 liter per hari biaya produksinya Rp. 2.400, lebih rendah dibandingkan dengan bensin yang berkisar Rp. 2.600. Menurut Agus, Gasohol juga bisa mensejahterakan Petani. Contoh tahun 2004, konsumsi bensin 15 Juta Kilo liter. Jika 20 %nya diganti gasohol BE-10, berarti menghemat 3 juta kiloliter bensin. Setiap liter alcohol. Dihasilkan dari 6,5 Kilogram Singkong artinya butuh 2 juta ton singkong dari lahan 100.000 hektare.
Apabila menggunakan singkong Varietas unggul Darul Hidayah hanya memerlukan lahan seluas 13.500 Ha. Dengan menanam singkong Varietas unggul dapat mengefisiensi :
Lahan
Bibit
Pupuk
biaya garapan( olah lahan )
penyiangan rumput
biaya panen
biaya angkut
Hasil panen lebih optimal dalam waktu yang lebih singkat sebesar 100 sampai 150 ton dalam jangka waktu 1 tahun, dari pada singkong konvensional panen dengan hasil 100 - 150 ton dalam jangka waktu 4 tahun
Sedangkan untuk kebutuhan tersebut utnuk memenuhi pasokan kebutuhan lokal saja BIGCASSAVA.COM hanya mengambil 30 % dari kebutuhan yang ada atau sekitar 100 ton singkong segar/hari. Apabila target 100 ton singkong segar / hari diolah dalam bentuk chips singkong sebagai bahan ½ jadi, maka bila 50% dari 100 ton diolah dengan cara padat karya, berdasarkan pengalamn Pilot Project I per orang setiap harinya mampu menghasilkan Chip singkong segar sebanyak 300 Kg, artinya apabila setiap harinya dilakukan produksi chip sebesar 50 Ton atau 50.000 kg berarti menyerap tenaga kerja sebanyak 167 orang pekerja/hari, dengan upah chips sebesar Rp. 6.000/100. Dengan demikian seorang tenaga kerja chips yang bekerja dari jam 07.00 pagi s/d 13.00 siang akan memperoleh pendapatan sebesar Rp. 18.000/orang/hari.
Untuk mendukung Program pengembangan budi daya tanaman singkong Darul Hidayah di Kabupaten Subang sehingga dapat terlaksana sebagaimana yang direncanakan, maka diperlukan suatu upaya yang terintegrasi dan Sinergis antara Kopersai, Petani, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi maupun Pemerintah Pusat, agar dapat tujuan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat petani dapat tercapai. Salah satu upaya yang harus dilaksanakan adalah dengan cara memanfaatkan lahan – lahan tidur baik yang dikuasai Pemda maupun dinas Perkebunan juga Dinas Kehutanan. Dimana berdasarkan hasil survey dan pertemuan dengan beberapa instansi terdapat ribuan Ha lahan yang menganggur tidak dimanfaatkan secara optimal.
Untuk pupuk kandang BIGCASSAVA.COM telah bekerjasama dengan Koperasi Susu Perah Gunung Gede Sukabumi& Peternak Ayam potong di Warung Kiara Kabupaten Sukabumi
Pemasaran singkong (segar, Gaplek, tepung ) diperuntukan :
1.Pakan Ternak Sapi Perah , yang sangat tinggi akan karbohidrat yang dapat membantu menambah produksi susu.
2. Eksportir Gaplek Tepung untuk MEE & Asia khususnya China
3. Pabrik Tapioka
4. Pabrik Etanol
Kamis, 22 Juli 2010
Bagaimana Rasulullah sholat Tarawih/Lail
Menghidupkan malam-malam bulan Ramadlan dengan berbagai macam ibadah adalah
perkara yang sangat dianjurkan. Diantaranya adalah shalat tarawih. Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam pernah mengerjakannya di masjid dan diikuti para
shahabat beliau di belakang beliau. Tatkala sudah terlalu banyak orang yang mengikuti
shalat tersebut di belakang beliau, beliau masuk ke rumahnya dan tidak
mengerjakannya di masjid. Hal tersebut beliau lakukan karena khawatir shalat tarawih
diwajibkan atas mereka karena pada masa itu wahyu masih turun.
Diterangkan dalam hadits Abu Hurairah radliyallahu `anhu, beliau berkata: Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam selalu memberi semangat untuk menghidupkan
(shalat/ibadah) bulan Ramadlan tanpa mewajibkannya. Beliau shallallahu `alaihi wa
sallam bersabda: "Barangsiapa menghidupkan bulan Ramadlan dengan keimanan dan
mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lewat." Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam wafat dalam keadaan meninggalkan shalat tarawih
berjamaah. Hal ini berlangsung sampai kekhilafahan Abu Bakr serta pada awal
kehilafahan Umar radliyallahu `anhu." (HR. Bukhari 1/499, Muslim 2/177, Malik
1/113/2, Abu Dawud 1371, An-Nasa'i 1/308, At-Tirmidzi 1/153, Ad-Darimi 2/26, Ibnu
Majah 1326, Ahmad 2/281, 289, 408, 423. Adapun lafadh hadits yang kedua adalah
tambahan pada riwayat Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Lihat Al-Irwa' juz 4 hal.
14)
Juga hadits `Amr bin Murah Al-Juhani, beliau berkata: "Seseorang dari Qadlafah
datang kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, kemudian berkata: `Wahai
Rasulullah! Bagaimana pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq
kecuali Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah, aku shalat yang lima, puasa di
bulan Ramadlan, menghidupkan Ramadlan dan membayar zakat?' Maka jawab
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: `Barangsiapa mati atas yang demikian, maka
dia termasuk orang-orang yang shidiq dan syahid." (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu
Hibban dalam Shahih keduanya dengan sanad yang shahih. Lihat tahqiq Syaikh Albani
terhadap Shahih Ibnu Khuzaimah 3/340/2262 dan Shahih At-Targhib 1/419/993)
Kedua hadits di atas menerangkan tentang keutamaan menghidupkan malam bulan
Ramadlan dengan berbagai ibadah di antaranya shalat tarawih berjamaah.
Sholat Tarawih Berjama'ah
Tidak diragukan lagi bahwa shalat tarawih dengan berjamaah pada bulan Ramadlan
sangat dianjurkan. Hal ini diketahui dengan beberapa hal berikut:
2
1. Penetapan Rasulullah tentang berjamaah padanya.
2. Perbuatan beliau shallallahu `alaihi wa sallam.
3. Keterangan beliau tentang fadlilah(keutamaan)nya.
Penetapan beliau tampak dalam hadits Tsa`labah bin Abi Malik Al-Quradli, dia berkata:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada suatu malam di bulan Ramadlan keluar
dan melihat sekelompok orang shalat di sebelah masjid. Beliau bertanya: "Apa yang
mereka lakukan?" Seseorang menjawab: "Wahai Rasulullah, mereka adalah orang yang
tidak bisa membaca Al-Qur'an, Ubay bin Ka'b membacakannya untuk mereka dan
bersama dialah mereka shalat". Maka beliau bersabda: "Mereka telah berbuat baik",
atau "Mereka telah berbuat benar dan hal itu tidak dibenci bagi mereka." (HR. Al-
Baihaqi 2/495 dan dia berkata: "Hadits ini mursal hasan." Syaikh Al-Albani berkata:
"Hadits ini telah diriwayatkan pula secara bersambung (maushul) dari jalan lain dari
Abi Hurairah radliyallahu `anhu dengan sanad la ba'sa bihi karena ada hadits-hadits
pendukungnya. Hadits ini disebutkan pula oleh Ibnu Nashr di dalam Qiyamul Lail hal.
90 dengan riwayat Abu Dawud 1/217 dan Al-Baihaqi).
Sedangkan perbuatan beliau dalam hal ini disebutkan dalam beberapa hadits, yaitu: Dari
Nu`man bin Basyir radliyallahu `anhu, ia berkata: "Kami berdiri (untuk shalat tarawih)
bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada malam ke 23 di bulan Ramadlan
sampai habis sepertiga malam pertama. Kemudian kami shalat bersama beliau pada
malam ke 25 sampai pertengahan malam. Kemudian beliau shalat bersama kami malam
ke 27 sampai kami menyangka bahwa kami tidak mendapatkan al-falah (makan sahur)
sampai kami menyeru untuk sahur." (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf
2/40/2, Ibnu Nashr 89, An-Nasai 1/238, Ahmad 4/272, Al-Firyabi dalam Ar-Rabi` wal
Khamis min Kitabis Shiyam 1/440 dan berkata: "Pada hadits ini ada dalil yang jelas
bahwa shalat tarawih di masjid-masjid kaum muslimin termasuk sunnah dan Ali bin
Abi Thalib selalu menganjurkan Umar radliyallahu `anhu untuk mendirikan sunnah ini
sampai beliau pun mendirikannya.")
Juga hadits dari Anas radliyallahu `anhu, dia berkata:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melaksanakan shalat di bulan Ramadlan. Aku
datang dan berdiri di sampingnya. Kemudian datang yang lain dan yang lain sampai
berjumlah lebih dari tiga orang. Tatkala Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam merasa
bahwa aku ada di belakangnya, beliau meringankan (bacaan) shalat, kemudian masuk
ke rumah beliau. Sesudah masuk ke rumahnya, beliau shalat di sana dan tidak shalat
bersama kami. Keesokan harinya kami bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah engkau
tadi malam mengajari kami (perkara dien)?" Maka beliau pun menjawab: "Ya, dan
itulah yang menyebabkan aku berbuat." (HR. Ahmad 3/199, 212, 291 dan Ibnu Nashr
dengan dua sanad yang shahih serta At-Thabrani dalam Al-Ausath, semisalnya
sebagaimana di dalam Al-Jami' 3/173).
Juga hadits dari Aisyah radliyallahu `anha, beliau berkata: "Manusia shalat di masjid
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan Ramadlan dengan berkelompok3
kelompok. Seseorang yang mempunyai sedikit dari (ayat) Al-Qur'an bersama lima atau
enam orang atau kurang atau lebih daripada itu. Mereka shalat bersama seorang tadi.
Lalu Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan pada malam itu untuk
meletakkan tikar di (depan) pintu kamarku. Aku pun melaksanakannya. Kemudian
Rasulullah keluar kepadanya sesudah shalat Isya yang akhir. Lalu berkumpullah
manusia yang ada di masjid dan Rasulullah shalat bersama mereka sampai larut malam.
Rasulullah kemudian pergi dan masuk (rumah) dengan meninggalkan tikar begitu saja
(pada keadaan awal). Pada pagi harinya, manusia memperbincangkan shalat Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam bersama orang-orang yang ada di masjid pada malam itu.
Maka jadilah masjid penuh dengan manusia. Lantas Rasulullah keluar (ke masjid) pada
malam yang kedua dan mereka pun shalat bersama beliau. Jadilah manusia
memperbincangkan hal itu. Setelah itu bertambah banyaklah yang menghadiri masjid
(sampai penuh sesak dengan penghuninya). Pada malam yang ketiga beliaupun keluar
dan manusia shalat bersama beliau. Lalu tatkala malam yang keempat masjid hampir
tidak cukup. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya' yang akhir
bersama mereka lantas masuk masuk ke rumah beliau, sedang manusia tetap (di
masjid). Rasulullah berkata kepadaku: "Wahai Aisyah, bagaimana keadaan manusia?"
Aku katakan: "Wahai Rasulullah, manusia mendengar tentang shalatmu bersama orang
yang ada di masjid tadi malam, maka mereka berkumpul untuk itu dan meminta agar
engkau shalat bersama mereka." Maka beliau berkata: "Lipat tikarmu, wahai Aisyah!"
Aku pun melaksanakannya. Rasulullah bermalam (di rumahnya) dan tidak dalam
keadaan lalai sedangkan manusia tetap pada tempat mereka. Mulailah beberapa orang
dari mereka mengucapkan kata "shalat!" sampai Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam keluar untuk shalat subuh. Tatkala selesai shalat fajar, beliau menghadap kepada
manusia dan bertasyahud (mengucapkan syahadat dalam khutbatul hajah), lalu
bersabda: "Amma ba`du, wahai manusia, demi Allah, Alhamdulillah tidaklah aku tadi
malam dalam keadaan lalai dan tidaklah keadaan kalian tersamarkan bagiku. Akan
tetapi aku khawatir akan diwajibkan atas kalian (dalam riwayat lain: Akan tetapi aku
khawatir shalat lail diwajibkan atas kalian) kemudian kalian lemah (untuk
melaksanakannya), maka berarti kalian dibebani amal-amal yang kalian tidak mampu.
Sesungguhnya Allah tidak bosan sampai kalian bosan." Pada riwayat lain ada
tambahan, Az-Zuhri berkata: "Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat,
keadaannya demikian. Hal ini berlangsung sampai masa khilafah Abu Bakar dan pada
awal khilafah Umar." (HR. Bukhari 3/8-10, 4/203,205, Muslim 2/177-178-188-189,
Abu Daud 1/217, An-Nasai 1/237 dan lain-lain).
Al-Hafidh Ibnu Hajar mengomentari ucapan Az-Zuhri "keadaannya demikian",
maksudnya dalam keadaan shalat tarawih berjamaah ditinggalkan.
Sedangkan Syaikh Albani menyatakan: "Lebih tepat dikatakan bahwa maksudnya shalat
tarawih dikerjakan dengan berkelompok-kelompok."
Syaikh Albani mengatakan: "Hadits ini menerangkan dengan sangat jelas tentang
disyariatkannya shalat tarawih berjama'ah, karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa
4
sallam terus menerus melakukannya pada malam-malam tersebut. Dalam hadits ini
disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam meninggalkannya pada
malam yang keempat (yaitu shalat tarawih berjamaah) karena khawatir akan diwajibkan
atas mereka dengan ucapan beliau: Aku khawatir (ini) diwajibkan atas kalian. Tidak
diragukan lagi bahwa kekhawatiran Rasulullah hilang dengan wafatnya beliau sesudah
Allah menyempurnakan syariat-Nya. Dengan ini hilanglah sebab meninggalkan jamaah
dan kembali pada hukum sebelumnya yaitu disyariatkannya jamaah. Oleh karena itu
Umar radliyallahu `anhu menghidupkkannya kembali."
Hadits dari Hudzaifah bin Al-Yaman radliyallahu `anhu, ia berkata: Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam mendirikan shalat pada suatu malam di bulan Ramadlan di
kamar (yang terbuat) dari pelepah kurma. Kemudian dituangkan baginya sewadah air.
Kemudian beliau berkata: "Allahu Akbar (tiga kali) Dzul malakut wal jabarut wal
kibriya' wal `adhamah", kemudian membaca surat Al-Baqarah. Lalu beliau ruku' dan
ruku'nya semisal lama berdirinya dan membaca pada ruku'nya: Subhana rabbiyal
`adhim, Subhana rabbiyal `adhim. Kemudian beliau mengangkat kepala dari ruku' dan
lamanya berdiri seperti ruku'nya dan mengucapkan: "Rabiyal hamdu". Kemudian sujud
dan lama sujudnya seperti berdirinya (yakni berdiri setelah ruku') dan mengucapkan
dalam sujudnya "Subhana rabbiyal a`la". Kemudian mengangkat kepalanya dari sujud
dan membaca di antara dua sujud rabbighfirli dan duduk selama waktu sujudnya.
Kemudian sujud lagi dan membaca "Subhana rabiyal a`la". Beliau shalat empat rakaat
dan di dalamnya membaca surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa, Al-Maidah dan Al-
An`am sampai datang adzan untuk shalat (fajar)." (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/90/2, Ibnu
Nashr hal. 89-90, An-Nasai 1/246, Ahmad 5/400, Ibnu Majah 1/291, Al-Hakim 1/271,
Abu Dawud 1/139-140, At-Thahawi dalam Al-Misykah 1/308, At-Thayalisi 1/115, Al-
Baihaqi 2/121-122, Ahmad 5/398, Muslim 2/186 dan lain-lain).
Adapun keterangan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang keutamaan shalat
tarawih berjamaah terdapat pada hadits Abu Dzar radliyallahu `anhu, beliau berkata:
Kami berpuasa (Ramadlan), Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak shalat
bersama kami sampai tersisa tujuh hari bulan Ramadlan. Beliau berdiri (untuk shalat)
sampai sepertiga malam. Beliau tidak berdiri (shalat) bersama kami pada sisa malam
keenam dan berdiri bersama kami pada sisa malam kelima sampai setengah malam.
Kami bertanya: "Wahai Rasulullah, seandainya engkau shalat sunnah bersama kami
pada sisa malam ini." Beliau menjawab: "Barangsiapa berdiri (untuk shalat tarawih)
bersama imam sampai dia (imam) berpaling, maka dituliskan baginya shalat sepanjang
malam." Kemudian beliau tidak shalat bersama kami sampai tinggal tersisa tiga malam
Ramadlan. Beliau shalat bersama kami pada sisa malam yang ketiga dan beliau
memanggil keluarga dan istrinya. Beliau shalat bersama kami sampai kami
mengkhawatirkan falah. Abu Dzar radliyallahu `anhu ditanya :"Apa falah itu?" Beliau
menjawab: "(Falah adalah) Sahur." (HR Ibnu Abi Syaibah 2190/2, Abu Daud 1/217, At-
Tirmidzi 2/72-73 dan dishahihkannya, An-Nasai 1/237, Ibnu Majah 11/397, Ath-
Thahawi dalam Syarhu Ma`anil Atsar 1/206, Ibnu Nashr hal 79, Al-Firyabi 71/1-82/2
dan Al-Baihaqi dan sanadnya shahih sebagaimana ungkapan syaikh Al-Albani.)
