Kamis, 22 Juli 2010

FITNAH ITU AKHIRNYA TERUNGKAP
Z.A. Maulani
(Mantan Kepala Badan Intelijen Negara/KABAKIN)
Pendahuluan
Bagian pertama dari makalah ini  `Perang Membasmi Terorisme Ternyata Fitnah'
 mengungkap berbagai fakta yang menjadi dasar ditulisnya E-book Prof. Dr.
Alberto D. Pastore Ph.D., berjudul ‘Stranger Than Fiction’, yang menceritakan
bagaimana peran secara sangat detil dari dinas rahasia Israel Mossad, yang
menggarap sejak perencanaan sampai dengan pelaksanaan aksi serangan atas
gedung-kembar WTC di New York dan gedung Pentagon di Washington DC. pada
tanggal 11 September 2001. Perbuatan keji itu dinisbahkan kepada 19 orang
"teroris Islam" dari Al-Qaidah dan para pendukungnya yang tersebar di seluruh
dunia, termasuk konon menurut fitnah itu, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, sebagai
pimpinan organisasi teroris regional Jama’ah Islamiyyah (JI). Sampai dengan hari
ini para “teroris Islam” itu tidak satu pun yang berhasil diajukan ke depan
pengadilan oleh pemerintah Amerika Serikat, karena mereka memang tidak ada.
Dua orang pejabat negara yang melakukan invasi ke Afghanistan (2002) dan Iraq
(2004), mantan menteri lingkungan hidup dalam kabinet Tony Blair, Michael
Meacher, dan mantan menteri keuangan pemerintah Bush, Paul O’Neill
mengungkapkan fakta, berdasarkan kejujuran mereka, tentang apa yang menjadi
motivasi sebenarnya sampai Afghanistan dan Iraq diserbu dan dijadikan jajahan
oleh Amerika, dan apa dan bagaimana cerita kejadian sebelum, pada tanggal 11
September 2001, dan sesudahnya, yang telah dijadikan alasan untuk melakukan
stigmatisasi negatif terhadap Dunia Islam dan kaum muslimin.
Musholla Al Barokah Gd. Cyber, Kuningan Barat No. 8 Jakarta 12710 2
http://www.albarokah.or.id
milis : mus-albarokah@yahoogroups.com
Pada bagian kedua makalah ini, diturunkan kutipan tulisan dari Michael Meacher,
mantan menteri lingkungan hidup dalam kabinet Tony Blair dari Mei 1997 sampai
Juni 2003 (6 tahun). Meacher menurunkan segenap pengetahuannya dalam sebuah
kolom 'This War on Terrorism is Bogus', di koran Guardian, London, edisi 6
September 2003, dalam rangka memperingati dua tahun kejadian 11 September
2001, yang oleh mantan perdana menteri Malaysia Mahathir Mohammad disebut
sebagai “musibah (fitnah) yang sempurna atas kaum muslimin”.
Sedang pada bagian ketiga adalah hasil wawancara wartawati Margaret Neighbour
dari koran The Scotsman, dengan artikel, ’Bush Admits He Wanted Regime
Change Before 11 September’ (Bush Mengakui Ia Memang Menginginkan
Penumbangan Rejim Sebelum 11 September 2001), yang terbit pada tanggal 13
Januari 2004, yang diilhami oleh buku Paul O'Neill "The Price of Loyalty" (2003).
Selain itu, atas pertanyaan wartawati Margaret Neighbour, terungkap bahwa Bush
mengakui serangan terhadap Afghanistan dan Iraq dengan menjadikan peristiwa 11
September 2001, serangan terhadap gedung-kembar WTC di New York dan gedung
Pentagon di Washington DC. sebagai dalih, telah direncanakan oleh pemerintah
Amerika Serikat jauh sebelumnya.
Perang Membasmi Terorisme Ternyata Fitnah
Tanpa ambil pusing untuk melakukan pembuktian tuduhannya, dengan dalih
“perang membasmi terorisme”, Amerika Serikat menempatkan kaum muslimin di
seluruh dunia menjadi sasaran pendzaliman. Afghanistan, negeri muslim yang
miskin, diratakan jadi arang dengan “carpet bombing”, karena dosa Afghanistan
“menampung kelompok teroris Al Qaidah”. Publik dipaksa untuk melupakan
kenyataan bahwa yang mendukung Al Qaidah, melatih dan membiayai, dan
menempatkan mereka di Afghanistan sejak tahun 1979, adalah Amerika Serikat
sendiri, persisnya Central Intelligence Agency (CIA), dalam rangka memerangi Uni
Sovyet di negeri miskin tersebut.
Musholla Al Barokah Gd. Cyber, Kuningan Barat No. 8 Jakarta 12710 3
http://www.albarokah.or.id
milis : mus-albarokah@yahoogroups.com
Sesudah Afghanistan, kemudian Iraq menyusul dihabisi dan dijajah dengan dalih
Iraq mengembangkan dan menyimpan “senjata-pemusnah-massal”, berdiri di
belakang serangan 11 September 2001, dan mendukung serta melindungi Al-
Qaidah. Pada tanggal 28 Januari 2002, di depan Kongres Amerika Serikat, presiden
Bush melaporkan, “The British government has learned that Saddam Husein
recently sought significant quantities of uranium from Africa” (Pemerintah Inggeris
telah berhasil mengetahui bahwa Saddam Hussein baru-baru ini telah
mengusahakan (untuk mendapatkan) sejumlah besar uranium dari Afrika). Enambelas
butir kata yang kini menjadi gunjingan orang banyak itu kini ternyata
didasarkan pada dokumen yang palsu, atau dipalsukan, yang digunakan sebagai
dalih oleh Presiden Bush untuk mengelabui rakyat dan Kongres Amerika Serikat
untuk mendapatkan persetujuan melibas Iraq. Perdana Menteri Inggris Tony Blair
dalam pidatonya di depan Parlemen Westminster sebelum serangan ke Iraq
dilancarkan pada medio Maret 2003, bahkan mengintimidasi, bahwa “dalam tempo
45 jam setelah perintah Saddam Hussein dikeluarkan Iraq akan mampu
melancarkan serangan dengan senjata-senjata nuklir, kuman dan biologis”. Kalau
sekiranya tuduhan itu benar, maka serangan terhadap Iraq memang harus segera
dilaksanakan, sebagaimana alasan Bush, “sebelum Iraq dapat menyerang kita”.