5
Ucapan beliau shallallahu `alaihi wa sallam "Barang siapa shalat bersama imam..." jelas
menunujukkan tentang keutamaan shalat tarawih di bulan Ramadlan bersama imam.
Hal ini dikuatkan oleh Abu Dawud di dalam Al-Masa'il hal. 62, beliau berkata: "Aku
mendengar Ahmad ditanya: "Mana yang lebih engkau sukai, seorang yang shalat
bersama manusia (berjamaah) atau yang sendirian?" Beliau menjawab: "Shalat seorang
bersama manusia. Aku juga mendengar beliau berkata: "Aku kagum terhadap seseorang
yang shalat tarawih dan witir bersama imam. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam
bersabda: "Sesungguhnya seseorang yang shalat (tarawih) bersama imam sampai
selesai, Allah akan menuliskan baginya sisa malamnya." Yang semisal ini juga
dinyatakan oleh Ibnu Nashr hal. 91 dari Ahmad. Kemudian Abu Dawud berkata:
"Seseorang berkata kepada Ahmad: "Saya mendengar shalat tarawih diakhirkan sampai
akhir malam?" Beliau menjawab: "Tidak, sunnah kaum muslimin lebih aku sukai."
Menurut Syaikh Al-Albani maksudnya adalah berjamaah shalat tarawih dengan
bersegera ( di awal waktu) itu lebih utama daripada sendirian, walaupun diakhirkan
sampai akhir malam. Shalat pada akhir malam memiliki keutamaan khusus. Berjamaah
lebih afdlal karena Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakannya bersama manusia
di masjid pada beberapa malam sebagaimana pada hadits Aisyah di depan. Oleh karena
itu kaum muslimin melaksanakannya (secara berjamaah) pada jaman Umar radliyallahu
`anhu sampai sekarang." (Shalatut Tarawih hal. 15)
Jamaah Shalat Tarawih Bagi Wanita
Disyariatkan bagi wanita untuk menghadiri shalat tarawih di masjid dengan dalil hadits
Abu Dzar radliyallahu `anhu di atas yang berbunyi "Beliau (Rasulullah) memanggil
keluarganya dan para istrinya." Bahkan boleh disiapkan bagi mereka imam khusus
selain untuk jamaah laki-laki. Umar radliyallahu `anhu tatkala mengumpulkan manusia
untuk berjamaah, menjadikan imam bagi laki-laki Ubai bin Ka'ab dan bagi wanita
Sulaiman
bin Abi Khatsmah.
Juga hadits `Arfajah Ats-Tsaqafi, ia berkata: "Ali bin Abi Thalib radliyallahu `anhu
selaalu memerintahkan manusia untuk shalat pada bulan Ramadlan. Beliau menjadikan
seorang imam bagi laki-laki dan seorang imam bagi perempuan. Aku (`Arfajah) ketika
itu sebagai imam perempuan."
Kedua riwayat di atas diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 2/494. Abdurrazaq meriwayatkan
hadits pertama dalam Al-Mushannaf 4/258/8722. Dikeluarkan juga oleh Ibnu Nashr
dalam Qiyamur Ramadlan hal. 93. Kemudian berargumentasi seperti di atas pada hal.
95. Hal diterangkan secara jelas oleh Syaikh Al-Albani dalam Qiyamur Ramadlan hal.
21-22.
Syaikh Al-Albani menambahkan: "Menurutku, keadaan ini dimungkinkan bila
6
masjidnya luas agar manusia tidak saling terganggu."
Jumlah Rakaatnya
Di atas telah dijelaskan tentang disyariatkannya shalat tarawih berjamaah karena adanya
penetapan, perbuatan dan anjuran Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Sekarang berapa
sebenarnya jumlah rakat yang rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam laksanakan.
Dalam masalah ini ada dua hadits yang menerangkan:
1. Dari Abi Salamah bin Abdurrahman bahwa beliau bertanya kepada Aisyah
radliyallahu `anha: "Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan
Ramadlan?" Beliau menjawab: "Tidaklah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
menambah (rakaat shalat) di bulan Ramadlan dan tidak pula pada bulan selainnya
melebhi sebelas raka'at. Beliau shalat empat raka'at dan jangan ditanya betapa bagus
dan panjangnya, lalu beliau shalat tiga raka'at." (HR Bukhari 2/25, 4/205. Muslim 2/16
Abu Uwamah 2/327 Al-Baihaqi 2/495 - 496 dan Ahmad 6/36, 37, 104)
2. Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu `anhu berkata: "Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam shalat bersama kami pada bulan Ramadlan delapan raka'at dan beliau berwitir.
Tatkala malam berikutnya kami berkumpul di Masjid dan berharap beliau keluar (ke
masjid). Ternyata beliau tidak kunjung datang sampai pagi. Kemudian kami masuk dan
mengatakan: "Wahai Rasulullah kami tadi malam berkumpul di masjid dan kami
mengharap engkau shalat bersama kami." Maka beliau berkata: "Sesungguhnya aku
khawatir akan diwajibkan atas kalian."
Di dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, Muslim dan lain-lain yang menyebutkan bahwa
shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada bulan Ramadlan dan selainnya di
malam hari adalah 13 raka'at, termasuk darinya dua rakaat fajar. Akan tetapi ada hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Malik 1/142 dan Bukhari 3/35 dan lain-lain dari Aisyah
radliyallahu `anha, beliau berkata: "Rasulullah biasa shalat di malam hari 13 raka'at."
Kemudian beliau shalat dua rakaat ringan (pendek) apabila mendengar adzan subuh.
Al-Hafidh mengkompromikan riwayat ( 13 rakaat) ini dengan riwayat sebelumnya (11
rakaat), beliau mengatakan: "Dhahir hadits ini menyelisihi yang telah lewat, maka
dimungkinan bahwa (kelebihan) dua rakaat (pada yang 13 rakaat) tadi adalah sunnah
ba`da Isya'. Hal itu karena memang shalat ini dilaksanakan di rumah atau sebagai
pembuka shalat malam, karena telah tsabit (tetap) dalam riwayat Muslim bahwa
Rasulullah membuka shalat lail dengan dua rakaat yang ringan/pendek."
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Inilah yang rajih menurutku, karena riwayat Abi
Salamah menunjukkan kekhususan/pengharusan pada 11 rakaat, yaitu 4 rakaat, 4 rakaat
kemudian 2 rakaat. Hal ini menunjukkan tidak bertentangan dengan riwayat 2 rakaat
yang ringkas."
7
Kedlaifan Hadits 20 Rakaat
Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata setelah menjelaskan hadits Aisyah di atas (Al-Fath
4/205-206): "Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu Abbas
radliyallahu `anhuma bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat di bulan
Ramadlan 20 rakaat dan witir, sanadnya dla`if, bertentangan dengan hadits Aisyah
radliyallahu `anha yang terdapat dalam Shahihain. Aisyah adalah orang yang paling
tahu tentang keadaan nabi shallallahu `alaihi wa sallam di malam hari atau selainnya."
Pernyataan ini semakna dengan pernyataan Al-Hafidh Az-Zaila`i di dalam Nashbur
Rayah 2/153.
Syaikh Al-Albani menegaskan: "Hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma ini sangat
dlaif sebagaimana yang dinyatakan oleh As-Suyuthi di dalam Al-Hawi lil Fatwa 2/73
dengan alasan bahwa pada sanadnya ada Abu Syaibah Ibrahim Ibnu Utsman. Al-Hafidh
berkata di dalam At-Taqrib: Dia matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan) dan telah
kucari sumber-sumbernya tetapi aku tidak menemukan kecuali dari jalannya. Ibnu Abi
Syaibah mengeluarkannya di dalam Al-Mushanaf 2/90/2, Abdu bin Humaid di dalam
Al-Muntakhab minal Musnad 43/1-2, At-Thabrani di dalam Mu'jamul Kabir 3/148/2
dan di dalam Al-Ausath sebagaimana di dalam Al-Muntaqa karya Adz-Dzahabi 2/3 dan
dalam Al-Jam'i Bainahu wa Baina Shaghir 1/219, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 1/2, Al-
Khatib dalam Al-Maudlih 1/219 dan Al-Baihaqi dalam Sunannya 2/469 semuanya dari
jalan Ibrahim tersebut dari Al-Hakam dari Muqsim dari Ibnu Abbas secara marfu'. At-
Thabrani berkata: "Atsar ini tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas kecuali dengan sanad
ini". Al-Baihaqi berkata: "Abu Syaibah infirad (bersendirian dalam meriwayatkan) dan
dia dlaif. Demikian juga yang dikatakan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma` 3/172:
"Dia dlaif, pada hakekatnya dia dlaif sekali sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh
ucapan Al-Hafidh di depan bahwa "dia matruk". Inilah yang benar. Ibnu Main berkata:
"Dia tidak tsiqah" Al-Jauzajani berkata: "Dia saqith (gugur riwayatnya), Syaibah
mendustakan kisah darinya". Al-Bukhari berkata: "Ahli hadits mendlaifkannya."
Al-Hafidh Ibnu Katsir menyebutkan di dalam Ikhtishar Ulumul Hadits hal. 118 bahwa
orang yang dikatakan oleh Al-Bukhari bahwa ahli hadits mendiamkannya adalah derajat
bagi orang tersebut yang paling rendah. Oleh karena itu aku berpendapat bahwa
haditsnya dalam hal ini maudlu`, karena bertentangan dengan hadits Aisyah dan Jabir
yang telah lewat dari dua hafidh yaitu Az-Zaila'i dan Al-Asqalani. Al-Hafidh Adz-
Dzahabi memasukannya di dalam Manakirnya (riwayat-riwayat yang munkar). Al-
Faqih Ibnu Hajar Al-Haitami berkata dalam Al-Fatawa Al-Kubra 1/195 setelah
menyebutkan hadits tersebut: "Hadits ini sangat dlaif. Ucapan para ulama sangat keras
terhadap salah satu rawinya dengan jarh dan celaan. Termasuk darinya (kritik dan
celaan) bahwa dia meriwayatkan riwayat-riwayat maudlu' seperti hadits "Tidaklah umat
hancur binasa kecuali pada bulan Maret" dan "Tidaklah kiamat terjadi kecuali pada
bulan Maret" dan haditsnya tentang shalat tarawih termasuk dari riwayat-riwayatnya
yang munkar. As-Subki telah menegaskan bahwa syarat beramal dengan hadits dlaif
adalah jika dlaifnya tidak terlalu. Adz-Dzahabi berkata: "Barangsiapa diambil
riwayatnya secara dusta oleh Asy-Syaibah, maka haditsya jangan ditoleh."
8
Syaikh Al-Albani berkata: "Apa yang dinukilkan oleh As-Subki dari Al-Haitami
sebagai isyarat halus bahwasanya dia tidak berpendapat beramal dengan 20 rakaat,
maka pikirkanlah!"
Kemudian As-Suyuthi setelah menyebutkan hadits Jabir dari riwayat Ibnu Hibban
berkata: "Maka kesimpulannya bahwa 20 rakaat tidak tsabit amalannya dari Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam. Apa yang ada pada Shahih Ibnu Hibban adalah sebagai
puncak madzhab kami dan kami memegang erat apa yang ada pada riwayat Bukhari
dari Aisyah radliyallahu `anha bahwasanya Rasulullah tidak menambah dalam
Ramadlan dan selainnya atas sebelas rakaat. Hal ini sesuai dari sisi bahwasanya
Rasulullah shalat tarawih 8 rakaat kemudian witir 3 rakaat. Maka jumlahnya 11 rakaat.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila mengamalkan suatu amal beliau akan
melanggengkannya. Sebagaimana kelanggengannya pada dua rakaat yang beliau qadla'
setelah ashar. Padahal shalat pada waktu itu terlarang. Kalau beliau melaksanakan 20
rakaat walaupun satu kali saja, niscaya beliau tidak akan meninggalkannya selamanya.
Kalau hal yang demikian terjadi maka hal itu tidak akan tersamar bagi Aisyah sehingga
beliau mengucapkan seperti di atas."
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Di dalam ucapannya ada isyarat yang kuat tentang
pilihan beliau terhadap sebelas rakaat dan membuang 20 rakaat yang tersebut di dalam
hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma karena sangat dlaif. Pencukupan Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam terhadap 11 rakaat menunjukkan tidak bolehnya
menambah jumlah rakaatnya. Di atas sudah dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam terus menerus menjalankan shalat tarawih di bulan Ramadlan atau
selainnya sebanyak 11 rakaat. Hal ini terus berlangsung selama hidup beliau dan beliau
tidak menambahnya. Oleh karena itu marilah kita perhatikan pada sunnah-sunnah
rawatib, shalat istisqa', khusyuf dan lain-lain. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam juga
terus menerus menjalankannya dengan jumlah tertentu. Hal ini menunjukkan tidak
bolehnya menambah rakaatnya sebagaimana yang diterima oleh para ulama. Maka
demikian juga shalat tarawih tidak boleh ditambah karena ada persamaan dengan
shalat-shalat yang telah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus
menerus melakukannya dengan tidak menambahnya. Maka barangsiapa menganggap
bahwa ada perbedaan dalam hal shalat tarawih, dia wajib membawakan dalil.
Shalat tarawih bukanlah shalat-shalat sunnah yang mutlak sehingga seorang yang shalat
boleh memilih bilangan mana yang ia suka. Shalat tarawih adalah sunnah muakkadah
yang menyerupai shalat-shalat fardlu dari segi disyariatkan jamaah padanya
sebagaimana yang dinyatakan oleh madzhab Syafi'i. Maka dari segi ini lebih pantas
untuk tidak ditambah."
Imam Ibnu Khuzaimah setelah menyebutkan hadits-hadits shahih tentang jumlah rakaat
shalat lail dari sembilan sampai sebelas rakaat, beliau berkata di dalam Shahihnya
2/1947: "Ikhtilaf ini dibolehkan, boleh bagi seseorang untuk shalat berjamaah pada
9
rakaat yang dia sukai. Sebagaimana yang teriwayatkan dari Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu `alaihi wa sallam shalat dengan bilanganbilangan
tersebut dan sesuai dengan sifat shalat yang dilaksanakan Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam. Tidak dilarang bagi seseorang sesuatu apapun."
Ucapan ini dikomentari oleh Syaikh Al-Albani di dalam Tamamul Minnah hal. 225-
226: "Ucapannya yang berbunyi `sebagaimana yang teriwayatkan dari Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam...' jelas menunjukkan bahwa tidak boleh menambah atas
apa yang telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Dan di antara
penguat apa yang telah beliau nyatakan adalah pernyataan beliau pada kitab Shahihnya
3/341 dalam masalah shalat tarawih tentang penyebutan bab Shalat Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam di Malam Bulan Ramadlan dan dalil tentang tidak mungkin ditambah
pada bulan Ramadlan atas jumlah rakaat yang dilakukan Rasulullah di luar bulan
Ramadlan." Kemudian beliau membawakan hadits Aisyah dengan dua lafadh, di
antaranya: "Shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13 rakaat, di
antaranya dua rakaat fajar."
Umar Menghidupkan Sunnah Shalat Tarawih Berjamaah dan Perintah Beliau
Sebanyak 11 Rakaat
Telah diterangkan bahwasanya manusia setelah wafatnya Rasulullah mereka terus
menerus melaksanakan shalat tarawih di masjid dengan berkelompok-kelompok di
belakang beberapa imam, yang demikian terjadi pada khilafah Abu Bakar dan awal
khilafah Umar radliyallahu `anhu. Kemudian Umar mengumpulkan mereka di belakang
satu imam. Abdurrahman bin Abdul Qari' berkata: Aku keluar ke masjid bersama Umar
bin Khattab pada malam bulan Ramadlan, maka tiba-tiba manusia berkelompok. Ada
yang shalat sendiri, ada yang shalat bersama beberapa orang. Maka beliau berkata:
"Sesungguhnya aku berpendapat kalau aku mengumpulkan mereka pada satu imam
niscaya lebih baik." Kemudian beliau bertekad keras dan mengumpulkan mereka
kepada Ubai bin Ka'ab. Kemudian aku (Abdurrahman) keluar bersama beliau pada
malam yang lain, sedang manusia shalat bersama satu imam. Maka Umar berkata:
"Sebaik-baik bid`ah adalah ini dan orang yang tidur lebih utama daripada orang-orang
yang shalat karena menginginkan akhir malam sedangkan manusia shalat pada awal
malam." (HR. Malik dalam Al-Muwatha' 1/136-137, Al-Bukhari 4/203, Al-Firyabi
2/73, 74/2-1, Ibnu Abi Syaibah 2/91/1.