Hanya saja ternyata pernyataan itu bohong dan seratus persen fitnah, yang
digunakan sebagai dalih untuk menyerang Iraq.
Sebenarnya direktur CIA, George Tenet, empat bulan sebelumnya pada bulan
Oktober 2003, secara pribadi pernah dua kali mengirimkan memo kepada Gedung
Putih agar menghapus “16-kata” itu dari konsep pidato Presiden Bush yang
menuduh Iraq telah mengusahakan untuk “membeli lima ratus ton uranium-oksida”
dari Niger. Ketika usaha Tenet itu gagal, CIA menyatakan tidak ikut bertanggung
jawab dengan “informasi intelijen” itu, karena diketahui didasarkan pada dokumen
dan informasi palsu. Tetapi para pembantu dekat presiden Bush tetap menekan CIA
agar mengeluarkan analisis yang nadanya mendukung “temuan” Presiden Bush itu.
(‘The Amazing Stories of Condoleezza Rice', http://www.buzzflash.com, July 3,
2003).
Musholla Al Barokah Gd. Cyber, Kuningan Barat No. 8 Jakarta 12710 4
http://www.albarokah.or.id
milis : mus-albarokah@yahoogroups.com
Dewan Keamanan PBB, ketika mendengar laporan menteri luar-negeri Collin Powell,
menolak informasi tentang upaya Iraq membeli uranium-oksida itu, karena
diketahui isi dokumen itu memuat banyak ketidakcermatan yang mencurigakan.
Antara lain sebagai contoh, presiden Niger yang disebut-sebut dalam dokumen
intelijen presiden Bush itu ternyata adalah tokoh yang telah lama meninggal dunia.
Tidak heran kalau dokumen semacam itu ditolak mentah-mentah oleh duta-besar
Niger di PBB (Ibid.)
Karena kecaman yang bertubi-tubi terhadap kesemberonoan Presiden Bush
menggunakan intelijen yang tidak akurat, maka untuk mengatasi serangan itu pada
bulan Mei 2003, menjelang dinyatakan berakhirnya operasi di Iraq, kembali Bush
mengumbar kebohongan, “We’ve found the weapons of mass destruction. You
know, we found biological laboratories. And we’ll find more weapons as time goes
on. But for those who say we haven’t found the banned manufacturing devices or
banned weapons, they’re wrong. We found them” (Kita telah menemukan senjatasenjata
pemusnah massal itu. Kita telah menemukan laboratorium senjata-senjata
kimia. Dan kita akan menemukan lebih banyak lagi senjata dengan berjalannya
waktu. Mereka yang mengatakan kita belum menemukan pabrik alat-alat atau
senjata terlarang itu, mereka keliru. Kita telah menemukannya). Sampai hari ini
nyatanya pasukan Amerika dan Inggeris di Iraq belum juga berhasil
menemukannya (The Independent Institute, ‘Preemptive War Strategy: A New US
Empire?’, http://www.independent.org , July 26, 2003).
Kini fitnah busuk itu terungkap satu per satu. Dari lembaga resmi militer Amerika
Serikat, The Armed Forces Institute of Pathology (AFIP), berdasarkan hasil
pemeriksaan mereka atas daftar manifes penumpang pesawat, yang konon “dibajak
oleh 19 orang teroris Arab”, dan dari hasil otopsi pada tanggal 16 Nopember 2001
terhadap 189 korban para penumpang pesawat, ternyata baik dari daftar manifes
penumpang maupun dari otopsi jenazah para korban, AFIP menyatakan tidak
menemukan satu pun nama orang Arab, atau jenazah orang Arab. Satu-satunya
Musholla Al Barokah Gd. Cyber, Kuningan Barat No. 8 Jakarta 12710 5
http://www.albarokah.or.id
milis : mus-albarokah@yahoogroups.com
yang ada kaitannya dengan orang Arab, mereka adalah kambing-hitam pemerintah
Amerika Serikat (The Prince George's Journal, Maryland, ‘Operation 911: No Suicide
Pilots’, edisi September 18, 2001, dikutip oleh http://www.serendipity.li/wtc.html,
July 14, 2003)
Cerita tentang 19 orang “teroris Islam” Al-Qaidah yang oleh intelijen Amerika
Serikat disebut-sebut berhasil menyusup dan menguasai pesawat dan
menghunjamkannya ke gedung-kembar WTC itu, kini seluruhnya ternyata cerita
isapan jempol, yang digunakan untuk menghasut kecurigaan terhadap kaum
muslimin sedunia tanpa kecuali, termasuk terhadap kaum muslimin di Indonesia.