Orang sekarang berdalil dengan ucapan Umar "Sebaik-baik bid`ah adalah ini" atas dua
perkara:
1. Bahwasanya shalat tarawih berjamaah adalah bid'ah, tidak ada pada jaman Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam. Ucapan ini jelas-jelas batil dengan adanya hadits-hadits
yang telah lewat.
2. Adanya bid`ah yang dipuji (bid'ah hasanah) dan mereka mengkhususkan keumuman
sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang berbunyi "Setiap bid'ah itu sesat'
dan yang semisalnya. Hal ini juga batil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan hal ini dalam Al-Iqtidla' 2/591: "Ketika
10
jaman khilafah Umar radliyallahu `anhu beliau mengumpulkan manusia pada satu imam
dan menerangi masjid. Maka jadilah dalam keadaan yang demikian --yakni jamaah di
masjid dalam keadaan terang atas satu imam-- suatu amalan yang sebelumnya tidak
mereka laksanakan. Hal ini dinamakan bid'ah karena secara bahasa memang demikian
dan bukan bid'ah secara syariat. Sunnah menghendaki bahwasanya hal itu adalah amal
shalih kalaulah tidak karena khawatir diwajibkan. Sedangkan kekhawatiran sudah
hilang dengan wafatnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sehingga hilang
pulalah halangannya."
Beliau juga mengatakan dalam Majmu' Fatawa 31/36: "Hukum asal shalat tarawih
adalah sunnah dan perbuatan Umar radliyallahu `anhu dalam rangka menghidupkan
sunnah ini dimutlakan sebagai bid'ah secara bahasa, bukan syariat."
Jadi bid'ah di sini dilihat dari sisi bahasa bukan menurut syariat. Adapun menurut
syariat bid`ah berarti membuat-buat perkara baru dalam agama yang tidak ada
contohnya dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Lafadh atsar di atas "Orang-orang
tidur darinya lebih utama daripada..." dikomentari oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar sebagai
berikut: "Hal ini adalah keterangan yang jelas bahwa shalat tarawih di akhir malam
lebih afdlal daripada di awalnya. Akan tetapi shalat tarawih sendirian itu tidaklah lebih
utama daripada berjamaah."
Syaikh Al-Albani menambahkan: "Bahkan jamaah di awal waktu lebih utama daripada
shalat di akhir malam sendirian." (Shalat Tarawih hal. 42)
Tentang perintah Umar radliyallahu `anhu untuk shalat sebelas rakaat adalah
diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwaththa' 1/137 no. 248 dari Muhammad bin
Yusuf dari As-Saib bin Yazid, dia berkata: Umar memerintahkan Ubai bin Ka`ab dan
Tamim Ad-Dari agar shalat bersama manusia sebanyak 11 rakaat." Dia (perawi)
berkata: "Ada imam yang membaca 200 ayat sampai kami bersandar di atas tongkat
karena lamanya berdiri dan tidaklah kami selesai kecuali pada terbitnya fajar."
Syaikh Al-Albani berkata: "Sanadnya sangat shahih karena Muhammad bin Yusuf
yakni Syaikh (guru) Imam Malik adalah tsiqah secara sepakat dan Bukhari serta
Muslim berhujah dengannya. Sedangkan As-Saib adalah shahabat Nabi yang pernah
menunaikan haji bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam keadaan masih
kecil. Dari jalan Malik ini dikeluarkan oleh Abu Bakr An-Naisaburi di dalam Al-
Fawaid 1/135, Al-Firyabi (1/76-2/75) dan Al-Baihaqi di dalam Sunan Al-Kubra 1/496.
Dapat dilihat keterangan keshahihan atsar ini dalam kitab Shalatut Tarawih".
Sedangkan riwayat yang menerangkan bahwa Umar shalat dan menyuruh shalat tarawih
sebanyak 20 rakaat adalah tidak shahih. Atsar tentag hal ini diriwayatkan oleh
Abdurrazaq dari jalan lain dari Muhammad bin Yusuf. Lafadh ini (20 rakaat) memiliki
dua kesalahan:
1. Menyelisihi riwayat yang lebih tsiqah yakni 11 rakaat.
11
2. Abdurrazaq menyendiri (infirad) dalam meriwayatkan lafadh ini, walaupun riwayat
tersebut selamat di antara dia dan Muhammad bin Yusuf.
Maka `ilat (cacat)nya pada Abdurrazaq. Walaupun dia tsiqah, hafidh, pengarang yang
masyhur, akan tetapi di akhir umurnya beliau buta dan berubah hapalannya
sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh dalam At-Taqrib. Dia digolongkan para
perawi yang mukhtalith (bercampur hapalannya), yakni setelah akhir umurnya. (Lihat
Mukadimah Ulumil Hadits hal. 407)
Riwayat perawi seperti ini dapat diambil sebelum mukhtalith dan tidak boleh diambil
setelah bercampur hapalannya atau dalam keadaan yang sulit sehingga seorang perawi
tidak tahu apakah dia mengambil dari orang yang mukhtalith tadi sebelum atau sesudah
bercampur hapalannya (Mukadimah Ulumil Hadits hal. 391).
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Atsar ini termasuk jenis yang ketiga yakni tidak
diketahui apakah dia (Abdurrazaq) meriwayatkan sebelum atau sesudah bercampur
hapalannya. Riwayat semacam ini tidak diterima, walaupun diterima termasuk riwayat
yang syadz (asing) dan menyelisihi. Maka bagaimana mau diterima?! Begitu juga atsar
beliau yang menerangkan jumlah rakaatnya 23 didlaifkan oleh Imam Nawawi dalam
Al-Majmu' 4/33 dan beliau berkata: "Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, akan tetapi mursal
karena Yazin (perawi hadits) tidak bertemu dengan Umar. Juga didlaifkan oleh Al-`Aini
dengan beralasan bahwa sanadnya munqathi`. Imam Syafi'i dan Imam Tirmidzi juga
mendlaifkan atsar Umar yang berjumlah 20 rakaat. Beliau berdua dalam membawakan
atsar-atsar ini dengan lafadh (konteks) dengan sighat tamridl (bentuk yang mengandung
cacat), misalnya: ruwiya "diriwayatkan", ukhbira "diceritakan" atau "dikisahkan", dan
sebagainya. Lihat ucapan atau riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa Imam Syafi'i
mendlaifkannya dalam Mukhtashar karya Al-Muzani 1/107."
Adapun atsar dari shahabat selain Umar seperti Ali, Ubai bin Ka`ab, Abdullah bin
Mas`ud radliyallahu `anhum tentang 20 atau 23 rakaat semuanya dlaif. Lihat dalam
buku Shalat Tarawih. Hal tersebut diterangkan pada buku tersebut oleh para ulama.
Oleh karena itu tidak ada ijma' yang menyatakan 20 rakaat sebagaimana anggapan
sebagian orang bahwa para shahabat ijma' atas shalat tarawih 20 rakaat. Ijma' ini tidak
dianggap karena dibangun di atas kedlaifan. Sesuatu yang dibangun di atas kedlaifan
maka ia dlaif pula. Oleh karena itu Al-Mubarakafuri menegaskan di dalam At-Tuhfah
2/76 bahwa hal ini adalah ijma' penguat yang bathil.
Pengingkaran Ulama Terhadap Tambahan 11 Rakaat
Imam Suyuthi berkata di dalam Al-Mashabih fi Shalati Tarawih 2/77: "Dikatakan oleh
Al-Ajuri ---dari rekan-rekan kami-- bahwa Imam Malik menyatakan: Umar
mengumpulkan manusia atas 11 rakaat lebih aku sukai. Ia adalah shalat Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam."
Al-Imam Ibnul `Arabi di dalam Syarah Tirmidzi 4/19 setelah menjelaskan riwayat12
riwayat yang disumberkan dari Umar, beliau berkata: "Yang benar shalat tarawih Nabi
sebanyak 11 rakaat. Adapun selain jumlah ini, maka tidak ada asalnya dan nashnya.
Kalau mengharuskan adanya batasan, maka batasannya adalah shalat Nabi. Nabi tidak
menambah pada Ramadlan dan selainnya di atas 11 rakaat. Inilah shalat tarawih/shalat
lail, maka wajib meniru Nabi shallallahu `alaihi wa sallam."
Demikian juga yang ditegaskan oleh Imam As-Shan'ani dalam Subulus Salam
bahwasanya jumlah shalat tarawih 20 rakaat adalah bid'ah dan beliau berkata: "Tidak
ada bid'ah yang dipuji, bahkan semua bid'ah itu sesat." (Subulus Salam 1/11-12)
Dengan keterangan-keterangan di atas, maka wajib bagi kita memegang erat-erat
sunnah Rasul dan para shahabatnya, yaitu sebelas rakaat, tidak menambahnya.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya barangsiapa di antara
kalian yang hidup sesudahku, dia akan melihat banyak ikhtilaf. Maka wajib atas kalian
sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin (para shahabat). Peganglah erat-erat dan
gigitlah dengan gigi gerahammu dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru.
Sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid'ah, setiap bid'ah sesat dan setiap
kesesatan dalam neraka." (HR. Ahmad 4/126-127 Abu Daud 2/261 At-Tirmidzi 3/377-
378, Ibnu Majah 1/19-21 dan Al-Hakim 1/95-97).
Kalau memang tambahan di atas sebelas rakaat itu tsabit dari salah seorang khulafa'ur
rasyidin atau dari kalangan fuqaha' selain mereka, kami akan mengatakan tentang
bolehnya karena kita mengetahui keutamaan dan pemahaman fikih mereka serta
jauhnya mereka dari membuat bid'ah di dalam agama. Akan tetapi kalau tidak tsabit
maka kita hanya berpegang dengan yang tsabit dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam.
Kendati ada ikhtilaf ulama tentang jumlahnya yaitu ada yang mengatakan jumlahnya
42, 36, 34, 28, 24, 20, dan 11, maka sebaiknya kita kembalikan ikhtilaf ini kepada Allah
dan Rasul-Nya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Shalatlah
sebagaimana aku shalat." (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Kalau kita amati orang-orang yang shalat tarawih lebih dari 11 rakaat, mereka sering
meninggalkan rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban shalat seperti tuma'ninah,
lamanya berdiri, tartil dalam bacaan dan lain-lain. Oleh karena itu tidak selayaknya bagi
orang-orang yang tunduk meninggalkan sunnah ini dan memilih pendapat yang dlaif.
QUNUT DALAM SHALAT WITIR
Imam Malik berpendapat bahwa qunut witir dilaksanakan hanya pada pertengahan atau
setengah akhir bulan Ramadhan. Hal ini juga dinyatakan oleh Az-Zuhri, Imam Malik
dan Imam Ahmad dengan membawakan dalil riwayat Abu Dawud:
Umar Ibnul Khatab radliyallahu `anhu mengumpulkan (manusia) kepada Ubai bin
Ka`ab dan dia shalat bersama mereka pada malam ke 20. Dia tidak qunut kecuali pada
pertengahan akhir bulan Ramadlan. (HR. Abu Dawud dalam Sunannya 2/65)
13
Berikutnya adalah hadits Anas radliyallahu `anhu:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam qunut pada setengah akhir bulan Ramadlan ....
Akan tetapi dalil yang mereka bawakan ini dlaif dari beberapa sisi:
Pertama, pada sanad riwayat dari Umar ada inqitha' (putus sanad) yakni Al-Hasan dari
Umar, sedang Al-Hasan tidak bertemu Umar. Kedua, pada sanad riwayat dari Anas
yang meriwayatkan dari beliau adalah Abul Atikah. Dia dlaif sebagaimana kata Ibnul
Qayim Al-Jauziyahdi dalam Aunul Ma'bud: "Abu Atikah dlaif." Juga kata Al-Baihaqi:
"Tidak shahih sanadnya (lihat halaman ini pada rujuk Imam Malik dalam syarah Az-
Zarqani terhadap Al-Muwatha' 1/216 dan rujuk Imam Ahmad dalam Masail Ibnu Hani
1/100 no. 500. Demikian pula keterangan Syaikh Masyhur Hasan Salman dan beliau
berkata: "Benar, qunut witir pada pertengahan akhir Ramadlan mempunyai keadaan
yang khusus yang diterangkan oleh atsar yang terdapat dalam Shahih Ibnu Khuzaimah
2/155-156 dengan sanad yang shahih. Akan tetapi qunut witir tidak dikhususkan dan
terbatas pada waktu ini, tetapi ia syariatkan di seluruh tahun (Al-Qaulul Mubin hal 133-
134). Demikian juga yang dinyatakan oleh Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah 1/165 dan
lain-lain. Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkan pendapat di atas sebagai
kesalahan.
Mengenai tempat qunut, ada beberapa pendapat yaitu:
Pertama, sesudah ruku`, sebagaimana pendapat Imam As-Syafi'i dan Ahmad Kedua,
sebelum ruku` menurut pendapat Imam Malik Ketiga, boleh sesudah ruku` dan sebelum
ruku, menurut salah satu pendapat Imam Malik. (lihat Al-Istidzkar 6/201)
Dalam ikhtilaf semacam ini, maka kita kembalikan kepada nash yang shahih yaitu
hadits dari Ubai bin Ka`ab radliyallahu `anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi
wa sallam qunut pada rakaat witir dan meletakkannya sebelum ruku`." (HR. Ibnu Abi
Syaibah 12/41/1, Abu Dawud, An-Nasa'i di dalam Sunan Al-Kubra 218/1-2, Ahmad,
At-Thabrani, Al-Baihaqi dan Ibnu Asakir dengan sanad yang shahih. Demikian
penilaian Syaikh Albani).
Hadits shahih ini mendukung pendapat yang kedua.
Syaikh Masyhur berkata: "Qunut witir diletakkan sebelum ruku` sedangkan qunut
nazilah sesudah ruku`. Kecuali apabila terjadi nazilah (kegentingan) di kalangan kaum
muslimin sebagaimana pada atsar yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah (Al-Qaulul
Mubin hal. 134)
Kemudian tatacaranya adalah sebagaimana yang telah dikatakan oleh Sayid Sabiq:
"Apabila qunut setelah ruku`, dengan mengangkat tangan dan takbir setelah selesai
qunut. Yang demikian diriwayatkan dari sebagian shahabat. Sebagian ulama
menyunahkannya dan sebagian lain tidak." (Fiqhus Sunnah 1/166)
14
Adapun masalah mengusapkan kedua tangan ke muka setelah qunut Imam Al-Baihaqi
mengatakan: "Lebih utama tidak dilakukan dan cukup dengan apa yang dilaksanakan
oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, yakni mengangkat tangan tanpa
mengusapkannya ke muka."
Al-`Izz bin Abdis Salam berkata: "Tidaklah mengusapkan kedua tangan ke muka
setelah doa qunut kecuali orang bodoh/jahil." (Al-Fatawa hal. 47).
Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkannya ke dalam kesalahan dalam shalat di
dalam kitab beliau Al-Qaulul Mubin fi Akhta'il Mushalin (keterangan yang jelas
tentang kesalahan orang-orang yang shalat) hal 133.
Doa Qunut
Al-Hasan bin Ali diajari oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kalau selesai dari
dalam shalat witir, agar mengucapkan doa: “Allahummah dinii fiiman hadaita, wa
'aafinii fiiman 'aafaita, wa tawallanii fiiman tawallaita, wa baarik lii fiimaa a’thoita,
waqinii syarro maa qodhoita, fainnaka taqdii wa laa yuqdhoo ‘alaika, wainnahu laa
yadzillu man waalaita, walaa ya’izzuman ‘aadaita, tabaarokta robbanaa wa ta’aa laita,
laa manja minka illa ilaika.” Artinya : "Ya Allah, tunjukkilah aku sebagaimana orang
yang Engkau tunjuki. Selamatkanlah aku sebagaimana orang yang Engkau beri
keselamatan. Kasihilah aku sebagaimana orang yang Engkau kasihi. Berkahilah bagiku
apa-apa yang Engkau berikan. Selamatkanlah aku dari kejelekan apa yang Engkau
takdirkan. Sesungguhnya Engkau yang menentukan dan tidak ada yang menentukan
diri-Mu. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau kasihi dan tidak akan mulia
orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau Rabb kami dan Maha Tinggi. Tidak ada
keselamatan dari-Mu kecuali berlindung kepada-Mu." (HR. Ibnu Khuzaimah 1/911 dan
Ibnu Abi Syaibah)
Syaikh Masyhur mengatakan: "Doa ini tidak boleh ditambah seperti yang dilakukan
kebanyakan imam shalat dengan tambahan "falakal hamdu `alaa maa qadlait
astaghfiruka wa atuubu ilaik." Adapun shalawat kepada Nabi shallallahu `alaihi wa
sallam telah tsabit pada hadits Ubai bin Ka`ab yang mengimami manusia pada shalat
tarawih di jaman Umar radliyallahu `anhu. Perbuataan ini termasuk amal kaum salaf
walaupun atsar ini didlaifkan oleh Ibnu Hajar. (Al-Qaulul Mubin hal. 134)
Demikianlah pembahasan tarawih dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya.
Semoga bermanfaat dan marilah kita berusaha untuk menjalankannya. Kesempurnaan
hanyalah milik Allah.
Wallahu `alam bisshawab.
Maraji':
1. Shalatut Tarawih, Syaikh Nashirudin Al-Albani
15
2. Qiyamul Lail, Syaikh Nashirudin Al-Albani
3. Tamamul Minah, Syaikh Nashirudin Al-Albani
4. Irwa'ul Ghalil, Syaikh Nashirudin Al-Albani
5. Shifatu Shalatin Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, Syaikh
Nashirudin Al-Albani
6. Al-Qaulul Mubin fi Akhta'il Mushalin, Syaikh Masyhur Hasan Salman
7. Zadul Ma`ad, Imam Ibnu Qayim Al-Jauziah
8. Al-Istidzkar, Imam Ibnu Abdil Barr
9. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq
10. Ilmu Ushulil Bida`, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
(Dikutip dari majalah Salafy Edisi XXII/1418/1997, penulis asli ustadz Zuhair Syarif,
judul asli "Sholat Tarawih", hal 22-32)
Beberapa Cara Shalat Malam yang dikerjakan Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam
Dari hadits-hadits dan riwayat yang ada dapat disimpulkan bahwa Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam mengerjakan shalat malam dan witir lengkap berbagai cara:
Pertama.
Shalat 13 rakaat dan dimulai dengan 2 rakaat yang ringan.
Berkenaan dengan ini ada beberapa riwayat:
a. Hadits Zaid bin Khalid al-Juhani bahwasanya berkata: "Aku perhatikan shalat malam
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Yaitu (ia) shalat dua rakaat yang ringan
kemudian ia shalat dua rakaat yang panjang sekali. Kemudian shalat dua rakaat, dan
dua rakaat ini tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat
(tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang
dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat
sebelumnya), kemudian witir satu rakaat, yang demikian adalah tiga belas rakaat."
(Diriwayatkan oleh Malik, Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud dan Ibnu Nashr)
b. Hadits Ibnu Abbas, ia berkata: "Saya pernah bermalam di kediaman Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam suatu malam, waktu itu beliau di rumah Maimunah
radliyallahu anha. Beliau bangun dan waktu itu telah habis dua pertiga atau setengah
malam, kemudian beliau pergi ke tempat yang ada padanya air, aku ikut berwudlu
bersamanya, kemudian beliau berdiri dan aku berdiri di sebelah kirinya maka beliau
pindahkan aku ke sebelah kanannya. Kemudian meletakkan tangannya di atas kepalaku
seakan-akan beliau memegang telingaku, seakan-akan membangunkanku, kemudian
beliau shalat dua rakaat yang ringan. Beliau membaca Ummul Qur'an pada kedua rakaat
itu, kemudian beliau memberi salam kemudian beliau shalat hingga sebelas rakaat
dengan witir, kemudian tidur. Bilal datang dan berkata: Shalat Ya Rasulullah! Maka
beliau bangun dan shalat dua rakaat, kemudian shalat mengimami orang-orang. (HR.
Abu Dawud dan Abu `Awanah dalam kitab Shahihnya. Dan asalnya di Shahihain)
16
Ibnul Qayim juga menyebutkan hadits ini di Zadul Ma`ad 1:121 tetapi Ibnu Abbas tidak
menyebut bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan
dua rakaat yang ringan sebagaimana yang disebutkan Aisyah.
c. Hadits Aisyah, ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila
bangun malam, memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan, kemudian shalat
delapan kemudian berwitir. Pada lafadh lain: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam shalat Isya, kemudian menambah dengan dua rakaat, aku telah siapkan siwak
dan air wudhunya dan berwudlu kemudian shalat dua rakaat, kemudian bangkit dan
shalat delapan rakaat, beliau menyamakan bacaan antara rakaat-rakaat itu, kemudian
berwitir pada rakaat yang ke sembilan. Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
sudah berusia lanjut dan gemuk, beliau jadikan yang delapan rakaat itu menjadi enam
rakaat kemudian ia berwitir pada rakaat yang ketujuh, kemudian beliau shalat dua
rakaat dengan duduk, beliau membaca pada dua rakaat itu "Qul ya ayyuhal kafirun" dan
"Idza zulzilat."
Penjelasan.
Dikeluarkan oleh Thahawi 1/156 dengan dua sanad yang shahih. Bagian pertama dari
lafadh yang pertama juga dikeluarkan oleh Muslim 11/184; Abu Awanah 1/304,
semuanya diriwayatkan melalui jalan Hasan Al-Bashri dengan mu`an`an, tetapi Nasai
meriwayatkannya (1:250) dan juga Ahmad V:168 dengan tahdits. Lafadh kedua ini
menurut Thahawi jelas menunjukan bahwa jumlah rakaatnya 13, ini menunjukan bahwa
perkataannya di lafadh yang pertama : "kemudian ia berwitir" maksudnya tiga rakaat.
Memahami seperti ini gunanya agar tidak timbul perbedaan jumlah rakaat antara
riwayat Ibnu Abbas dan Aisyah.
Kalau kita perhatikan lafadh kedua, maka di sana Aisyah menyebutkan dua rakaat yang
ringan setelah shalat Isya'nya, tetapi tidak menyebutkan adanya shalat ba'diyah Isya. Ini
mendukung kesimpulan penulis pada uraian terdahulu bahwa dua rakaat yang ringan itu
adalah sunnah ba`diyah Isya.
Kedua
Shalat 13 rakaat, yaitu 8 rakaat (memberi salam setiap dua rakaat) ditambah lima rakaat
witir, yang tidak duduk kecuali pada rakaat terakhir (kelima).
Tentang ini ada riwayat dari Aisyah sebagai berikut: Adalah Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam tidur, ketika bangun beliau bersiwak kemudian berwudhu, kemudian
shalat delapan rakat, duduk setiap dua rakaat dan memberi salam, kemudian berwitir
dengan lima rakaat, tidak duduk kecuali ada rakaat kelima, dan tidak memberi salam
kecuali pada rakaat yang kelima. Maka ketika muadzin beradzan, beliau bangkit dan
shalat dua rakaat yang ringan.
Penjelasan :
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad II:123, 130, sanadnya shahih menurut persyaratan
Bukhari dan Muslim. Dikeluarkan juga oleh Muslim II:166; Abu Awanah II:325, Abu
17
Daud 1:210; Tirmidzi II:321 dan beliau mengesahkannya. Juga oleh Ad-Daarimi 1:371,
Ibnu Nashr pada halaman 120-121; Baihaqi III:27; Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla
III:42-43.
Semua mereka ini meriwayatkan dengan singkat, tidak disebut padanya tentang
memberi salam pada tiap dua rakaat, sedangkan Syafi'i 1:1/109, At-Thayalisi 1:120 dan
Hakim 1:305 hanya meriwayatkan tentang witir lima rakaat saja.
Hadits ini juga mempunyai syahid dari Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Abu Dawud
1:214 daan Baihaqi III:29, sanad keduanya shahih. Kalau kita lihat sepintas lalu,
seakan-akan riwayat Ahmad ini bertentangan dengan riwayat Aisyah yang membatas
bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan lebih dari
sebelas rakaat, sebab pada riwayat ini jumlah yang dikerjakan Nabi shallallahu `alaihi
wa sallam adalah 13 rakaat ditambah 2 rakaat qabliyah Shubuh. Tetapi sebenarnya
kedua riwayat ini tidak bertentangan dan dapat dijama' seperti pad uraian yang lalu.
Kesimpulannya dari 13 rakaat itu, masuk di dalamnya 2 rakaat Iftitah atau 2 rakaat
ba'diyah Isya.
Ketiga.
Shalat 11 rakaat, dengan salam setiap dua rakaat dan berwitir 1 rakaat.
Dasarnya hadits Aisyah berikut ini: "Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
shalat pada waktu antara selesai shalat Isya, biasa juga orang menamakan shalat
`atamah hingga waktu fajar, sebanyak 11 rakaat, beliau memberi salam setiap dua
rakaat dan berwitir satu rakaat, beliau berhenti pada waktu sujudnya selama seseorang
membaca 50 ayat sebelum mengangkat kepalanya".
Penjelasan:
Diriwayatkan oleh Muslim II:155 dan Abu Awanah II:326; Abu Dawud I:209; Thahawi
I:167; Ahmad II:215, 248. Abu Awanah dan Muslim juga meriwayatkan dari hadits
Ibnu Umar, sedangkan Abu Awanah juga dari Ibnu Abbas.
Mendukung riwayat ini adalah Ibnu Umar juga: Bahwa seorang laki-laki bertanya
kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang shalat malam, maka sabdanya:
Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Kalau seseorang daripada kamu khawatir
masuk waktu Shubuh, cukup dia shalat satu rakaat guna menggajilkan jumlah rakaat
yang ia telah kerjakan.
Riwayat Malik I:144, Abu Awanah II:330-331, Bukhari II:382,385, MuslimII:172. Ia
menambahkan (Abu Awanah): "Maka Ibnu Umar ditanya: Apa yang dimaksud dua
rakaat - dua rakaat itu? Ia menjawab: Bahwasanya memberi salam di tiap dua rakaat."
Keempat.
Shalat 11 rakaat yaitu sholat 4 rakaat dengan 1 salam, empat rakaat salam lagi,
kemudian tiga rakaat.
18
Haditsnya adalah riwayat Bukhari Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu. Menurut
dhahir haditsnya, beliau duduk di tiap-tiap dua rakaat tetapi tidak memberi salam,
demikianlah penafsiran Imam Nawawi. Yang seperti ini telah diriwayatkan dalam
beberapa hadits dari Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak
memberi salam antara dua rakaat dan witir, namun riwayat-riwayat itu lemah,
demikianlah yang disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Nashr, Baihaqi dan Nawawi.
Kelima
Shalat 11 rakaat dengan perincian 8 rakaat yang beliau tidak duduk kecuali pada rakaat
kedelapan tersebut, maka beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi, kemudian
bangkit dan tidak memberi salam, selanjutnya beliau witir satu rakaat, kemudian
memberi salam (maka genap 9 raka'at). Kemudian Nabi sholat 2 raka'at sambil duduk.
Dasarnya adalah hadits Aisyah radliallahu `anha, diriwayatkan oleh Sa'ad bin Hisyam
bin Amir. Bahwasanya ia mendatangi Ibnu Abbas dan menanyakan kepadanya tentang
witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam maka Ibnu Abbas berkata: Maukah aku
tunjukan kepada kamu orang yang paling mengetahui dari seluruh penduduk bumi
tentang witirnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: Ia bertanya siapa dia? Ia
berkata: Aisyah radlillahu anha, maka datangilah ia dan Tanya kepadanya: Maka aku
pergi kepadnya, ia berkata: Aku bertanya; Hai Ummul mukminin khabarkan kepadaku
tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, Ia menjawab: Kami biasa
menyiapkan siwak dan air wudlunya, maka ia bersiwak dan berwudlu dan shalat
sembilan rakaat tidak duduk padanya kecuali pada rakaat yang kedelapan, maka ia
mengingat Allah dan memuji-Nya dan bershalawat kepada nabi-Nya dan berdoa,
kemudian bangkit dan tidak memberi salam, kemudian berdiri dan shalat (rakaat) yang
kesembilan, kemudian beliau duduk dan mengingat Allah dan memujinya (at tahiyat)
dan bershalawat atas nabi-Nya shallallahu `alaihi wa sallam dan berdoa, kemudian
memberi salam dengan salam yang diperdengarkan kepada kami, kemudian shalat dua
rakat setelah beliau memberi salam, dan beliau dalam keadaan duduk, maka yang
demikian jumlahnya sebelas. Wahai anakku, maka ketika Nabi shallallahu `alaihi wa
sallam menjadi gemuk, beliau berwitir tujuh rakaat, beliau mengerjakan di dua rakaat
sebagaimana yang beliau kerjakan (dengan duduk). Yang demikian jumlahnya sembilan
rakaat wahai anakku.
Penjelasan
Diriwayatkan oleh Muslim II:169-170, Abu Awanah II:321-325, Abu Dawud I:210-
211, Nasai I/244-250, Ibnu Nashr halaman 49, Baihaqi III:30 dan Ahmad VI:53,54,168.
Keenam.
Shalat 9 rakaat, dari jumlah ini, 6 rakaat beliau kerjakan tanpa duduk (tasyahud) kecuali
pada rakaat yang keenam tersebut, beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam kemudian beliau bangkit dan tidak memberi salam
sedangkan beliau dalam keadaan duduk.
19
Yang menjadi dasar adalah hadits Aisyah radiyallahu anha seperti telah disebutkan pada
cara yang kelima.
Itulah cara-cara shalat malam dan witir yng pernah dikerjakan Rasulullah, cara
yang lain dari itu bisa juga ditambahkan yang penting tidak melebihi sebelas rakaat.
Adapun kurang dari jumlah itu tidak dianggap menyalahi karena yang demikian
memang dibolehkan, bahkan berwitir satu rakaatpun juga boleh sebagaimana sabdanya
yang lalu: "....Maka barang siapa ingin maka ia boleh berwitir 5 rakaat, dan barangsiapa
ingin ia boleh berwitir 3 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir dengan satu
rakaat."
Hadits di atas merupakan nash boleh ia berwitir dengan salah satu dari rakaat-rakaat
tersebut, hanya saja seperti yang dinyatakan hadits Aisyah bahwasaya beliau tidk
berwitir kurang dari 7 rakaat.
Tentang witir yang lima rakaat dan tiga rakaat dapat dilakukan dengan berbagai cara:
a. Dengan sekali duduk dan sekali salam
b. Duduk at tahiyat setiap dua rakaat
c. Memberi salam setiap dua rakaat
Al-Hafidh Muhammad bin Nashr al-Maruzi dalam kitab Qiyamul Lail halaman
119 mengatakan: Cara yang kami pilih untuk mengerjakan shalat malam, baik
Ramadlan atau lainnya adalah dengan memberi salam setiap dua rakaat. Kalau seorang
ingin mengerjakan tiga rakaat, maka di rakaat pertama hendaknya membaca surah
"Sabbihisma Rabbikal A'la" dan pada rakaat kedua membaca surah "Al-Kafirun", dan
bertasyahud dirakaat kedua kemudian memberi salam. Selanjutya bangkit lagi dan
shalat satu rakaat, pada rakaat ini dibaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlash, Mu`awwidzatain
(Al-Falaq dan An-Naas), setelah itu beliau (Muhammad bin Nashr) menyebutkan caracara
yang telah diuraikan terdahulu.
Semua cara-cara tersebut boleh dilakukan, hanya saja kami pilih cara yang
disebutkan di atas karen didasarkan pada jawaban Nabi shallallahu `alaihi wa sallam
ketika beliau ditanya tentang shalat malam, maka beliau menjawab: bahwa shalat
malam itu dua rakaat dua rakaat, jadi kami memilih cara seperti yang beliau pilih.
Adapun tentang witir yang tiga rakaat, tidak kami dapatkan keterangan yang pasti
dan terperinci dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya beliau tidak memberi
salam kecuali pada rakat yang ketiga, seperti yang disebutkan tentang Witir lima rakaat,
tujuh dan sembilan rakaat. Yang kami dapati adalah bahwa beliau berwitir tiga rakaat
dengan tidak disebutkan tentang salam sedangkan tidak disebutkan itu tidak dapat
diartikan bahwa beliau tidak mengerjakan, bahkan mungkin beliau melakukannya.
Yang jelas tentang pelaksanaan yang tiga rakaat ini mengandung beberapa ihtimaalat
(kemungkinan), diantaranya kemungkinan beliau justru memberi salam, karena
demikialah yang kami tafsirkan dari shalat beliau yang sepuluh rakaat, meskipun di
20
sana tidak diceritakan tentang adanya salam setiap dua rakaat, tapi berdasar keumuman
sabdanya bahwa asal shalat malam atau siang itu adalah dua rakaat, dua rakaat.
Sedangkan hadits Ubay bin Ka'ab yang sering dijadikan dasar tidak adanya salam
kecuali pada rakaat yang ketiga (laa yusallimu illa fii akhirihinna), ternyata tambahan
ini tidak dapat dipakai, karena Abdul Aziz bin Khalid bersendiri dengan tambahan
tersebut, sedangkan Abdul Aziz ini, tidak dianggap tsiqah oleh ulama Hadits. Dalam at-
Taqrib dinyatakan bahwa dia maqbul apabila ada mutaba'ah (hadits lain yang
mengiringi), kalau tidak ia termasuk Layyinul Hadits. Di samping itu tambahan
riwayatnya menyalahi riwayat dari Sa'id bin Abi Urubah yang tanpa tambahan tersebut.