Nama Muhammad Atta, Marwan Al-Sehhi, dan Hani Hanjour, yang konon dikatakan
sebagai para pilot berkebangsaan Saudi yang berhasil membajak, kemudian
mengemudikan dan menabrakkan pesawat-pesawat Boeing 767 ke gedung-kembar
WTC di New York dan Pentagon di Washington DC., menurut Marcel Bernard,
instruktur pada pusat pendidikan penerbangan dimana ketiga “pilot” itu pernah
menjalani latihan mereka, konon dikatakan, jangankan menerbangkan pesawat jet
berbadan lebar dan canggih seperti Boeing-767, mereka itu untuk menerbangkan
pesawat kecil tipe Cessna 172 saja secara solo, oleh para instukturnya dinilai tidak
mampu (“... they had received pilot training  with courtesy of the CIA (?)  but
were considered by their flying instructors to be incompetent to fly even light
single-engine planes”) (Ibid.)
Para analis yang meneliti kasus peristiwa serangan dan hancurnya gedung-kembar
WTC itu mencurigai pesawat-pesawat nahas itu kemungkinan dikemudikan dengan
alat ‘remote control’ dan diledakkan secara otomatis dengan alat yang memang
telah terpasang pada setiap pesawat komersial oleh aparat keamanan penerbangan
federal sebagai tindakan berjaga-jaga menghadapi kemungkinan kontinjensi
bilamana sewaktu-waktu pesawat dibajak. Kesimpulan itu makin memperkuat
analisis bahwa serangan terhadap gedung-kembar WTC di New York dan gedung
Musholla Al Barokah Gd. Cyber, Kuningan Barat No. 8 Jakarta 12710 6
http://www.albarokah.or.id
milis : mus-albarokah@yahoogroups.com
Pentagon di Washington DC., melibatkan “orang dalam”, yang mencakup personel
angkatan udara Amerika Serikat, Pentagon, CIA, dan Mossad.
Bersamaan dengan itu para ahli demolisi Amerika juga menengarai gedung WTC
New York tersebut tidak mungkin akan runtuh sedemikian rapi tanpa merusak
gedung-gedung di sekitarnya sebagaimana dinyatakan oleh pemerintah Amerika
Serikat, yaitu disebabkan oleh tabrakan pesawat. Bila hanya oleh tabrakan
pesawat, para ahli demolisi itu menyimpulkan gedung-kembar WTC itu sebagian
masih akan tersisa, meskipun mereka mempercayai gedung-kembar berlantai 110
setinggi 415 meter itu telah didesain dan dibangun oleh para arsitek Minoru
Yamasaki, John Skilling, dan Leslie Robertson sebagai bangunan tahan gempa,
tahan tornado, dan diilhami novel Tom Clancy yang mengisahkan hancurnya
sebuah gedung pencakar langit karena ditabrak oleh sebuah pesawat teroris, maka
ketiga arsitek kondang itu mendesain gedung-kembar WTC juga tahan tabrakan
pesawat.
Menurut para ahli demolisi itu, cara runtuhnya dan habisnya gedung-kembar WTC
itu memperlihatkan ciri-ciri, apa yang mereka sebut ‘controlled demolition’ dari
dalam, oleh orang-orang yang paham benar tentang konstruksi bangunan WTC,
dengan memakai teknik yang digunakan untuk menghancurkan gedung-gedung tua
tanpa perlu membahayakan lingkungan di sekitarnya. Gedung Pentagon yang
konon disebut-sebut ditabrak pesawat Boeing 767 juga tidak memperlihatkan
adanya puing-puing pesawat, atau isi perut pesawat yang berserakan berupa
barang-barang penumpang dan sebagainya sebagaimana layaknya bila ada
pesawat yang jatuh. Pendek kata, semua itu dalam bahasa Amerika, cerita tentang
ulah teroris Arab itu, “too good to be true” (Ibid.)
Hasil dari Komisi Penyelidikan Gabungan Kongres (Joint Congress Inguiry) yang
dikeluarkan pada tanggal 24 Juli 2003 baru-baru ini menyatakan, penyelidikan
mereka tiba pada kesimpulan  “tidak ada kaitan apa pun antara Iraq dengan
Musholla Al Barokah Gd. Cyber, Kuningan Barat No. 8 Jakarta 12710 7
http://www.albarokah.or.id
milis : mus-albarokah@yahoogroups.com
Al Qaidah, dan tidak ada kaitan apa pun antara Iraq dengan peristiwa serangan
tanggal 11 September 2001”. Nasi telah menjadi bubur Iraq sejak 19 Maret 2003
telah menjadi negeri jajahan Amerika.
Dan tentang fitnah keempat, tuduhan Washington bahwa Iraq memiliki seabreg
senjata-pemusnah-massal yang menjadi dasar alasan invasi Amerika menghabisi
Iraq, ketika Richard Perle, tokoh Yahudi dan mantan ketua dan masih menjadi
anggota dari the Defense Policy Board Pentagon, bersama tokoh Yahudi lain, Paul
Wolfowitz, deputi menteri pertahanan  keduanya disebut-sebut berdiri di
belakang pencetus keputusan untuk menyerang Iraq  ketika ditanya pers tentang
senjata-senjata Iraq itu pada 24 Juli 2003, dengan enteng menjawab, “Well, kami
tidak tahu kemana mencarinya, dan tidak akan pernah tahu dimana barang itu.”
(William Pitt, ‘Though Heavens Fall’, July 25, 2003)
Perang Membasmi Terorisme Hanya Omong-Kosong *
Perhatian besar tengah disorotkan kepada pertanyaan  mengapa Amerika Serikat
melancarkan perang terhadap Iraq, dan pertanyaan itu juga ditujukan kepada
Inggeris. Penjelasan resmi selama ini ialah bahwa setelah gedung-kembar World
Trade Center di New York dihantam dan dihancurkan oleh dua buah pesawat
bunuh-diri pada 11 September 2001, maka tindak balasan terhadap Al Qaidah yang
berpangkalan di Afghanistan merupakan langkah pertama yang dinilai wajar dalam
rangka perang global membasmi terorisme. Kemudian, karena Saddam Hussein
oleh Amerika Serikat dan Inggeris dituduh menyimpan senjata-pemusnah-massal
(WMD), maka perang tentu saja harus diperluas ke Iraq. Namun teori tersebut
tidak cocok dengan kenyataan yang ada. Kebenaran barangkali akan jauh lebih
kelam.
Masyarakat dunia kini telah mengetahui bahwa sebuah cetak-biru untuk
pembentukan Pax Americana yang mengglobal telah disiapkan untuk (waktu itu)
Musholla Al Barokah Gd. Cyber, Kuningan Barat No. 8 Jakarta 12710 8
http://www.albarokah.or.id
milis : mus-albarokah@yahoogroups.com
menteri pertahanan Dick Cheney (sekarang wakil presiden), Donald Rumsfeld
(sekarang menteri pertahanan), Paul Wolfowitz (deputi menteri pertahanan), Jeb
Bush (adik Presiden Bush), dan Libby Lewis (kepala staf wakil presiden). Dokumen
itu, yang diberi judul ‘Membangun Kembali Pertahanan Amerika’, selesai ditulis
pada bulan September 2000 (satu tahun sebelum peristiwa 11 September 2001)
oleh kelompok think-tank neo-kon, Project for the New American Century (PNAC).
Rencana dalam dokumen itu memperlihatkan niat dari kabinet Bush untuk
menguasai kawasan Teluk secara militer tidak penting apakah Saddam Hussein
masih berkuasa atau tidak. Dokumen itu menyatakan “sementara konflik di Iraq
yang tak terselesaikan memberikan pembenaran, kebutuhan akan kehadiran
dengan kekuatan yang memadai dari pasukan Amerika di kawasan Teluk
melahirkan persoalan tentang rejim Saddam Hussein”.
Cetak-biru dari PNAC itu mendukung dokumen sebelumnya yang dipersiapkan oleh
Paul Wolfowitz dan Libby Lewis, ‘To Rebuild America’s Defense’, yang menyatakan,
Amerika Serikat harus “mencegah negara-negara industri maju sampai menantang
kepemimpinan kita atau bahkan mencita-citakan untuk menjalankan peran regional
atau global yang lebih besar”. Dokumen itu menjelaskan tugas-tugas pemeliharaan
perdamaian dunia “menuntut kepemimpinan politik Amerika Serikat ketimbang
kepemimpinan PBB”.
Dokumen itu selanjutnya menyatakan “bahkan kalaupun Saddam Hussein tidak lagi
berperan di arena”, pangkalan-pangkalan militer di Saudi Arabia dan Kuwait harus
tetap dipelihara .. karena “Iran akan menjadi ancaman besar terhadap kepentingan
Amerika Serikat seperti yang pernah dilakukan oleh Iraq”. Dokumen itu juga
menyoroti Cina untuk dilakukan “perubahan rejim”, dengan menyatakan bahwa
“sekarang sudah tiba waktunya untuk meningkatkan kehadiran militer Amerika
Serikat di Asia Tenggara”, yang kemudian menjadi dasar untuk membuka apa yang
disebut oleh Presiden Bush “front kedua perang membasmi terorisme di Asia
Musholla Al Barokah Gd. Cyber, Kuningan Barat No. 8 Jakarta 12710 9
http://www.albarokah.or.id
milis : mus-albarokah@yahoogroups.com
Tenggara”, yang menjadi pretext untuk masuk ke Asia Tenggara. Dalih “front
kedua” itu disebutkan untuk menghancurkan organisasi teroris regional Jama’ah
Islamiyyah. Guna memperkuat tuduhan itu lalu “Bom Bali” dipasang, seperti halnya
modus serangan WTC New York oleh “teroris”.
Dokumen itu juga menyerukan perlunya pembentukan “kekuatan ruang-angkasa”
untuk mendominasi ruang-angkasa, dan penguasaan mutlak atas ruang-cybernet
dalam rangka mencegah “musuh-musuh Amerika” memanfaatkan internet terhadap
kepentingan Amerika Serikat. Dokumen itu kemudian menyarankan agar Amerika
Serikat mempertimbangkan untuk mengembangkan senjata kuman “yang dapat
menyerang sasaran jenis gen tertentu (dan) barangkali dapat mengubah
peperangan kuman dari senjata teror menjadi alat politik yang bermanfaat”.
Akhirnya, dokumen yang disiapkan setahun sebelum peristiwa 11 September 2001,
menunjuk Korea Utara, Suriah, dan Iran, sebagai rejim yang berbahaya  ‘axis of
evil’  dan menyatakan adanya rejim-rejim itu membenarkan akan kebutuhan
“sistem komando dan kendali yang mendunia”. Dokumen itu benar-benar memuat
cetak-biru penguasaan dunia oleh Amerika Serikat. Namun sebelum dokumen itu
kita tepis sebagai mimpi fantasi kaum sayap kanan yang sebagian besarnya orang
Yahudi, dokumen itu secara jelas menjadi sumber keterangan yang baik tentang
apa sebenarnya yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah 11 September 2001
tentang thesis perang global terhadap terorisme yang digembar-gemborkan selama
ini. Hal ini akan terlihat dengan gamblang dalam beberapa tahun mendatang ini.