Ibnu Nashr, Nasai dan Daruqutni juga meriwayatkan tanpa tambahan. Dengan ini, jelas
bahwa tambahan tersebut adalah munkar dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Tapi walaupun demikian diriwayatkan bahwa shahabat-shahabat Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam mengerjakan witir tiga rakaat dengan tanpa memberi salam kecuali
pada rakaat yang terakhir dan ittiba' kepada mereka ini lebih baik baik daripada
mengerjakan yang tidak dicontohkan. Dari sisi lain perlu juga diketengahkan bahwa
terdapat banyak riwayat baik dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, para shahabat
ataupun tabi'in yaang menunjukan tidak disukainya shalat witir tiga rakaat, diantaranya:
"Janganlah engkau mengerjakan witir tiga rakaat yang menyerupai Maghrib, tetapi
hendaklah engkau berwitir lima rakaat." (HR. Al-Baihaqi, At Thohawi dan Daruquthny
dan selain keduanya, lihat Sholatut Tarawih hal 99-110).
Hadits ini tidak dapat dipakai karena mempunyai kelemahan pada sanadnya, tapi
Thahawi meriwayatkan hadits ini melalui jalan lain dengan sanad yang shahih. Adapun
maksudnya adalah melarang witir tiga rakaat apabila menyerupai Maghrib yaitu dengan
dua tasyahud, namun kalau witir tiga rakaat dengan tidak pakai tasyahud awwal, maka
yang demikian tidak dapat dikatakan menyerupai. Pendapat ini juga dinyatakan oleh
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari II:385 dan dianggap baik oleh Shan'aani dalam Subulus
Salam II:8.
Kesimpulan dari yang kami uraikan di atas bahwa semua cara witir yang disebutkan di
atas adalah baik, hanya perlu dinyatakan bahwa witir tiga rakaat dengan dua kali
tasyahhud, tidak pernah ada contohnya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
bahkan yang demikian tidak luput dari kesalahan, oleh karenanya kami memilih untuk
tidak duduk di rakaat genap (kedua), kalau duduk berarti memberi salam, dan cara ini
adalah yang lebih utama.
(Dikutip dari tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, judul asli Sholatut
Tarawih, edisi Indonesia Kelemahan Riwayat Tarawih 20 Rakaat.)
Menghidupkan malam-malam bulan Ramadlan dengan berbagai macam ibadah adalah
perkara yang sangat dianjurkan. Diantaranya adalah shalat tarawih. Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam pernah mengerjakannya di masjid dan diikuti para
shahabat beliau di belakang beliau. Tatkala sudah terlalu banyak orang yang mengikuti
shalat tersebut di belakang beliau, beliau masuk ke rumahnya dan tidak
mengerjakannya di masjid. Hal tersebut beliau lakukan karena khawatir shalat tarawih
diwajibkan atas mereka karena pada masa itu wahyu masih turun.
Diterangkan dalam hadits Abu Hurairah radliyallahu `anhu, beliau berkata: Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam selalu memberi semangat untuk menghidupkan
(shalat/ibadah) bulan Ramadlan tanpa mewajibkannya. Beliau shallallahu `alaihi wa
sallam bersabda: "Barangsiapa menghidupkan bulan Ramadlan dengan keimanan dan
mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lewat." Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam wafat dalam keadaan meninggalkan shalat tarawih
berjamaah. Hal ini berlangsung sampai kekhilafahan Abu Bakr serta pada awal
kehilafahan Umar radliyallahu `anhu." (HR. Bukhari 1/499, Muslim 2/177, Malik
1/113/2, Abu Dawud 1371, An-Nasa'i 1/308, At-Tirmidzi 1/153, Ad-Darimi 2/26, Ibnu
Majah 1326, Ahmad 2/281, 289, 408, 423. Adapun lafadh hadits yang kedua adalah
tambahan pada riwayat Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Lihat Al-Irwa' juz 4 hal.
14)
Juga hadits `Amr bin Murah Al-Juhani, beliau berkata: "Seseorang dari Qadlafah
datang kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, kemudian berkata: `Wahai
Rasulullah! Bagaimana pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq
kecuali Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah, aku shalat yang lima, puasa di
bulan Ramadlan, menghidupkan Ramadlan dan membayar zakat?' Maka jawab
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: `Barangsiapa mati atas yang demikian, maka
dia termasuk orang-orang yang shidiq dan syahid." (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu
Hibban dalam Shahih keduanya dengan sanad yang shahih. Lihat tahqiq Syaikh Albani
terhadap Shahih Ibnu Khuzaimah 3/340/2262 dan Shahih At-Targhib 1/419/993)
Kedua hadits di atas menerangkan tentang keutamaan menghidupkan malam bulan
Ramadlan dengan berbagai ibadah di antaranya shalat tarawih berjamaah.
Sholat Tarawih Berjama'ah
Tidak diragukan lagi bahwa shalat tarawih dengan berjamaah pada bulan Ramadlan
sangat dianjurkan. Hal ini diketahui dengan beberapa hal berikut:
2
1. Penetapan Rasulullah tentang berjamaah padanya.
2. Perbuatan beliau shallallahu `alaihi wa sallam.
3. Keterangan beliau tentang fadlilah(keutamaan)nya.
Penetapan beliau tampak dalam hadits Tsa`labah bin Abi Malik Al-Quradli, dia berkata:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada suatu malam di bulan Ramadlan keluar
dan melihat sekelompok orang shalat di sebelah masjid. Beliau bertanya: "Apa yang
mereka lakukan?" Seseorang menjawab: "Wahai Rasulullah, mereka adalah orang yang
tidak bisa membaca Al-Qur'an, Ubay bin Ka'b membacakannya untuk mereka dan
bersama dialah mereka shalat". Maka beliau bersabda: "Mereka telah berbuat baik",
atau "Mereka telah berbuat benar dan hal itu tidak dibenci bagi mereka." (HR. Al-
Baihaqi 2/495 dan dia berkata: "Hadits ini mursal hasan." Syaikh Al-Albani berkata:
"Hadits ini telah diriwayatkan pula secara bersambung (maushul) dari jalan lain dari
Abi Hurairah radliyallahu `anhu dengan sanad la ba'sa bihi karena ada hadits-hadits
pendukungnya. Hadits ini disebutkan pula oleh Ibnu Nashr di dalam Qiyamul Lail hal.
90 dengan riwayat Abu Dawud 1/217 dan Al-Baihaqi).
Sedangkan perbuatan beliau dalam hal ini disebutkan dalam beberapa hadits, yaitu: Dari
Nu`man bin Basyir radliyallahu `anhu, ia berkata: "Kami berdiri (untuk shalat tarawih)
bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada malam ke 23 di bulan Ramadlan
sampai habis sepertiga malam pertama. Kemudian kami shalat bersama beliau pada
malam ke 25 sampai pertengahan malam. Kemudian beliau shalat bersama kami malam
ke 27 sampai kami menyangka bahwa kami tidak mendapatkan al-falah (makan sahur)
sampai kami menyeru untuk sahur." (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf
2/40/2, Ibnu Nashr 89, An-Nasai 1/238, Ahmad 4/272, Al-Firyabi dalam Ar-Rabi` wal
Khamis min Kitabis Shiyam 1/440 dan berkata: "Pada hadits ini ada dalil yang jelas
bahwa shalat tarawih di masjid-masjid kaum muslimin termasuk sunnah dan Ali bin
Abi Thalib selalu menganjurkan Umar radliyallahu `anhu untuk mendirikan sunnah ini
sampai beliau pun mendirikannya.")
Juga hadits dari Anas radliyallahu `anhu, dia berkata:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melaksanakan shalat di bulan Ramadlan. Aku
datang dan berdiri di sampingnya. Kemudian datang yang lain dan yang lain sampai
berjumlah lebih dari tiga orang. Tatkala Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam merasa
bahwa aku ada di belakangnya, beliau meringankan (bacaan) shalat, kemudian masuk
ke rumah beliau. Sesudah masuk ke rumahnya, beliau shalat di sana dan tidak shalat
bersama kami. Keesokan harinya kami bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah engkau
tadi malam mengajari kami (perkara dien)?" Maka beliau pun menjawab: "Ya, dan
itulah yang menyebabkan aku berbuat." (HR. Ahmad 3/199, 212, 291 dan Ibnu Nashr
dengan dua sanad yang shahih serta At-Thabrani dalam Al-Ausath, semisalnya
sebagaimana di dalam Al-Jami' 3/173).
Juga hadits dari Aisyah radliyallahu `anha, beliau berkata: "Manusia shalat di masjid
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan Ramadlan dengan berkelompok3
kelompok. Seseorang yang mempunyai sedikit dari (ayat) Al-Qur'an bersama lima atau
enam orang atau kurang atau lebih daripada itu. Mereka shalat bersama seorang tadi.
Lalu Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan pada malam itu untuk
meletakkan tikar di (depan) pintu kamarku. Aku pun melaksanakannya. Kemudian
Rasulullah keluar kepadanya sesudah shalat Isya yang akhir. Lalu berkumpullah
manusia yang ada di masjid dan Rasulullah shalat bersama mereka sampai larut malam.
Rasulullah kemudian pergi dan masuk (rumah) dengan meninggalkan tikar begitu saja
(pada keadaan awal). Pada pagi harinya, manusia memperbincangkan shalat Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam bersama orang-orang yang ada di masjid pada malam itu.
Maka jadilah masjid penuh dengan manusia. Lantas Rasulullah keluar (ke masjid) pada
malam yang kedua dan mereka pun shalat bersama beliau. Jadilah manusia
memperbincangkan hal itu. Setelah itu bertambah banyaklah yang menghadiri masjid
(sampai penuh sesak dengan penghuninya). Pada malam yang ketiga beliaupun keluar
dan manusia shalat bersama beliau. Lalu tatkala malam yang keempat masjid hampir
tidak cukup. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya' yang akhir
bersama mereka lantas masuk masuk ke rumah beliau, sedang manusia tetap (di
masjid). Rasulullah berkata kepadaku: "Wahai Aisyah, bagaimana keadaan manusia?"
Aku katakan: "Wahai Rasulullah, manusia mendengar tentang shalatmu bersama orang
yang ada di masjid tadi malam, maka mereka berkumpul untuk itu dan meminta agar
engkau shalat bersama mereka." Maka beliau berkata: "Lipat tikarmu, wahai Aisyah!"
Aku pun melaksanakannya. Rasulullah bermalam (di rumahnya) dan tidak dalam
keadaan lalai sedangkan manusia tetap pada tempat mereka. Mulailah beberapa orang
dari mereka mengucapkan kata "shalat!" sampai Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam keluar untuk shalat subuh. Tatkala selesai shalat fajar, beliau menghadap kepada
manusia dan bertasyahud (mengucapkan syahadat dalam khutbatul hajah), lalu
bersabda: "Amma ba`du, wahai manusia, demi Allah, Alhamdulillah tidaklah aku tadi
malam dalam keadaan lalai dan tidaklah keadaan kalian tersamarkan bagiku. Akan
tetapi aku khawatir akan diwajibkan atas kalian (dalam riwayat lain: Akan tetapi aku
khawatir shalat lail diwajibkan atas kalian) kemudian kalian lemah (untuk
melaksanakannya), maka berarti kalian dibebani amal-amal yang kalian tidak mampu.
Sesungguhnya Allah tidak bosan sampai kalian bosan." Pada riwayat lain ada
tambahan, Az-Zuhri berkata: "Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat,
keadaannya demikian. Hal ini berlangsung sampai masa khilafah Abu Bakar dan pada
awal khilafah Umar." (HR. Bukhari 3/8-10, 4/203,205, Muslim 2/177-178-188-189,
Abu Daud 1/217, An-Nasai 1/237 dan lain-lain).
Al-Hafidh Ibnu Hajar mengomentari ucapan Az-Zuhri "keadaannya demikian",
maksudnya dalam keadaan shalat tarawih berjamaah ditinggalkan.
Sedangkan Syaikh Albani menyatakan: "Lebih tepat dikatakan bahwa maksudnya shalat
tarawih dikerjakan dengan berkelompok-kelompok."
Syaikh Albani mengatakan: "Hadits ini menerangkan dengan sangat jelas tentang
disyariatkannya shalat tarawih berjama'ah, karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa
4
sallam terus menerus melakukannya pada malam-malam tersebut. Dalam hadits ini
disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam meninggalkannya pada
malam yang keempat (yaitu shalat tarawih berjamaah) karena khawatir akan diwajibkan
atas mereka dengan ucapan beliau: Aku khawatir (ini) diwajibkan atas kalian. Tidak
diragukan lagi bahwa kekhawatiran Rasulullah hilang dengan wafatnya beliau sesudah
Allah menyempurnakan syariat-Nya. Dengan ini hilanglah sebab meninggalkan jamaah
dan kembali pada hukum sebelumnya yaitu disyariatkannya jamaah. Oleh karena itu
Umar radliyallahu `anhu menghidupkkannya kembali."
Hadits dari Hudzaifah bin Al-Yaman radliyallahu `anhu, ia berkata: Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam mendirikan shalat pada suatu malam di bulan Ramadlan di
kamar (yang terbuat) dari pelepah kurma. Kemudian dituangkan baginya sewadah air.
Kemudian beliau berkata: "Allahu Akbar (tiga kali) Dzul malakut wal jabarut wal
kibriya' wal `adhamah", kemudian membaca surat Al-Baqarah. Lalu beliau ruku' dan
ruku'nya semisal lama berdirinya dan membaca pada ruku'nya: Subhana rabbiyal
`adhim, Subhana rabbiyal `adhim. Kemudian beliau mengangkat kepala dari ruku' dan
lamanya berdiri seperti ruku'nya dan mengucapkan: "Rabiyal hamdu". Kemudian sujud
dan lama sujudnya seperti berdirinya (yakni berdiri setelah ruku') dan mengucapkan
dalam sujudnya "Subhana rabbiyal a`la". Kemudian mengangkat kepalanya dari sujud
dan membaca di antara dua sujud rabbighfirli dan duduk selama waktu sujudnya.
Kemudian sujud lagi dan membaca "Subhana rabiyal a`la". Beliau shalat empat rakaat
dan di dalamnya membaca surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa, Al-Maidah dan Al-
An`am sampai datang adzan untuk shalat (fajar)." (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/90/2, Ibnu
Nashr hal. 89-90, An-Nasai 1/246, Ahmad 5/400, Ibnu Majah 1/291, Al-Hakim 1/271,
Abu Dawud 1/139-140, At-Thahawi dalam Al-Misykah 1/308, At-Thayalisi 1/115, Al-
Baihaqi 2/121-122, Ahmad 5/398, Muslim 2/186 dan lain-lain).
Adapun keterangan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang keutamaan shalat
tarawih berjamaah terdapat pada hadits Abu Dzar radliyallahu `anhu, beliau berkata:
Kami berpuasa (Ramadlan), Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak shalat
bersama kami sampai tersisa tujuh hari bulan Ramadlan. Beliau berdiri (untuk shalat)
sampai sepertiga malam. Beliau tidak berdiri (shalat) bersama kami pada sisa malam
keenam dan berdiri bersama kami pada sisa malam kelima sampai setengah malam.
Kami bertanya: "Wahai Rasulullah, seandainya engkau shalat sunnah bersama kami
pada sisa malam ini." Beliau menjawab: "Barangsiapa berdiri (untuk shalat tarawih)
bersama imam sampai dia (imam) berpaling, maka dituliskan baginya shalat sepanjang
malam." Kemudian beliau tidak shalat bersama kami sampai tinggal tersisa tiga malam
Ramadlan. Beliau shalat bersama kami pada sisa malam yang ketiga dan beliau
memanggil keluarga dan istrinya. Beliau shalat bersama kami sampai kami
mengkhawatirkan falah. Abu Dzar radliyallahu `anhu ditanya :"Apa falah itu?" Beliau
menjawab: "(Falah adalah) Sahur." (HR Ibnu Abi Syaibah 2190/2, Abu Daud 1/217, At-
Tirmidzi 2/72-73 dan dishahihkannya, An-Nasai 1/237, Ibnu Majah 11/397, Ath-
Thahawi dalam Syarhu Ma`anil Atsar 1/206, Ibnu Nashr hal 79, Al-Firyabi 71/1-82/2
dan Al-Baihaqi dan sanadnya shahih sebagaimana ungkapan syaikh Al-Albani.)
5
Ucapan beliau shallallahu `alaihi wa sallam "Barang siapa shalat bersama imam..." jelas
menunujukkan tentang keutamaan shalat tarawih di bulan Ramadlan bersama imam.
Hal ini dikuatkan oleh Abu Dawud di dalam Al-Masa'il hal. 62, beliau berkata: "Aku
mendengar Ahmad ditanya: "Mana yang lebih engkau sukai, seorang yang shalat
bersama manusia (berjamaah) atau yang sendirian?" Beliau menjawab: "Shalat seorang
bersama manusia. Aku juga mendengar beliau berkata: "Aku kagum terhadap seseorang
yang shalat tarawih dan witir bersama imam. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam
bersabda: "Sesungguhnya seseorang yang shalat (tarawih) bersama imam sampai
selesai, Allah akan menuliskan baginya sisa malamnya." Yang semisal ini juga
dinyatakan oleh Ibnu Nashr hal. 91 dari Ahmad. Kemudian Abu Dawud berkata:
"Seseorang berkata kepada Ahmad: "Saya mendengar shalat tarawih diakhirkan sampai
akhir malam?" Beliau menjawab: "Tidak, sunnah kaum muslimin lebih aku sukai."