Pertama, sudah jelas para pejabat berwenang Amerika Serikat sama sekali, atau
tidak banyak bertindak, untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu sebelum
terjadinya peristiwa 11 September 2001. Telah diketahui paling tidak ada 11
negara yang pernah memberikan peringatan dini kepada pemerintah Amerika
Serikat tentang akan adanya serangan pada tanggal 11 September 2001.
Musholla Al Barokah Gd. Cyber, Kuningan Barat No. 8 Jakarta 12710 10
http://www.albarokah.or.id
milis : mus-albarokah@yahoogroups.com
Yang lebih aneh lagi  dilihat dari kaca-mata perang terhadap terorisme  pada
hari dimana terjadi serangan 11 September 2001 itu, tampak reaksi yang
sedemikian lambannya dari pemerintah dan pejabat berwenang Amerika Serikat.
Pembajakan pesawat pertama diduga terjadi pada pukul 08.20 pagi, dan pesawat
bajakan terakhir yang jatuh di Pennsylvania pada pukul 10.06 pagi. Terhadap
kenyataan tersebut tidak satu pun pesawat buru-sergap yang menyambang dari
pangkalan angkatan udara Andrews, yang jauhnya hanya 15 kilometer dari ibukota
Washington DC., sampai pesawat ketiga menabrak Pentagon pada pukul 09.38
pagi. Mengapa tidak pernah ada reaksi? Ada prosedur standar dari FAA (Federal
Aviation Agency  Badan Penerbangan Federal AS) keharusan menyergap setiap
pesawat yang dibajak. Antara bulan September 2000 sampai dengan bulan Juni
2001 saja tidak kurang dari 67 kali pesawat-pesawat buru-sergap dari NORAD
(komando pertahanan udara Amerika Utara) menyergap dan menggiring pesawatpesawat
yang mencurigakan, atau terbang melenceng dari jalur terbang yang telah
ditetapkan. (AP, August 13, 2002)
Apakah kelambanan itu hanya karena ada tokoh-tokoh kunci yang mengabaikan,
atau bersikap masa bodoh ? Atau apakah operasi pertahanan udara Amerika
Serikat secara sengaja lengah pada tanggal 11 September 2001 itu ? Kalau
demikian halnya, mengapa dan atas perintah siapa ? Mantan jaksa federal Amerika
Serikat, John Loftus, mengatakan, “Informasi yang disampaikan oleh badanbadan
intelijen Eropa sebelum tanggal 11 September 2001 demikian luasnya,
sehingga sebenarnya tidak mungkin FBI atau pun CIA berlindung di belakang dalih
bahwa hal itu sampai bisa terjadi karena ketidak-mampuan mereka”.
Juga tanggapan pemerintah Amerika Serikat terhadap peristiwa 11 September
2001 tidaklah lebih baik. Tidak telihat ada usaha yang sungguh-sungguh dari
pemerintah Amerika Serikat untuk menangkap Osamah bin Ladin. Pada akhir bulan
September atau awal Oktober 2001 pimpinan dari dua partai Islam Pakistan telah
merundingkan ekstradisi Osamah bin Ladin ke Pakistan untuk diadili sehubungan
Musholla Al Barokah Gd. Cyber, Kuningan Barat No. 8 Jakarta 12710 11
http://www.albarokah.or.id
milis : mus-albarokah@yahoogroups.com
dengan kasus 11 September 2001. Namun seorang pejabat pemerintah Amerika
Serikat dengan ketus berucap, “Tindakan sembrono dapat menimbulkan resiko
buyarnya usaha internasional sekiranya Osamah bin Ladin sampai tertangkap”.
Ketua Gabungan Kepala Staf Amerika Serikat, Jenderal Myers, berkata lebih
lanjut, “tujuan kita bukan untuk menangkap Osama bin Ladin” (AP, April 5, 2002).
Pernyataan itu dikuatkan oleh seorang agen FBI dalam wawancara dengan teve
ABC News, bahwa “FBI headquarters wanted no arrests” (FBI tidak berniat untuk
menangkap siapa pun) (ABC News, December 19, 2002). Dan pada bulan
November 2001 angkatan udara Amerika Serikat mengeluh mereka telah 10 kali
menemukan tempat bersembunyi pimpinan Taliban dan AI-Qaidah, tetapi mereka
tidak bisa melakukan serangan karena izin untuk itu tidak dapat diperoleh pada
waktunya (Majalah TIME, May 13, 2002). Tidak satu pun dari bukti-bukti yang
terkumpul ini, yang semuanya berasal dari para pejabat pemerintah sendiri, seperti
gemuruhnya gembar-gembor tentang “perang membasmi terorisme”.
Daftar bukti itu sesuai benar dengan cetak-biru dari PNAC. Dari gambaran di atas
tadi nampaknya apa yang disebut “perang membasmi terorisme” itu digunakan
sebagian besar hanya sebagai isapan jempol untuk menutup-nutupi tujuan
strategis geopolitik Amerika Serikat yang sesungguhnya. Tony Blair sendiri tentang
hal itu mengisyaratkan ketika ia memberikan kesaksian di depan Komisi Hubungan
Majelis Rendah Inggeris, “Sejujurnya saja, kita tidak akan mungkin memperoleh
persetujuan rakyat secara mendadak untuk melancarkan kampanye militer di
Afghanistan, terkecuali dengan mengkaitkan alasannya dengan apa yang terjadi
pada tanggal 11 September 2001” (Sk. The Times, London, Juli 17, 2002). Menteri
pertahanan Donald Rumsfeld sama gigihnya mencari-cari alasan tentang invasi ke
Iraq, sehingga pada 10 kali peristiwa terpisah meminta kepada CIA untuk
menemukan bukti yang dapat menghubungkan Iraq dengan perisitwa 11
September 2001. CIA kembali setiap kali dengan tangan hampa (Majalah TIME,
May 13, 2002).
Musholla Al Barokah Gd. Cyber, Kuningan Barat No. 8 Jakarta 12710 12
http://www.albarokah.or.id
milis : mus-albarokah@yahoogroups.com
Peristiwa 11 September 2001 menciptakan dalih yang sangat pas bagi pelaksanaan
rencana PNAC. Bukti yang kini terungkap sangat jelas bahwa rencana tindakan
militer atas Afghanistan dan Iraq, bahkan negara-negara di Timur Tengah lainnya,
telah dirancang jauh sebelum terjadi peristiwa 11 September 2001. Sebuah laporan
yang disiapkan untuk pemerintah Amerika Serikat oleh Baker Institute of Public
Policy yang diterbitkan pada bulan April 2001 menyatakan, “Amerika Serikat
terperangkap oleh dilemma enerjinya. Iraq menjadi faktor yang berpengaruh
mendestabilisasi ... aliran minyak ke pasar-pasar internasional dari Timur Tengah”.
Dokumen itu diserahkan kepada kelompok tugas untuk penanggulangan enerji
pada kantor wakil presiden Dick Cheney, laporan itu merekomendasikan, bahwa
bila aliran minyak itu sampai terganggu, maka hal itu akan dapat menjadi resiko
yang tidak bisa dipikul oleh pemerintah Amerika Serikat, karena itu “intervensi
militer” adalah sesuatu yang diperlukan (Tabloid Sunday Herald, October 6, 2002).
Bukti lainnya sehubungan dengan rencana invasi ke Afghanistan juga ada. BBC
melaporkan (September 18, 2001) bahwa Niaz Niak, mantan menteri luar-negeri
Pakistan dibisiki oleh seorang pejabat Amerika Serikat dalam sebuah pertemuan di
Berlin pada medio-Juli 2001 (dua bulan sebelum terjadinya peristiwa 11 September
2001) bahwa “tindakan militer terhadap Afghanistan akan dilakukan pada medio-
Oktober”. Sampai dengan bulan Juli 2001 pemerintah Amerika Serikat masih
memandang Taliban sebagai sumber stabilitas di Asia Tengah yang memungkinkan
untuk membangun jalur pipa hidro-karbon dari ladang-ladang minyak dan gas bumi
di Turkmenistan, Uzbekistan, Kazakhstan, melalui Afghanistan dan Pakistan,
menuju pantai Lautan Hindia. Tetapi ketika Taliban menolak syarat-syarat yang
disorongkan, wakil Amerika Serikat dalam perundingan itu mengancam dengan
angkuh, “atau anda menerima tawaran kami berupa karpet emas, atau kami akan
kubur anda dengan karpet bom” (Inter Press Service, November 15, 2001).
Dengan latar-belakang semacam ini, tidaklah mengagetkan bila beberapa kalangan
memahami mengapa Amerika Serikat tidak terlalu bergairah mencegah terjadinya
Musholla Al Barokah Gd. Cyber, Kuningan Barat No. 8 Jakarta 12710 13
http://www.albarokah.or.id
milis : mus-albarokah@yahoogroups.com
peristiwa 11 Septeber 2001 yang memang diciptakan sebagai dalih yang
dianggapnya paling pas untuk menghukum Afghanistan dalam sebuah perang yang
telah dipersiapkan jauh hari sebelumnya. Sebenarnya telah ada preseden sebelum
ini. Arsip nasional Amerika Serikat mengungkapkan bahwa Presiden Franklin D.
Roosevelt pernah menggunakan pendekatan persis seperti ini dalam hubungan
dengan peristiwa Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Beberapa peringatan
pendahuluan akan adanya serangan terhadap Pearl Harbor telah diterima oleh
pemerintah di Washington, tetapi informasi itu tidak pernah diteruskan kepada
armada Amerika Serikat di Pasifik. Kemarahan nasional yang timbul akibat
peristiwa tersebut berhasil menggerakkan rakyat Amerika yang sebelumnya enggan
terjun ke dalam Perang Dunia ke-2 yang terjadi di Eropa. Cetak-biru PNAC yang
disiapkan pada bulan September 2000 menegaskan bahwa proses mentranformasi
Amerika Serikat menjadi “kekuatan masa depan yang dominan” hanya bisa terjadi
dalam tempo yang lama, kecuali bilamana ada “suatu bencana dan peristiwa yang
menjadi katalisator  layaknya sebuah Pearl Harhor yang baru”. Serangan pada
11 September 2001 memungkinkan pemerintah Amerika Serikat menekan tombol
“go” melaksanakan strategi sesuai agenda PNAC yang secara politik yang normal
mustahil bisa diimplementasikan.
Motivasi yang mendorong tabir-asap politik itu ialah baik Amerika Serikat maupun
Inggeris telah mulai kehabisan suplai enerji hidro-karbon yang aman. Menjelang
tahun 2010 Dunia Islam akan menguasai sebanyak 60% dari produksi minyak
dunia, dan yang lebih penting lagi mereka menguasai 95% dari kapasitas cadangan
minyak bumi dunia yang tersisa untuk ekspor. Sejak dasawarsa 1960-an kebutuhan
kian meningkat sementara suplai kian tipis.