Menurut Syaikh Al-Albani maksudnya adalah berjamaah shalat tarawih dengan
bersegera ( di awal waktu) itu lebih utama daripada sendirian, walaupun diakhirkan
sampai akhir malam. Shalat pada akhir malam memiliki keutamaan khusus. Berjamaah
lebih afdlal karena Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakannya bersama manusia
di masjid pada beberapa malam sebagaimana pada hadits Aisyah di depan. Oleh karena
itu kaum muslimin melaksanakannya (secara berjamaah) pada jaman Umar radliyallahu
`anhu sampai sekarang." (Shalatut Tarawih hal. 15)
Jamaah Shalat Tarawih Bagi Wanita
Disyariatkan bagi wanita untuk menghadiri shalat tarawih di masjid dengan dalil hadits
Abu Dzar radliyallahu `anhu di atas yang berbunyi "Beliau (Rasulullah) memanggil
keluarganya dan para istrinya." Bahkan boleh disiapkan bagi mereka imam khusus
selain untuk jamaah laki-laki. Umar radliyallahu `anhu tatkala mengumpulkan manusia
untuk berjamaah, menjadikan imam bagi laki-laki Ubai bin Ka'ab dan bagi wanita
Sulaiman
bin Abi Khatsmah.
Juga hadits `Arfajah Ats-Tsaqafi, ia berkata: "Ali bin Abi Thalib radliyallahu `anhu
selaalu memerintahkan manusia untuk shalat pada bulan Ramadlan. Beliau menjadikan
seorang imam bagi laki-laki dan seorang imam bagi perempuan. Aku (`Arfajah) ketika
itu sebagai imam perempuan."
Kedua riwayat di atas diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 2/494. Abdurrazaq meriwayatkan
hadits pertama dalam Al-Mushannaf 4/258/8722. Dikeluarkan juga oleh Ibnu Nashr
dalam Qiyamur Ramadlan hal. 93. Kemudian berargumentasi seperti di atas pada hal.
95. Hal diterangkan secara jelas oleh Syaikh Al-Albani dalam Qiyamur Ramadlan hal.
21-22.
Syaikh Al-Albani menambahkan: "Menurutku, keadaan ini dimungkinkan bila
6
masjidnya luas agar manusia tidak saling terganggu."
Jumlah Rakaatnya
Di atas telah dijelaskan tentang disyariatkannya shalat tarawih berjamaah karena adanya
penetapan, perbuatan dan anjuran Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Sekarang berapa
sebenarnya jumlah rakat yang rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam laksanakan.
Dalam masalah ini ada dua hadits yang menerangkan:
1. Dari Abi Salamah bin Abdurrahman bahwa beliau bertanya kepada Aisyah
radliyallahu `anha: "Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan
Ramadlan?" Beliau menjawab: "Tidaklah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
menambah (rakaat shalat) di bulan Ramadlan dan tidak pula pada bulan selainnya
melebhi sebelas raka'at. Beliau shalat empat raka'at dan jangan ditanya betapa bagus
dan panjangnya, lalu beliau shalat tiga raka'at." (HR Bukhari 2/25, 4/205. Muslim 2/16
Abu Uwamah 2/327 Al-Baihaqi 2/495 - 496 dan Ahmad 6/36, 37, 104)
2. Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu `anhu berkata: "Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam shalat bersama kami pada bulan Ramadlan delapan raka'at dan beliau berwitir.
Tatkala malam berikutnya kami berkumpul di Masjid dan berharap beliau keluar (ke
masjid). Ternyata beliau tidak kunjung datang sampai pagi. Kemudian kami masuk dan
mengatakan: "Wahai Rasulullah kami tadi malam berkumpul di masjid dan kami
mengharap engkau shalat bersama kami." Maka beliau berkata: "Sesungguhnya aku
khawatir akan diwajibkan atas kalian."
Di dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, Muslim dan lain-lain yang menyebutkan bahwa
shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada bulan Ramadlan dan selainnya di
malam hari adalah 13 raka'at, termasuk darinya dua rakaat fajar. Akan tetapi ada hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Malik 1/142 dan Bukhari 3/35 dan lain-lain dari Aisyah
radliyallahu `anha, beliau berkata: "Rasulullah biasa shalat di malam hari 13 raka'at."
Kemudian beliau shalat dua rakaat ringan (pendek) apabila mendengar adzan subuh.
Al-Hafidh mengkompromikan riwayat ( 13 rakaat) ini dengan riwayat sebelumnya (11
rakaat), beliau mengatakan: "Dhahir hadits ini menyelisihi yang telah lewat, maka
dimungkinan bahwa (kelebihan) dua rakaat (pada yang 13 rakaat) tadi adalah sunnah
ba`da Isya'. Hal itu karena memang shalat ini dilaksanakan di rumah atau sebagai
pembuka shalat malam, karena telah tsabit (tetap) dalam riwayat Muslim bahwa
Rasulullah membuka shalat lail dengan dua rakaat yang ringan/pendek."
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Inilah yang rajih menurutku, karena riwayat Abi
Salamah menunjukkan kekhususan/pengharusan pada 11 rakaat, yaitu 4 rakaat, 4 rakaat
kemudian 2 rakaat. Hal ini menunjukkan tidak bertentangan dengan riwayat 2 rakaat
yang ringkas."
7
Kedlaifan Hadits 20 Rakaat
Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata setelah menjelaskan hadits Aisyah di atas (Al-Fath
4/205-206): "Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu Abbas
radliyallahu `anhuma bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat di bulan
Ramadlan 20 rakaat dan witir, sanadnya dla`if, bertentangan dengan hadits Aisyah
radliyallahu `anha yang terdapat dalam Shahihain. Aisyah adalah orang yang paling
tahu tentang keadaan nabi shallallahu `alaihi wa sallam di malam hari atau selainnya."
Pernyataan ini semakna dengan pernyataan Al-Hafidh Az-Zaila`i di dalam Nashbur
Rayah 2/153.
Syaikh Al-Albani menegaskan: "Hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma ini sangat
dlaif sebagaimana yang dinyatakan oleh As-Suyuthi di dalam Al-Hawi lil Fatwa 2/73
dengan alasan bahwa pada sanadnya ada Abu Syaibah Ibrahim Ibnu Utsman. Al-Hafidh
berkata di dalam At-Taqrib: Dia matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan) dan telah
kucari sumber-sumbernya tetapi aku tidak menemukan kecuali dari jalannya. Ibnu Abi
Syaibah mengeluarkannya di dalam Al-Mushanaf 2/90/2, Abdu bin Humaid di dalam
Al-Muntakhab minal Musnad 43/1-2, At-Thabrani di dalam Mu'jamul Kabir 3/148/2
dan di dalam Al-Ausath sebagaimana di dalam Al-Muntaqa karya Adz-Dzahabi 2/3 dan
dalam Al-Jam'i Bainahu wa Baina Shaghir 1/219, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 1/2, Al-
Khatib dalam Al-Maudlih 1/219 dan Al-Baihaqi dalam Sunannya 2/469 semuanya dari
jalan Ibrahim tersebut dari Al-Hakam dari Muqsim dari Ibnu Abbas secara marfu'. At-
Thabrani berkata: "Atsar ini tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas kecuali dengan sanad
ini". Al-Baihaqi berkata: "Abu Syaibah infirad (bersendirian dalam meriwayatkan) dan
dia dlaif. Demikian juga yang dikatakan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma` 3/172:
"Dia dlaif, pada hakekatnya dia dlaif sekali sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh
ucapan Al-Hafidh di depan bahwa "dia matruk". Inilah yang benar. Ibnu Main berkata:
"Dia tidak tsiqah" Al-Jauzajani berkata: "Dia saqith (gugur riwayatnya), Syaibah
mendustakan kisah darinya". Al-Bukhari berkata: "Ahli hadits mendlaifkannya."
Al-Hafidh Ibnu Katsir menyebutkan di dalam Ikhtishar Ulumul Hadits hal. 118 bahwa
orang yang dikatakan oleh Al-Bukhari bahwa ahli hadits mendiamkannya adalah derajat
bagi orang tersebut yang paling rendah. Oleh karena itu aku berpendapat bahwa
haditsnya dalam hal ini maudlu`, karena bertentangan dengan hadits Aisyah dan Jabir
yang telah lewat dari dua hafidh yaitu Az-Zaila'i dan Al-Asqalani. Al-Hafidh Adz-
Dzahabi memasukannya di dalam Manakirnya (riwayat-riwayat yang munkar). Al-
Faqih Ibnu Hajar Al-Haitami berkata dalam Al-Fatawa Al-Kubra 1/195 setelah
menyebutkan hadits tersebut: "Hadits ini sangat dlaif. Ucapan para ulama sangat keras
terhadap salah satu rawinya dengan jarh dan celaan. Termasuk darinya (kritik dan
celaan) bahwa dia meriwayatkan riwayat-riwayat maudlu' seperti hadits "Tidaklah umat
hancur binasa kecuali pada bulan Maret" dan "Tidaklah kiamat terjadi kecuali pada
bulan Maret" dan haditsnya tentang shalat tarawih termasuk dari riwayat-riwayatnya
yang munkar. As-Subki telah menegaskan bahwa syarat beramal dengan hadits dlaif
adalah jika dlaifnya tidak terlalu. Adz-Dzahabi berkata: "Barangsiapa diambil
riwayatnya secara dusta oleh Asy-Syaibah, maka haditsya jangan ditoleh."
8
Syaikh Al-Albani berkata: "Apa yang dinukilkan oleh As-Subki dari Al-Haitami
sebagai isyarat halus bahwasanya dia tidak berpendapat beramal dengan 20 rakaat,
maka pikirkanlah!"
Kemudian As-Suyuthi setelah menyebutkan hadits Jabir dari riwayat Ibnu Hibban
berkata: "Maka kesimpulannya bahwa 20 rakaat tidak tsabit amalannya dari Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam. Apa yang ada pada Shahih Ibnu Hibban adalah sebagai
puncak madzhab kami dan kami memegang erat apa yang ada pada riwayat Bukhari
dari Aisyah radliyallahu `anha bahwasanya Rasulullah tidak menambah dalam
Ramadlan dan selainnya atas sebelas rakaat. Hal ini sesuai dari sisi bahwasanya
Rasulullah shalat tarawih 8 rakaat kemudian witir 3 rakaat. Maka jumlahnya 11 rakaat.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila mengamalkan suatu amal beliau akan
melanggengkannya. Sebagaimana kelanggengannya pada dua rakaat yang beliau qadla'
setelah ashar. Padahal shalat pada waktu itu terlarang. Kalau beliau melaksanakan 20
rakaat walaupun satu kali saja, niscaya beliau tidak akan meninggalkannya selamanya.
Kalau hal yang demikian terjadi maka hal itu tidak akan tersamar bagi Aisyah sehingga
beliau mengucapkan seperti di atas."
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Di dalam ucapannya ada isyarat yang kuat tentang
pilihan beliau terhadap sebelas rakaat dan membuang 20 rakaat yang tersebut di dalam
hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma karena sangat dlaif. Pencukupan Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam terhadap 11 rakaat menunjukkan tidak bolehnya
menambah jumlah rakaatnya. Di atas sudah dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam terus menerus menjalankan shalat tarawih di bulan Ramadlan atau
selainnya sebanyak 11 rakaat. Hal ini terus berlangsung selama hidup beliau dan beliau
tidak menambahnya. Oleh karena itu marilah kita perhatikan pada sunnah-sunnah
rawatib, shalat istisqa', khusyuf dan lain-lain. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam juga
terus menerus menjalankannya dengan jumlah tertentu. Hal ini menunjukkan tidak
bolehnya menambah rakaatnya sebagaimana yang diterima oleh para ulama. Maka
demikian juga shalat tarawih tidak boleh ditambah karena ada persamaan dengan
shalat-shalat yang telah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus
menerus melakukannya dengan tidak menambahnya. Maka barangsiapa menganggap
bahwa ada perbedaan dalam hal shalat tarawih, dia wajib membawakan dalil.
Shalat tarawih bukanlah shalat-shalat sunnah yang mutlak sehingga seorang yang shalat
boleh memilih bilangan mana yang ia suka. Shalat tarawih adalah sunnah muakkadah
yang menyerupai shalat-shalat fardlu dari segi disyariatkan jamaah padanya
sebagaimana yang dinyatakan oleh madzhab Syafi'i. Maka dari segi ini lebih pantas
untuk tidak ditambah."
Imam Ibnu Khuzaimah setelah menyebutkan hadits-hadits shahih tentang jumlah rakaat
shalat lail dari sembilan sampai sebelas rakaat, beliau berkata di dalam Shahihnya
2/1947: "Ikhtilaf ini dibolehkan, boleh bagi seseorang untuk shalat berjamaah pada
9
rakaat yang dia sukai. Sebagaimana yang teriwayatkan dari Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu `alaihi wa sallam shalat dengan bilanganbilangan
tersebut dan sesuai dengan sifat shalat yang dilaksanakan Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam. Tidak dilarang bagi seseorang sesuatu apapun."
Ucapan ini dikomentari oleh Syaikh Al-Albani di dalam Tamamul Minnah hal. 225-
226: "Ucapannya yang berbunyi `sebagaimana yang teriwayatkan dari Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam...' jelas menunjukkan bahwa tidak boleh menambah atas
apa yang telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Dan di antara
penguat apa yang telah beliau nyatakan adalah pernyataan beliau pada kitab Shahihnya
3/341 dalam masalah shalat tarawih tentang penyebutan bab Shalat Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam di Malam Bulan Ramadlan dan dalil tentang tidak mungkin ditambah
pada bulan Ramadlan atas jumlah rakaat yang dilakukan Rasulullah di luar bulan
Ramadlan." Kemudian beliau membawakan hadits Aisyah dengan dua lafadh, di
antaranya: "Shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13 rakaat, di
antaranya dua rakaat fajar."
Umar Menghidupkan Sunnah Shalat Tarawih Berjamaah dan Perintah Beliau
Sebanyak 11 Rakaat
Telah diterangkan bahwasanya manusia setelah wafatnya Rasulullah mereka terus
menerus melaksanakan shalat tarawih di masjid dengan berkelompok-kelompok di
belakang beberapa imam, yang demikian terjadi pada khilafah Abu Bakar dan awal
khilafah Umar radliyallahu `anhu. Kemudian Umar mengumpulkan mereka di belakang
satu imam. Abdurrahman bin Abdul Qari' berkata: Aku keluar ke masjid bersama Umar
bin Khattab pada malam bulan Ramadlan, maka tiba-tiba manusia berkelompok. Ada
yang shalat sendiri, ada yang shalat bersama beberapa orang. Maka beliau berkata:
"Sesungguhnya aku berpendapat kalau aku mengumpulkan mereka pada satu imam
niscaya lebih baik." Kemudian beliau bertekad keras dan mengumpulkan mereka
kepada Ubai bin Ka'ab. Kemudian aku (Abdurrahman) keluar bersama beliau pada
malam yang lain, sedang manusia shalat bersama satu imam. Maka Umar berkata:
"Sebaik-baik bid`ah adalah ini dan orang yang tidur lebih utama daripada orang-orang
yang shalat karena menginginkan akhir malam sedangkan manusia shalat pada awal
malam." (HR. Malik dalam Al-Muwatha' 1/136-137, Al-Bukhari 4/203, Al-Firyabi
2/73, 74/2-1, Ibnu Abi Syaibah 2/91/1.
Orang sekarang berdalil dengan ucapan Umar "Sebaik-baik bid`ah adalah ini" atas dua
perkara:
1. Bahwasanya shalat tarawih berjamaah adalah bid'ah, tidak ada pada jaman Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam. Ucapan ini jelas-jelas batil dengan adanya hadits-hadits
yang telah lewat.
2. Adanya bid`ah yang dipuji (bid'ah hasanah) dan mereka mengkhususkan keumuman
sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang berbunyi "Setiap bid'ah itu sesat'
dan yang semisalnya. Hal ini juga batil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan hal ini dalam Al-Iqtidla' 2/591: "Ketika
10
jaman khilafah Umar radliyallahu `anhu beliau mengumpulkan manusia pada satu imam
dan menerangi masjid. Maka jadilah dalam keadaan yang demikian --yakni jamaah di
masjid dalam keadaan terang atas satu imam-- suatu amalan yang sebelumnya tidak
mereka laksanakan. Hal ini dinamakan bid'ah karena secara bahasa memang demikian
dan bukan bid'ah secara syariat. Sunnah menghendaki bahwasanya hal itu adalah amal
shalih kalaulah tidak karena khawatir diwajibkan. Sedangkan kekhawatiran sudah
hilang dengan wafatnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sehingga hilang
pulalah halangannya."
Beliau juga mengatakan dalam Majmu' Fatawa 31/36: "Hukum asal shalat tarawih
adalah sunnah dan perbuatan Umar radliyallahu `anhu dalam rangka menghidupkan
sunnah ini dimutlakan sebagai bid'ah secara bahasa, bukan syariat."
Jadi bid'ah di sini dilihat dari sisi bahasa bukan menurut syariat. Adapun menurut
syariat bid`ah berarti membuat-buat perkara baru dalam agama yang tidak ada
contohnya dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Lafadh atsar di atas "Orang-orang
tidur darinya lebih utama daripada..." dikomentari oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar sebagai
berikut: "Hal ini adalah keterangan yang jelas bahwa shalat tarawih di akhir malam
lebih afdlal daripada di awalnya. Akan tetapi shalat tarawih sendirian itu tidaklah lebih
utama daripada berjamaah."
Syaikh Al-Albani menambahkan: "Bahkan jamaah di awal waktu lebih utama daripada
shalat di akhir malam sendirian." (Shalat Tarawih hal. 42)
Tentang perintah Umar radliyallahu `anhu untuk shalat sebelas rakaat adalah
diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwaththa' 1/137 no. 248 dari Muhammad bin
Yusuf dari As-Saib bin Yazid, dia berkata: Umar memerintahkan Ubai bin Ka`ab dan
Tamim Ad-Dari agar shalat bersama manusia sebanyak 11 rakaat." Dia (perawi)
berkata: "Ada imam yang membaca 200 ayat sampai kami bersandar di atas tongkat
karena lamanya berdiri dan tidaklah kami selesai kecuali pada terbitnya fajar."
Syaikh Al-Albani berkata: "Sanadnya sangat shahih karena Muhammad bin Yusuf
yakni Syaikh (guru) Imam Malik adalah tsiqah secara sepakat dan Bukhari serta
Muslim berhujah dengannya. Sedangkan As-Saib adalah shahabat Nabi yang pernah
menunaikan haji bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam keadaan masih
kecil. Dari jalan Malik ini dikeluarkan oleh Abu Bakr An-Naisaburi di dalam Al-
Fawaid 1/135, Al-Firyabi (1/76-2/75) dan Al-Baihaqi di dalam Sunan Al-Kubra 1/496.
Dapat dilihat keterangan keshahihan atsar ini dalam kitab Shalatut Tarawih".
Sedangkan riwayat yang menerangkan bahwa Umar shalat dan menyuruh shalat tarawih
sebanyak 20 rakaat adalah tidak shahih. Atsar tentag hal ini diriwayatkan oleh
Abdurrazaq dari jalan lain dari Muhammad bin Yusuf. Lafadh ini (20 rakaat) memiliki
dua kesalahan:
1. Menyelisihi riwayat yang lebih tsiqah yakni 11 rakaat.
11
2. Abdurrazaq menyendiri (infirad) dalam meriwayatkan lafadh ini, walaupun riwayat
tersebut selamat di antara dia dan Muhammad bin Yusuf.
Maka `ilat (cacat)nya pada Abdurrazaq. Walaupun dia tsiqah, hafidh, pengarang yang
masyhur, akan tetapi di akhir umurnya beliau buta dan berubah hapalannya
sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh dalam At-Taqrib. Dia digolongkan para
perawi yang mukhtalith (bercampur hapalannya), yakni setelah akhir umurnya. (Lihat
Mukadimah Ulumil Hadits hal. 407)
Riwayat perawi seperti ini dapat diambil sebelum mukhtalith dan tidak boleh diambil
setelah bercampur hapalannya atau dalam keadaan yang sulit sehingga seorang perawi
tidak tahu apakah dia mengambil dari orang yang mukhtalith tadi sebelum atau sesudah
bercampur hapalannya (Mukadimah Ulumil Hadits hal. 391).
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Atsar ini termasuk jenis yang ketiga yakni tidak
diketahui apakah dia (Abdurrazaq) meriwayatkan sebelum atau sesudah bercampur
hapalannya. Riwayat semacam ini tidak diterima, walaupun diterima termasuk riwayat
yang syadz (asing) dan menyelisihi. Maka bagaimana mau diterima?! Begitu juga atsar
beliau yang menerangkan jumlah rakaatnya 23 didlaifkan oleh Imam Nawawi dalam
Al-Majmu' 4/33 dan beliau berkata: "Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, akan tetapi mursal
karena Yazin (perawi hadits) tidak bertemu dengan Umar. Juga didlaifkan oleh Al-`Aini
dengan beralasan bahwa sanadnya munqathi`. Imam Syafi'i dan Imam Tirmidzi juga
mendlaifkan atsar Umar yang berjumlah 20 rakaat. Beliau berdua dalam membawakan
atsar-atsar ini dengan lafadh (konteks) dengan sighat tamridl (bentuk yang mengandung
cacat), misalnya: ruwiya "diriwayatkan", ukhbira "diceritakan" atau "dikisahkan", dan
sebagainya. Lihat ucapan atau riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa Imam Syafi'i
mendlaifkannya dalam Mukhtashar karya Al-Muzani 1/107."
Adapun atsar dari shahabat selain Umar seperti Ali, Ubai bin Ka`ab, Abdullah bin
Mas`ud radliyallahu `anhum tentang 20 atau 23 rakaat semuanya dlaif. Lihat dalam
buku Shalat Tarawih. Hal tersebut diterangkan pada buku tersebut oleh para ulama.
Oleh karena itu tidak ada ijma' yang menyatakan 20 rakaat sebagaimana anggapan
sebagian orang bahwa para shahabat ijma' atas shalat tarawih 20 rakaat. Ijma' ini tidak
dianggap karena dibangun di atas kedlaifan. Sesuatu yang dibangun di atas kedlaifan
maka ia dlaif pula. Oleh karena itu Al-Mubarakafuri menegaskan di dalam At-Tuhfah
2/76 bahwa hal ini adalah ijma' penguat yang bathil.
Pengingkaran Ulama Terhadap Tambahan 11 Rakaat
Imam Suyuthi berkata di dalam Al-Mashabih fi Shalati Tarawih 2/77: "Dikatakan oleh
Al-Ajuri ---dari rekan-rekan kami-- bahwa Imam Malik menyatakan: Umar
mengumpulkan manusia atas 11 rakaat lebih aku sukai. Ia adalah shalat Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam."
Al-Imam Ibnul `Arabi di dalam Syarah Tirmidzi 4/19 setelah menjelaskan riwayat12
riwayat yang disumberkan dari Umar, beliau berkata: "Yang benar shalat tarawih Nabi
sebanyak 11 rakaat. Adapun selain jumlah ini, maka tidak ada asalnya dan nashnya.
Kalau mengharuskan adanya batasan, maka batasannya adalah shalat Nabi. Nabi tidak
menambah pada Ramadlan dan selainnya di atas 11 rakaat. Inilah shalat tarawih/shalat
lail, maka wajib meniru Nabi shallallahu `alaihi wa sallam."
Demikian juga yang ditegaskan oleh Imam As-Shan'ani dalam Subulus Salam
bahwasanya jumlah shalat tarawih 20 rakaat adalah bid'ah dan beliau berkata: "Tidak
ada bid'ah yang dipuji, bahkan semua bid'ah itu sesat." (Subulus Salam 1/11-12)
Dengan keterangan-keterangan di atas, maka wajib bagi kita memegang erat-erat
sunnah Rasul dan para shahabatnya, yaitu sebelas rakaat, tidak menambahnya.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya barangsiapa di antara
kalian yang hidup sesudahku, dia akan melihat banyak ikhtilaf. Maka wajib atas kalian
sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin (para shahabat). Peganglah erat-erat dan
gigitlah dengan gigi gerahammu dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru.
Sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid'ah, setiap bid'ah sesat dan setiap
kesesatan dalam neraka." (HR. Ahmad 4/126-127 Abu Daud 2/261 At-Tirmidzi 3/377-
378, Ibnu Majah 1/19-21 dan Al-Hakim 1/95-97).
Kalau memang tambahan di atas sebelas rakaat itu tsabit dari salah seorang khulafa'ur
rasyidin atau dari kalangan fuqaha' selain mereka, kami akan mengatakan tentang
bolehnya karena kita mengetahui keutamaan dan pemahaman fikih mereka serta
jauhnya mereka dari membuat bid'ah di dalam agama. Akan tetapi kalau tidak tsabit
maka kita hanya berpegang dengan yang tsabit dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam.
Kendati ada ikhtilaf ulama tentang jumlahnya yaitu ada yang mengatakan jumlahnya
42, 36, 34, 28, 24, 20, dan 11, maka sebaiknya kita kembalikan ikhtilaf ini kepada Allah
dan Rasul-Nya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Shalatlah
sebagaimana aku shalat." (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Kalau kita amati orang-orang yang shalat tarawih lebih dari 11 rakaat, mereka sering
meninggalkan rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban shalat seperti tuma'ninah,
lamanya berdiri, tartil dalam bacaan dan lain-lain. Oleh karena itu tidak selayaknya bagi
orang-orang yang tunduk meninggalkan sunnah ini dan memilih pendapat yang dlaif.
QUNUT DALAM SHALAT WITIR
Imam Malik berpendapat bahwa qunut witir dilaksanakan hanya pada pertengahan atau
setengah akhir bulan Ramadhan. Hal ini juga dinyatakan oleh Az-Zuhri, Imam Malik
dan Imam Ahmad dengan membawakan dalil riwayat Abu Dawud:
Umar Ibnul Khatab radliyallahu `anhu mengumpulkan (manusia) kepada Ubai bin
Ka`ab dan dia shalat bersama mereka pada malam ke 20. Dia tidak qunut kecuali pada
pertengahan akhir bulan Ramadlan. (HR. Abu Dawud dalam Sunannya 2/65)
13
Berikutnya adalah hadits Anas radliyallahu `anhu:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam qunut pada setengah akhir bulan Ramadlan ....
Akan tetapi dalil yang mereka bawakan ini dlaif dari beberapa sisi:
Pertama, pada sanad riwayat dari Umar ada inqitha' (putus sanad) yakni Al-Hasan dari
Umar, sedang Al-Hasan tidak bertemu Umar. Kedua, pada sanad riwayat dari Anas
yang meriwayatkan dari beliau adalah Abul Atikah. Dia dlaif sebagaimana kata Ibnul
Qayim Al-Jauziyahdi dalam Aunul Ma'bud: "Abu Atikah dlaif." Juga kata Al-Baihaqi:
"Tidak shahih sanadnya (lihat halaman ini pada rujuk Imam Malik dalam syarah Az-
Zarqani terhadap Al-Muwatha' 1/216 dan rujuk Imam Ahmad dalam Masail Ibnu Hani
1/100 no. 500. Demikian pula keterangan Syaikh Masyhur Hasan Salman dan beliau
berkata: "Benar, qunut witir pada pertengahan akhir Ramadlan mempunyai keadaan
yang khusus yang diterangkan oleh atsar yang terdapat dalam Shahih Ibnu Khuzaimah
2/155-156 dengan sanad yang shahih. Akan tetapi qunut witir tidak dikhususkan dan
terbatas pada waktu ini, tetapi ia syariatkan di seluruh tahun (Al-Qaulul Mubin hal 133-
134). Demikian juga yang dinyatakan oleh Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah 1/165 dan
lain-lain. Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkan pendapat di atas sebagai
kesalahan.
Mengenai tempat qunut, ada beberapa pendapat yaitu:
Pertama, sesudah ruku`, sebagaimana pendapat Imam As-Syafi'i dan Ahmad Kedua,
sebelum ruku` menurut pendapat Imam Malik Ketiga, boleh sesudah ruku` dan sebelum
ruku, menurut salah satu pendapat Imam Malik. (lihat Al-Istidzkar 6/201)
Dalam ikhtilaf semacam ini, maka kita kembalikan kepada nash yang shahih yaitu
hadits dari Ubai bin Ka`ab radliyallahu `anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi
wa sallam qunut pada rakaat witir dan meletakkannya sebelum ruku`." (HR. Ibnu Abi
Syaibah 12/41/1, Abu Dawud, An-Nasa'i di dalam Sunan Al-Kubra 218/1-2, Ahmad,
At-Thabrani, Al-Baihaqi dan Ibnu Asakir dengan sanad yang shahih. Demikian
penilaian Syaikh Albani).
Hadits shahih ini mendukung pendapat yang kedua.
Syaikh Masyhur berkata: "Qunut witir diletakkan sebelum ruku` sedangkan qunut
nazilah sesudah ruku`. Kecuali apabila terjadi nazilah (kegentingan) di kalangan kaum
muslimin sebagaimana pada atsar yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah (Al-Qaulul
Mubin hal. 134)
Kemudian tatacaranya adalah sebagaimana yang telah dikatakan oleh Sayid Sabiq:
"Apabila qunut setelah ruku`, dengan mengangkat tangan dan takbir setelah selesai
qunut. Yang demikian diriwayatkan dari sebagian shahabat. Sebagian ulama
menyunahkannya dan sebagian lain tidak." (Fiqhus Sunnah 1/166)
14
Adapun masalah mengusapkan kedua tangan ke muka setelah qunut Imam Al-Baihaqi
mengatakan: "Lebih utama tidak dilakukan dan cukup dengan apa yang dilaksanakan
oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, yakni mengangkat tangan tanpa
mengusapkannya ke muka."
Al-`Izz bin Abdis Salam berkata: "Tidaklah mengusapkan kedua tangan ke muka
setelah doa qunut kecuali orang bodoh/jahil." (Al-Fatawa hal. 47).
Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkannya ke dalam kesalahan dalam shalat di
dalam kitab beliau Al-Qaulul Mubin fi Akhta'il Mushalin (keterangan yang jelas
tentang kesalahan orang-orang yang shalat) hal 133.
Doa Qunut
Al-Hasan bin Ali diajari oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kalau selesai dari
dalam shalat witir, agar mengucapkan doa: “Allahummah dinii fiiman hadaita, wa
'aafinii fiiman 'aafaita, wa tawallanii fiiman tawallaita, wa baarik lii fiimaa a’thoita,
waqinii syarro maa qodhoita, fainnaka taqdii wa laa yuqdhoo ‘alaika, wainnahu laa
yadzillu man waalaita, walaa ya’izzuman ‘aadaita, tabaarokta robbanaa wa ta’aa laita,
laa manja minka illa ilaika.” Artinya : "Ya Allah, tunjukkilah aku sebagaimana orang
yang Engkau tunjuki. Selamatkanlah aku sebagaimana orang yang Engkau beri
keselamatan. Kasihilah aku sebagaimana orang yang Engkau kasihi. Berkahilah bagiku
apa-apa yang Engkau berikan. Selamatkanlah aku dari kejelekan apa yang Engkau
takdirkan. Sesungguhnya Engkau yang menentukan dan tidak ada yang menentukan
diri-Mu. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau kasihi dan tidak akan mulia
orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau Rabb kami dan Maha Tinggi. Tidak ada
keselamatan dari-Mu kecuali berlindung kepada-Mu." (HR. Ibnu Khuzaimah 1/911 dan
Ibnu Abi Syaibah)
Syaikh Masyhur mengatakan: "Doa ini tidak boleh ditambah seperti yang dilakukan
kebanyakan imam shalat dengan tambahan "falakal hamdu `alaa maa qadlait
astaghfiruka wa atuubu ilaik." Adapun shalawat kepada Nabi shallallahu `alaihi wa
sallam telah tsabit pada hadits Ubai bin Ka`ab yang mengimami manusia pada shalat
tarawih di jaman Umar radliyallahu `anhu. Perbuataan ini termasuk amal kaum salaf
walaupun atsar ini didlaifkan oleh Ibnu Hajar. (Al-Qaulul Mubin hal. 134)
Demikianlah pembahasan tarawih dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya.
Semoga bermanfaat dan marilah kita berusaha untuk menjalankannya. Kesempurnaan
hanyalah milik Allah.
Wallahu `alam bisshawab.
Maraji':
1. Shalatut Tarawih, Syaikh Nashirudin Al-Albani
15
2. Qiyamul Lail, Syaikh Nashirudin Al-Albani
3. Tamamul Minah, Syaikh Nashirudin Al-Albani
4. Irwa'ul Ghalil, Syaikh Nashirudin Al-Albani
5. Shifatu Shalatin Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, Syaikh
Nashirudin Al-Albani
6. Al-Qaulul Mubin fi Akhta'il Mushalin, Syaikh Masyhur Hasan Salman
7. Zadul Ma`ad, Imam Ibnu Qayim Al-Jauziah
8. Al-Istidzkar, Imam Ibnu Abdil Barr
9. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq
10. Ilmu Ushulil Bida`, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
(Dikutip dari majalah Salafy Edisi XXII/1418/1997, penulis asli ustadz Zuhair Syarif,
judul asli "Sholat Tarawih", hal 22-32)
Beberapa Cara Shalat Malam yang dikerjakan Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam
Dari hadits-hadits dan riwayat yang ada dapat disimpulkan bahwa Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam mengerjakan shalat malam dan witir lengkap berbagai cara:
Pertama.
Shalat 13 rakaat dan dimulai dengan 2 rakaat yang ringan.
Berkenaan dengan ini ada beberapa riwayat:
a. Hadits Zaid bin Khalid al-Juhani bahwasanya berkata: "Aku perhatikan shalat malam
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Yaitu (ia) shalat dua rakaat yang ringan
kemudian ia shalat dua rakaat yang panjang sekali. Kemudian shalat dua rakaat, dan
dua rakaat ini tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat
(tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang
dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat
sebelumnya), kemudian witir satu rakaat, yang demikian adalah tiga belas rakaat."
(Diriwayatkan oleh Malik, Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud dan Ibnu Nashr)
b. Hadits Ibnu Abbas, ia berkata: "Saya pernah bermalam di kediaman Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam suatu malam, waktu itu beliau di rumah Maimunah
radliyallahu anha. Beliau bangun dan waktu itu telah habis dua pertiga atau setengah
malam, kemudian beliau pergi ke tempat yang ada padanya air, aku ikut berwudlu
bersamanya, kemudian beliau berdiri dan aku berdiri di sebelah kirinya maka beliau
pindahkan aku ke sebelah kanannya. Kemudian meletakkan tangannya di atas kepalaku
seakan-akan beliau memegang telingaku, seakan-akan membangunkanku, kemudian
beliau shalat dua rakaat yang ringan. Beliau membaca Ummul Qur'an pada kedua rakaat
itu, kemudian beliau memberi salam kemudian beliau shalat hingga sebelas rakaat
dengan witir, kemudian tidur. Bilal datang dan berkata: Shalat Ya Rasulullah! Maka
beliau bangun dan shalat dua rakaat, kemudian shalat mengimami orang-orang. (HR.
Abu Dawud dan Abu `Awanah dalam kitab Shahihnya. Dan asalnya di Shahihain)
16
Ibnul Qayim juga menyebutkan hadits ini di Zadul Ma`ad 1:121 tetapi Ibnu Abbas tidak
menyebut bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan
dua rakaat yang ringan sebagaimana yang disebutkan Aisyah.
c. Hadits Aisyah, ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila
bangun malam, memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan, kemudian shalat
delapan kemudian berwitir. Pada lafadh lain: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam shalat Isya, kemudian menambah dengan dua rakaat, aku telah siapkan siwak
dan air wudhunya dan berwudlu kemudian shalat dua rakaat, kemudian bangkit dan
shalat delapan rakaat, beliau menyamakan bacaan antara rakaat-rakaat itu, kemudian
berwitir pada rakaat yang ke sembilan. Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
sudah berusia lanjut dan gemuk, beliau jadikan yang delapan rakaat itu menjadi enam
rakaat kemudian ia berwitir pada rakaat yang ketujuh, kemudian beliau shalat dua
rakaat dengan duduk, beliau membaca pada dua rakaat itu "Qul ya ayyuhal kafirun" dan
"Idza zulzilat."
Penjelasan.
Dikeluarkan oleh Thahawi 1/156 dengan dua sanad yang shahih. Bagian pertama dari
lafadh yang pertama juga dikeluarkan oleh Muslim 11/184; Abu Awanah 1/304,
semuanya diriwayatkan melalui jalan Hasan Al-Bashri dengan mu`an`an, tetapi Nasai
meriwayatkannya (1:250) dan juga Ahmad V:168 dengan tahdits. Lafadh kedua ini
menurut Thahawi jelas menunjukan bahwa jumlah rakaatnya 13, ini menunjukan bahwa
perkataannya di lafadh yang pertama : "kemudian ia berwitir" maksudnya tiga rakaat.
Memahami seperti ini gunanya agar tidak timbul perbedaan jumlah rakaat antara
riwayat Ibnu Abbas dan Aisyah.
Kalau kita perhatikan lafadh kedua, maka di sana Aisyah menyebutkan dua rakaat yang
ringan setelah shalat Isya'nya, tetapi tidak menyebutkan adanya shalat ba'diyah Isya. Ini
mendukung kesimpulan penulis pada uraian terdahulu bahwa dua rakaat yang ringan itu
adalah sunnah ba`diyah Isya.
Kedua
Shalat 13 rakaat, yaitu 8 rakaat (memberi salam setiap dua rakaat) ditambah lima rakaat
witir, yang tidak duduk kecuali pada rakaat terakhir (kelima).
Tentang ini ada riwayat dari Aisyah sebagai berikut: Adalah Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam tidur, ketika bangun beliau bersiwak kemudian berwudhu, kemudian
shalat delapan rakat, duduk setiap dua rakaat dan memberi salam, kemudian berwitir
dengan lima rakaat, tidak duduk kecuali ada rakaat kelima, dan tidak memberi salam
kecuali pada rakaat yang kelima. Maka ketika muadzin beradzan, beliau bangkit dan
shalat dua rakaat yang ringan.
Penjelasan :
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad II:123, 130, sanadnya shahih menurut persyaratan
Bukhari dan Muslim. Dikeluarkan juga oleh Muslim II:166; Abu Awanah II:325, Abu
17
Daud 1:210; Tirmidzi II:321 dan beliau mengesahkannya. Juga oleh Ad-Daarimi 1:371,
Ibnu Nashr pada halaman 120-121; Baihaqi III:27; Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla
III:42-43.
Semua mereka ini meriwayatkan dengan singkat, tidak disebut padanya tentang
memberi salam pada tiap dua rakaat, sedangkan Syafi'i 1:1/109, At-Thayalisi 1:120 dan
Hakim 1:305 hanya meriwayatkan tentang witir lima rakaat saja.
Hadits ini juga mempunyai syahid dari Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Abu Dawud
1:214 daan Baihaqi III:29, sanad keduanya shahih. Kalau kita lihat sepintas lalu,
seakan-akan riwayat Ahmad ini bertentangan dengan riwayat Aisyah yang membatas
bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan lebih dari
sebelas rakaat, sebab pada riwayat ini jumlah yang dikerjakan Nabi shallallahu `alaihi
wa sallam adalah 13 rakaat ditambah 2 rakaat qabliyah Shubuh. Tetapi sebenarnya
kedua riwayat ini tidak bertentangan dan dapat dijama' seperti pad uraian yang lalu.
Kesimpulannya dari 13 rakaat itu, masuk di dalamnya 2 rakaat Iftitah atau 2 rakaat
ba'diyah Isya.
Ketiga.
Shalat 11 rakaat, dengan salam setiap dua rakaat dan berwitir 1 rakaat.
Dasarnya hadits Aisyah berikut ini: "Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
shalat pada waktu antara selesai shalat Isya, biasa juga orang menamakan shalat
`atamah hingga waktu fajar, sebanyak 11 rakaat, beliau memberi salam setiap dua
rakaat dan berwitir satu rakaat, beliau berhenti pada waktu sujudnya selama seseorang
membaca 50 ayat sebelum mengangkat kepalanya".
Penjelasan:
Diriwayatkan oleh Muslim II:155 dan Abu Awanah II:326; Abu Dawud I:209; Thahawi
I:167; Ahmad II:215, 248. Abu Awanah dan Muslim juga meriwayatkan dari hadits
Ibnu Umar, sedangkan Abu Awanah juga dari Ibnu Abbas.
Mendukung riwayat ini adalah Ibnu Umar juga: Bahwa seorang laki-laki bertanya
kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang shalat malam, maka sabdanya:
Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Kalau seseorang daripada kamu khawatir
masuk waktu Shubuh, cukup dia shalat satu rakaat guna menggajilkan jumlah rakaat
yang ia telah kerjakan.
Riwayat Malik I:144, Abu Awanah II:330-331, Bukhari II:382,385, MuslimII:172. Ia
menambahkan (Abu Awanah): "Maka Ibnu Umar ditanya: Apa yang dimaksud dua
rakaat - dua rakaat itu? Ia menjawab: Bahwasanya memberi salam di tiap dua rakaat."
Keempat.
Shalat 11 rakaat yaitu sholat 4 rakaat dengan 1 salam, empat rakaat salam lagi,
kemudian tiga rakaat.
18
Haditsnya adalah riwayat Bukhari Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu. Menurut
dhahir haditsnya, beliau duduk di tiap-tiap dua rakaat tetapi tidak memberi salam,
demikianlah penafsiran Imam Nawawi. Yang seperti ini telah diriwayatkan dalam
beberapa hadits dari Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak
memberi salam antara dua rakaat dan witir, namun riwayat-riwayat itu lemah,
demikianlah yang disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Nashr, Baihaqi dan Nawawi.
Kelima
Shalat 11 rakaat dengan perincian 8 rakaat yang beliau tidak duduk kecuali pada rakaat
kedelapan tersebut, maka beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi, kemudian
bangkit dan tidak memberi salam, selanjutnya beliau witir satu rakaat, kemudian
memberi salam (maka genap 9 raka'at). Kemudian Nabi sholat 2 raka'at sambil duduk.
Dasarnya adalah hadits Aisyah radliallahu `anha, diriwayatkan oleh Sa'ad bin Hisyam
bin Amir. Bahwasanya ia mendatangi Ibnu Abbas dan menanyakan kepadanya tentang
witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam maka Ibnu Abbas berkata: Maukah aku
tunjukan kepada kamu orang yang paling mengetahui dari seluruh penduduk bumi
tentang witirnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: Ia bertanya siapa dia? Ia
berkata: Aisyah radlillahu anha, maka datangilah ia dan Tanya kepadanya: Maka aku
pergi kepadnya, ia berkata: Aku bertanya; Hai Ummul mukminin khabarkan kepadaku
tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, Ia menjawab: Kami biasa
menyiapkan siwak dan air wudlunya, maka ia bersiwak dan berwudlu dan shalat
sembilan rakaat tidak duduk padanya kecuali pada rakaat yang kedelapan, maka ia
mengingat Allah dan memuji-Nya dan bershalawat kepada nabi-Nya dan berdoa,
kemudian bangkit dan tidak memberi salam, kemudian berdiri dan shalat (rakaat) yang
kesembilan, kemudian beliau duduk dan mengingat Allah dan memujinya (at tahiyat)
dan bershalawat atas nabi-Nya shallallahu `alaihi wa sallam dan berdoa, kemudian
memberi salam dengan salam yang diperdengarkan kepada kami, kemudian shalat dua
rakat setelah beliau memberi salam, dan beliau dalam keadaan duduk, maka yang
demikian jumlahnya sebelas. Wahai anakku, maka ketika Nabi shallallahu `alaihi wa
sallam menjadi gemuk, beliau berwitir tujuh rakaat, beliau mengerjakan di dua rakaat
sebagaimana yang beliau kerjakan (dengan duduk). Yang demikian jumlahnya sembilan
rakaat wahai anakku.
Penjelasan
Diriwayatkan oleh Muslim II:169-170, Abu Awanah II:321-325, Abu Dawud I:210-
211, Nasai I/244-250, Ibnu Nashr halaman 49, Baihaqi III:30 dan Ahmad VI:53,54,168.
Keenam.
Shalat 9 rakaat, dari jumlah ini, 6 rakaat beliau kerjakan tanpa duduk (tasyahud) kecuali
pada rakaat yang keenam tersebut, beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam kemudian beliau bangkit dan tidak memberi salam
sedangkan beliau dalam keadaan duduk.
19
Yang menjadi dasar adalah hadits Aisyah radiyallahu anha seperti telah disebutkan pada
cara yang kelima.
Itulah cara-cara shalat malam dan witir yng pernah dikerjakan Rasulullah, cara
yang lain dari itu bisa juga ditambahkan yang penting tidak melebihi sebelas rakaat.
Adapun kurang dari jumlah itu tidak dianggap menyalahi karena yang demikian
memang dibolehkan, bahkan berwitir satu rakaatpun juga boleh sebagaimana sabdanya
yang lalu: "....Maka barang siapa ingin maka ia boleh berwitir 5 rakaat, dan barangsiapa
ingin ia boleh berwitir 3 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir dengan satu
rakaat."
Hadits di atas merupakan nash boleh ia berwitir dengan salah satu dari rakaat-rakaat
tersebut, hanya saja seperti yang dinyatakan hadits Aisyah bahwasaya beliau tidk
berwitir kurang dari 7 rakaat.
Tentang witir yang lima rakaat dan tiga rakaat dapat dilakukan dengan berbagai cara:
a. Dengan sekali duduk dan sekali salam
b. Duduk at tahiyat setiap dua rakaat
c. Memberi salam setiap dua rakaat
Al-Hafidh Muhammad bin Nashr al-Maruzi dalam kitab Qiyamul Lail halaman
119 mengatakan: Cara yang kami pilih untuk mengerjakan shalat malam, baik
Ramadlan atau lainnya adalah dengan memberi salam setiap dua rakaat. Kalau seorang
ingin mengerjakan tiga rakaat, maka di rakaat pertama hendaknya membaca surah
"Sabbihisma Rabbikal A'la" dan pada rakaat kedua membaca surah "Al-Kafirun", dan
bertasyahud dirakaat kedua kemudian memberi salam. Selanjutya bangkit lagi dan
shalat satu rakaat, pada rakaat ini dibaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlash, Mu`awwidzatain
(Al-Falaq dan An-Naas), setelah itu beliau (Muhammad bin Nashr) menyebutkan caracara
yang telah diuraikan terdahulu.
Semua cara-cara tersebut boleh dilakukan, hanya saja kami pilih cara yang
disebutkan di atas karen didasarkan pada jawaban Nabi shallallahu `alaihi wa sallam
ketika beliau ditanya tentang shalat malam, maka beliau menjawab: bahwa shalat
malam itu dua rakaat dua rakaat, jadi kami memilih cara seperti yang beliau pilih.
Adapun tentang witir yang tiga rakaat, tidak kami dapatkan keterangan yang pasti
dan terperinci dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya beliau tidak memberi
salam kecuali pada rakat yang ketiga, seperti yang disebutkan tentang Witir lima rakaat,
tujuh dan sembilan rakaat. Yang kami dapati adalah bahwa beliau berwitir tiga rakaat
dengan tidak disebutkan tentang salam sedangkan tidak disebutkan itu tidak dapat
diartikan bahwa beliau tidak mengerjakan, bahkan mungkin beliau melakukannya.
Yang jelas tentang pelaksanaan yang tiga rakaat ini mengandung beberapa ihtimaalat
(kemungkinan), diantaranya kemungkinan beliau justru memberi salam, karena
demikialah yang kami tafsirkan dari shalat beliau yang sepuluh rakaat, meskipun di
20
sana tidak diceritakan tentang adanya salam setiap dua rakaat, tapi berdasar keumuman
sabdanya bahwa asal shalat malam atau siang itu adalah dua rakaat, dua rakaat.
Sedangkan hadits Ubay bin Ka'ab yang sering dijadikan dasar tidak adanya salam
kecuali pada rakaat yang ketiga (laa yusallimu illa fii akhirihinna), ternyata tambahan
ini tidak dapat dipakai, karena Abdul Aziz bin Khalid bersendiri dengan tambahan
tersebut, sedangkan Abdul Aziz ini, tidak dianggap tsiqah oleh ulama Hadits. Dalam at-
Taqrib dinyatakan bahwa dia maqbul apabila ada mutaba'ah (hadits lain yang
mengiringi), kalau tidak ia termasuk Layyinul Hadits. Di samping itu tambahan
riwayatnya menyalahi riwayat dari Sa'id bin Abi Urubah yang tanpa tambahan tersebut.
Ibnu Nashr, Nasai dan Daruqutni juga meriwayatkan tanpa tambahan. Dengan ini, jelas
bahwa tambahan tersebut adalah munkar dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Tapi walaupun demikian diriwayatkan bahwa shahabat-shahabat Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam mengerjakan witir tiga rakaat dengan tanpa memberi salam kecuali
pada rakaat yang terakhir dan ittiba' kepada mereka ini lebih baik baik daripada
mengerjakan yang tidak dicontohkan. Dari sisi lain perlu juga diketengahkan bahwa
terdapat banyak riwayat baik dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, para shahabat
ataupun tabi'in yaang menunjukan tidak disukainya shalat witir tiga rakaat, diantaranya:
"Janganlah engkau mengerjakan witir tiga rakaat yang menyerupai Maghrib, tetapi
hendaklah engkau berwitir lima rakaat." (HR. Al-Baihaqi, At Thohawi dan Daruquthny
dan selain keduanya, lihat Sholatut Tarawih hal 99-110).
Hadits ini tidak dapat dipakai karena mempunyai kelemahan pada sanadnya, tapi
Thahawi meriwayatkan hadits ini melalui jalan lain dengan sanad yang shahih. Adapun
maksudnya adalah melarang witir tiga rakaat apabila menyerupai Maghrib yaitu dengan
dua tasyahud, namun kalau witir tiga rakaat dengan tidak pakai tasyahud awwal, maka
yang demikian tidak dapat dikatakan menyerupai. Pendapat ini juga dinyatakan oleh
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari II:385 dan dianggap baik oleh Shan'aani dalam Subulus
Salam II:8.
Kesimpulan dari yang kami uraikan di atas bahwa semua cara witir yang disebutkan di
atas adalah baik, hanya perlu dinyatakan bahwa witir tiga rakaat dengan dua kali
tasyahhud, tidak pernah ada contohnya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
bahkan yang demikian tidak luput dari kesalahan, oleh karenanya kami memilih untuk
tidak duduk di rakaat genap (kedua), kalau duduk berarti memberi salam, dan cara ini
adalah yang lebih utama.
(Dikutip dari tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, judul asli Sholatut
Tarawih, edisi Indonesia Kelemahan Riwayat Tarawih 20 Rakaat.)
Langganan:
Postingan (Atom)