Keadaan ini membuat Amerika Serikat dan Inggeris makin tergantung dari suplai
minyak luar-negeri. Amerika Serikat yang pada 1990 produk minyak dalamnegerinya
hanya mampu menutup 57% dari tuntutan kebutuhan, sementara
ladang-ladang dalam-negerinya hanya menghasilkan tidak lebih dari 39%
Musholla Al Barokah Gd. Cyber, Kuningan Barat No. 8 Jakarta 12710 14
http://www.albarokah.or.id
milis : mus-albarokah@yahoogroups.com
kebutuhan pada 2010. Menteri enerji Inggeris menyatakan negeri itu akan
menghadapi masalah suplai yang lebih parah, bahkan telah dimulai pada tahun
2005. Pemerintah Inggeris telah menyiapkan kebijakan dimana 70% dari
kebutuhan listriknya terpaksa akan menggunakan gas bumi sebagai pengganti
minyak mulai tahun 2020, dan 90% dari gas bumi tersebut harus diimpor dari luar.
Dalam hubungan itu patut disimak Iraq menyimpan 110 trilyun cubic-feet cadangan
gas bumi di luar cadangan minyaknya.
Sebuah laporan dari komisi Kongres untuk urusan kepentingan nasional Amerika
Serikat melaporkan pada bulan Juli 2000, yang menjadi dasar ditulisnya dokumen
PNAC, bahwa sumber baru untuk suplai dunia yang paling menjanjikan ada di
kawasan Cekungan Kaspia, dan sumber ini akan memungkinkan Amerika Serikat
melepaskan diri dari ketergantungannya pada minyak Saudi Arabia.. Dalam rangka
melakukan diversifikasi rute untuk kepentingan pengamanan dan pemasaran
minyak Kaspia, sebuah jalur pipa diusulkan untuk dibangun ke arah barat dari
Turkmenistan melalui Azerbaidjan dan Georgia menuju pelabuhan laut Turki di
Ceyhan. Sedang sebuah jalur lagi diusulkan ke arah timur dari Turkmenistan
melalui Afghanistan dan Pakistan dan berakhir di perbatasan India-Pakistan. Jalur
ini dapat diperpanjang terus ke India yang juga kelaparan akan minyak, terutama
untuk menyelamatkan pusat tenaga listrik milik Enron  yang modalnya dimiliki
keluarga Bush  di Dabhol terletak di pantai barat India, dimana Enron telah
menanam modal yang cukup besar $3 milyar, yang nasibnya ditentukan oleh
tersedianya minyak bumi dengan harga yang murah.
Inggeris juga tidak lepas dari ramai-ramai ikut keroyokan untuk menguasai
cadangan hidro-karbon dunia yang masih tersisa, dan hal ini menjelaskan
sebagiannya mengapa Inggeris dengan bersemangat mendukung aksi-aksi militer
Amerika Serikat di Asia Tengah dan Timur Tengah. Lord Browne, bos BP (dulu
namanya British Petroleum, sekarang berganti menjadi “Beyond Petroleum”, karena
Inggeris untuk kebutuhan masa depannya tidak hanya membutuhkan
Musholla Al Barokah Gd. Cyber, Kuningan Barat No. 8 Jakarta 12710 15
http://www.albarokah.or.id
milis : mus-albarokah@yahoogroups.com
minyak, tetapi juga gas bumi, batu-bara, dan apa saja yang dapat dijadikan
substitusi enerji minyak bumi), memperingatkan Washington agar jangan
mengangkangi Iraq hanya untuk perusahaan-perusahaannya sendiri bila Perang
Iraq berakhir (Sk. The Guardian, London, October 30, 2002). Ketika menteri luarnegeri
Inggeris menemui Kolonel Ghaddafi di khaimahnya di Lybia pada bulan
Agustus 2002, ia dilaporkan berkata, “Inggeris tidak menghendaki kalah dengan
negara-negara Eropa lainnya yang tengah berebut bilamana saatnya tiba untuk
mendapatkan kontrak pembagian ladang-ladang minyak yang menjanjikan
keuntungan besar” dengan Lybia (BBC Online, August 10, 2002).
Kesimpulan dari seluruh analisis yang diangkat dari artikel tulisan mantan menteri
Inggeris Michael Meacher di atas ialah bahwa apa yang disebut sebagai “perang
global untuk menghabisi terorisme” mengusung ciri-ciri sebuah mitos politik yang
diprogandakan untuk melicinkan jalan bagi sebuah agenda yang lain sama sekali 
yakni, aspirasi Amerika Serikat untuk membangun hegemoni mendunia, dilakukan
dengan cara kekerasan dalam rangka menguasai segenap pasokan minyak dan gas
bumi yang dibutuhkan bagi hegemoninya tersebut. *(Michael Meacher, ‘This War on
Terrorism is Bogus’, kolom yang ditulisnya dalam koran The Guardian, London,
edisi September 6, 2003)
Presiden Bush Mengakui Merancang Invasi ke Afghanistan dan Iraq Jauh
Sebelum Peristiwa 11 September *
Mantan menteri keuangan dan ketua tim ekonomi pemerintahan Bush, Paul O’Neill,
pada awal tahun 2004 menulis sebuah buku memoar, ‘The Price of Loyalty’, tentang
masa jabatannya dalam pemerintahan George W. Bush. Tidak terlalu mengejutkan
ketika ia menyebut bahwa Presiden Bush telah mengeluarkan berbagai perintah
kepada anggota dewan keamanan nasionalnya nyaris begitu ia dilantik pada bulan
Januari 2001 (kurang lebih delapan bulan sebelum terjadinya peristiwa 11
September 2001 yang dijadikan alasan untuk menghancurkan Afghanistan dan
Musholla Al Barokah Gd. Cyber, Kuningan Barat No. 8 Jakarta 12710 16
http://www.albarokah.or.id
milis : mus-albarokah@yahoogroups.com
menjajah Iraq) agar mengambil apa yang disebutnya “tindakan” yang perlu.
Ternyata perintah itulah yang kemudian dijual kepada publik Amerika dan dunia
sebagai “tindakan balasan” terhadap para “teroris” dan “negara-negara yang
membahayakan” keamanan nasional Amerika. Dalam kesempatan wawancara Paul
O'Neill dengan koresponden teve CBS, Lesley Stahl, dalam acara 60 Minutes pada
tanggal 11 Januari 2004 mengulang kembali pernyataannya berkenaan dengan
perintah Presiden Bush untuk menggulingkan Saddam Hussein sebagai prioritas
pertama kebijakan nasional Amerika jauh sebelum peristiwa 11 September 2001.
Menurut Paul O’Neill, dalam sidang tersebut Bush menyatakan, “Dari awal kita
meyakini Saddam Hussein itu orangnya jahat, karenanya ia harus dienyahkan”.
Presiden Bush selanjutnya menegaskan, “Bagi saya, berdasarkan pemahaman
tentang tindakan pre-emptif, Amerika Serikat memiliki hak unilateral untuk
memutuskan apa saja yang dianggap perlu, hal itu merupakan lompatan besar”.
Juru-bicara Presiden Bush, Scott McClellan, menyanggah laporan dan kecaman
O’Neill, katanya, “Presiden telah berusaha mencari segala jalan yang mungkin
untuk memecahkan situsi di Iraq secara damai. Tetapi ...” kata McClellan
selanjutnya, “Saddam Hussein memang orang berbahaya sejak lama”.
Ternyata atas tuduhan yang dicoba diredam oleh para pejabat Gedung Putih, oleh
Presiden Bush malah diakui sendiri ketika bertemu dengan Presiden Mexico
Vincente Fox pada tanggal 12 Januari 2004. Kata Bush, “Seperti halnya
pemerintahan sebelum saya, kami memang bertekad untuk menggulingkan rejim
(Saddam Hussein)… Kami hanya menyempurnakan kebijakan sebelumnya, dan
kemudian peristiwa 11 September terjadi, dan sebagai Presiden Amerika Serikat,
kewajiban saya yang paling mulia adalah bagaimana melindungi keamanan bagi
rakyat Amerika. Saya memikul tugas itu dengan sangat sungguh-sungguh dan kami
bukan hanya berurusan dengan Taliban, kami bekerja-sama dengan Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan masyarakat internasional, dan membuat jelas Saddam Hussein
harus dilucuti”. Ketika ia ditanya bahwa Amerika Serikat justeru melucuti Saddam
Musholla Al Barokah Gd. Cyber, Kuningan Barat No. 8 Jakarta 12710 17
http://www.albarokah.or.id
milis : mus-albarokah@yahoogroups.com
tanpa menggubris peringatan dari dunia internasional, Bush menjawab, “Bukankah
sekarang ia sudah tidak lagi berkuasa dan dunia kini merasa lebih aman”.
Paul O’Neill menyamakan sidang kabinet Presiden Bush laksana “orang tuli dalam
ruangan yang penuh dengan orang tuli”. Kecaman Paul O’Neill memang membuat
kaget Washington yang selama ini menyangka orang-orang dekat Bush terdiri dari
mereka yang kesetiaannya kepada Bush tidak diragukan. O’Neill diberhentikan
pada bulan Desember 2002 sebagai dalam rangka reshuffle tim ekonomi yang
berbeda pendapat mengenai kebijakan ekonomi yang dijalankan Presiden Bush
(Margaret Neighbour, ‘Bush Admits He Wanted Regime Change Before 11
September’, The Scotsman, January 13, 2004).
Kesimpulan
Apa yang selama ini menjadi keragu-raguan telah dibuat jelas oleh berbagai tokoh
dan Joint Senate Investigation Commission, bahkan oleh Presiden Bush sendiri
yang menjadi sumber kemelut yang berasal dari pernyataannya sendiri “perang
membasmi terorisme”  bisnis minyak dan terorisme oleh sebuah negara yang
mengklaim diri sebagai imperium dunia yang baru, ternyata saling berkait satu
dengan lain seperti benang dengan kelindannya. Bagi kalangan yang selama ini
membuta-tuli mengekor kepada Bush karena takut dengan ancaman “If you’re not
with us, you’re against us”, atau mereka yang memanfaatkan kesempatan untuk
menangguk di air keruh, melalui berbagai sumber yang merupakan tokoh-tokoh
negara dari Inggeris dan Amerika Serikat sendiri yang sepenuhnya dapat dipercaya,
kini menjadi jelas, bahwa selama ini Dunia Islam dan kaum muslimin hanyalah
menjadi korban fitnah dari suatu persekongkolan yang keji.
Artikel ditulis oleh ZA Maulani dalam bedah buku Stranger than Fiction, Independent Investigation of 9-11 and The
War on Terrorism karya DR. Albert D. Pastore, Ph.D. pada tanggal 8 April 2004 di musholla Al Barokah Gd. Cyber.
Musholla Al Barokah Gd. Cyber, Kuningan Barat No. 8 Jakarta 12710 18
http://www.albarokah.or.id
milis : mus-albarokah@yahoogroups.com

1 komentar: