Sabtu, 24 Juli 2010
Kebun Penghasil Bensin
Bangunan di tepi jalan alternatif ke kota Sukabumi itu tersembunyi di antara kebun singkong.
Tak ada yang mengira di gedung 3 kali lapangan voli itu Soekaeni mengolah umbi singkong
menjadi 2.100 liter bioetanol setiap bulan. Dari jumlah itu 300 liter dijual ke pengecer premium
dan 800 liter ke pengepul industri kimia. Harga jual untuk kedua konsumen itu sama: Rp10.000
per liter, sehingga pensiunan PT Telkom itu meraup omzet Rp21-juta per bulan. / /Bangunan di
tepi jalan alternatif ke kota Sukabumi itu tersembunyi di antara kebun singkong. Tak ada yang
mengira di gedung 3 kali lapangan voli itu Soekaeni mengolah umbi singkong menjadi 2.100
liter bioetanol setiap bulan. Dari jumlah itu 300 liter dijual ke pengecer premium dan 800 liter ke
pengepul industri kimia. Harga jual untuk kedua konsumen itu sama: Rp10.000 per liter,
sehingga pensiunan PT Telkom itu meraup omzet Rp21-juta per bulan. / Biaya untuk
memproduksi seliter bioetanol berbahan baku singkong berkisar Rp3.400- Rp4.000. Satu liter
bioetanol terbuat dari 6,5 kg singkong. Dari perniagaan bioetanol pria kelahiran 6 September
1950 itu meraup laba bersih Rp12-juta per bulan. Selain singkong, sekarang ia juga
memanfaatkan molase alias limbah tetes tebu sebagai bahan baku. Bioetanol produksi Soekaeni
itulah yang dimanfaatkan sebagai campuran premium oleh para tukang ojek di Nyangkowek,
Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, untuk bahan bakar kendaraan bermotor. Satu liter
premium diberi campuran 0,1 liter bioetanol. Meski harganya lebih mahal ketimbang premium,
mereka tetap membelinya karena kinerja mesin lebih bagus dan konsumsi bahan bakar lebih
hemat. Setahun terakhir popularitas bioetanol alias etanol yang diproses dari tumbuhan dan
biodiesel atau minyak untuk mesin diesel dari tanaman memang meningkat. Keduanya-bioetanol
dan biodiesel-merupakan bahan bakar nabati. Bersamaan dengan tren itu, bermunculan produsen
bioetanol skala rumahan. Menurut Eka Bukit, produsen bioetanol, kriteria skala rumahan bila
produksi maksimal 10.000 liter per hari. Saat ini volume produksi skala rumahan beragam, dari
30 liter hingga 2.000 liter per hari. Selain Soekaeni di Cicurug, Sukabumi, masih ada Sugimin
Sumoatmojo. Warga Bekonang, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, itu mengolah 1.500 molase
alias limbah pabrik gula menjadi 500 liter bioetanol per hari. Untuk menghasilkan 1 liter
bioetanol pria kelahiran 31 Desember 1947 itu memerlukan 3 liter molase. Ia mengutip laba
Rp2.500 per liter sehingga keuntungan bersih mencapai Rp1.250.000 per hari. Selama sebulan,
mesin bekerja rata-rata 30 hari. Dengan demikian total jenderal volume produksi mencapai
15.000 liter yang memberikan untung bersih Rp37,5-juta per bulan. Di Bekonang dan sekitarnya,
produsen bioetanol skala rumahan menjamur. Menurut Sabaryono, ketua Paguyuban Perajin
Bioetanol Sukoharjo, total produsen mencapai 145 orang. /*Bahan berlimpah*/ Daftar produsen
bioetanol skala rumahan kian panjang jika ditulis satu per satu. Mereka bertebaran di Sukoharjo,
Pati, (Jawa Tengah), Natar (Lampung), Sukabumi (Jawa Barat), Minahasa (Sulawesi Utara), dan
Cilegon (Banten). Para produsen kecil itu mengendus peluang bisnis bioetanol. Harap mafhum,
bahan baku melimpah, proses produksi relatif mudah, dan pasar terbentang menjadi daya tarik
bagi mereka. Menurut Dr Arif Yudiarto, periset bioetanol di Balai Besar Teknologi Pati, ada 3
kelompok tanaman sumber bioetanol. Ketiganya adalah tanaman mengandung pati, bergula, dan
serat selulosa. Beberapa tanaman yang sohor sebagai penghasil bioetanol adalah aren dengan
potensi produksi 40.000 liter per ha per tahun, jagung (6.000 liter), singkong (2.000 liter), biji
sorgum (4.000 liter), jerami padi, dan ubijalar (7.800 liter). Pada prinsipnya pembuatan bioetanol
melalui fermentasi untuk memecah protein dan destilasi alias penyulingan yang relatif mudah
sehingga gampang diterapkan. Berbeda dengan proses produksi biodiesel yang harus melampaui
teknologi esterifikasi dan transesterifikasi. Apalagi sebetulnya bioetanol bukan barang baru bagi
masyarakat Indonesia. Pada zaman kerajaan Singosari-700 tahun silam-masyarakat Jawa sudah
mengenal ciu alias bioetanol dari tetes tebu. Itu berkat tentara Kubilai Khan yang mengajarkan
proses produksi. Lalu pasar? Eka Bukit yang mengolah nira aren kewalahan melayani
permintaan bertubi-tubi. Setidaknya 275.000 liter permintaan rutin per bulan tak mampu ia
pasok. Permintaan itu datang dari industri farmasi dan kimia. ‘Pasarnya luar biasa besar,’ ujar
alumnus Carlton University itu. Oleh karena itu Eka tengah membangun pabrik pengolahan
bioetanol di Kabupaten Lebak, Banten. Menurut Indra Winarno, direktur PT Molindo Raya
Industrial produsen di Malang, Jawa Timur, permintaan etanol, ‘Tak terbatas.’
Pasok langsung
Sebagai substitusi bahan bakar premium, permintaan bioetanol sangat tinggi. Mari berhitung,
‘Kebutuhan bensin nasional mencapai 17,5- miliar per tahun,’ ujar Ir Yuttie Nurianti, manajer
Pengembangan Produk Baru Pertamina. Yuttie menuturkan 30% dari total kebutuhan itu impor.
Seperti diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No 5/2006 dalam kurun 2007-2010,
pemerintah menargetkan mengganti 1,48-miliar liter bensin dengan bioetanol lantaran kian
menipisnya cadangan minyak bumi. Persentase itu bakal meningkat menjadi 10% pada 2011-
2015, dan 15% pada 2016-2025. Pada kurun pertama 2007-2010 selama 3 tahun pemerintah
memerlukan rata-rata 30.833.000 liter bioetanol per bulan. Dari total kebutuhan itu cuma
137.000 liter bioetanol setiap bulan yang terpenuhi atau 0,4%. Itu berarti setiap bulan pemerintah
kekurangan pasokan 30.696.000 liter bioetanol untuk bahan bakar. Pangsa pasar yang sangat
besar belum terpenuhi lantaran saat ini baru PT Molindo Raya Industrial yang memasok
Pertamina. Dari produksi 150.000 liter, Molindo memasok 15.000 liter per hari. Molindo
menjual biopremium melalui Pertamina Rp5.000 per liter. Mungkinkah produsen skala rumahan
memasok Pertamina? Kepada wartawan /Trubus/ Imam Wiguna, Yuttie mengatakan, ‘Pertamina
menerima berapa pun pasokan bioetanol dari pihak swasta. Yang penting memenuhi syarat.’
Syarat yang dimaksud sang manajer adalah berkadar etanol minimal 99,5%. Rata-rata bioetanol
hasil sulingan produsen skala rumahan berkadar 90-95%. Agar syarat itu tercapai, produsen
dapat mencelupkan penyerap seperti batu gamping dan zeolit sehingga kadar etanol melonjak
signifikan (baca: /Bioetanol 99,5% Murnikan Saja dengan Gamping/ halaman 24-25). Selain itu,
pemasok harus mengantongi izin usaha niaga bahan bakar nabati dari Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral. Ketua Tim Nasional Bahan Bakar Nabati Ir Alhilal Hamdi berupaya agar
hubungan Pertamina-produsen skala kecil terjalin dengan mudah. ‘Kami akan memfasilitasi agar
tercipta mekanisme paling mudah bagi industri kecil yang memasok Pertamina tanpa perantara.
Perantara itu kan biaya. Atau bisa juga langsung dikirim ke SPBU karena jaringan Pertamina
luas,’ ujar mantan menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu (baca: Produsen Boleh Oplos
Bioetanol halaman 18). Tentang harga beli, Yuttie mengatakan, ‘Harga beli yang ditawarkan
produsen harus kompetitif.’ Saat ini Pertamina membeli 1 liter bioetanol Rp5.000. Toh, produsen
skala rumahan pun diberi kesempatan mengoplos alias mencampur bioetanol dan premium
sendiri untuk dipasarkan. Produsen yang mengoplos tak perlu takut dicokok aparat karena
memang dilindungi undang-undang. Yang menggembirakan bioetanol untuk bahan bakar bebas
cukai. Itu bukti bahwa pemerintah memang serius mengembangkan bioetanol sebagai sumber
energi terbarukan.
Langit biru
Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar juga berdampak positif. Banyak riset sahih yang
membuktikannya. Dr Prawoto kepala Balai Termodinamika, Motor, dan Propulsi, Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, misalnya, membuktikan kinerja mesin kian bagus setelah
diberi campuran bioetanol. Riset serupa ditempuh oleh Prof Dr Ir H Djoko Sungkono dari
Jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Hasil penelitian Prawoto
menunjukkan, dengan campuran bioetanol konsumsi bahan bakar semakin efisien. Mobil E20
alias yang diberi campuran bioetanol 20%, pada kecepatan 30 km per jam, konsumsi bahan bakar
20% lebih irit ketimbang mobil berbahan bakar bensin. Jika kecepatan 80 km per jam, konsumsi
bahan bakar 50% lebih irit. Duduk perkaranya? Pembakaran makin efisien karena etanol lebih
cepat terbakar ketimbang bensin murni. Pantas semakin banyak campuran bioetanol, proses
pembakaran kian singkat. Pembakaran sempurna itu gara-gara bilangan oktan bioetanol lebih
tinggi daripada bensin. Nilai oktan bensin cuma 87-88; bioetanol 117. Bila kedua bahan itu
bercampur, meningkatkan nilai oktan. Contoh penambahan 3% bioetanol mendongkrak nilai
oktan 0,87. ‘Kadar 5% etanol meningkatkan 92 oktan menjadi 94 oktan,’ ujar Sungkono,
alumnus University of New South Wales Sydney. Makin tinggi bilangan oktan, bahan bakar
makin tahan untuk tidak terbakar sendiri sehingga menghasilkan kestabilan proses pembakaran
untuk memperoleh daya yang lebih stabil. Campuran bioetanol 3% saja, mampu menurunkan
emisi karbonmonoksida menjadi hanya 1,35%. Bandingkan bila kendaraan memanfaatkan
premium, emisi senyawa karsinogenik alias penyebab kanker itu 4,51%. Nah, ketika kadar
bioetanol ditingkatkan, emisi itu makin turun. Program langit biru yang dicanangkan pemerintah
pun lebih mudah diwujudkan. Dampaknya, masyarakat kian sehat. Saat ini campuran bioetanol
dalam premium untuk mobil konvensional maksimal 10% atau E10. Bahkan di Brasil, mobil
konvensional menggunakan E20 alias campuran bioetanol 20% tanpa memodifikasi mesin.
Penggunaan E100 atau E80 pada mobil konvensional tanpa modifikasi mesin tidak disarankan
karena khawatir merusak mesin. Namun, kini muncul flexi car alias kendaraan fleksibel yang
dapat menggunakan bioetanol hingga 100% atau premium 100% pada waktu yang lain. Di
Amerika Serikat saat ini terdapat 5-juta flexi car dengan penambahan 1- juta kendaraan per
tahun.
Berebut bahan
Meski banyak keistimewaan, bisnis bioetanol bukannya tanpa hambatan. Salah satu aral
penghadang bisnis itu adalah terbatasnya pasokan bahan baku. Saat ini sebagian besar produsen
mengandalkan molase sebagai bahan baku. Padahal, limbah pengolahan gula itu juga dibutuhkan
industri lain seperti pabrik kecap dan penyedap rasa. Bahkan, sebagian lagi di antaranya
diekspor. Indra Winarno mengatakan molase menjadi emas hitam belakangan ini. Dampaknya,
hukum ekonomi pun bicara. Begitu banyak permintaan, harga beli bahan baku pun membubung
sehingga margin produsen bioetanol menyusut. Beberapa produsen melirik singkong sebagai
alternatif. Banyak yang membenamkan investasi di Lampung karena provinsi itu penghasil
singkong terbesar di tanahair. Kehadiran mereka ternyata mendongkrak harga ubikayu di sana.
‘Dulu harganya di bawah Rp300 per kg. Sekarang lebih dari Rp400,’ ujar Donny Winarno, vice
president PT Molindo Raya Industrial. Kenaikan harga itu berkah bagi para pekebun. Di sisi lain
menyulitkan para produsen. ‘Saya berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan yang juga
melindungi produsen,’ ujar alumnus University of California itu. Jika hambatan teratasi,
produsen silakan meraup rupiah dari tetesan bioetanol. Soalnya, pasar bioetanol-sebagai bahan
bakar-memang sangat besar karena populasi kendaraan bermotor meningkat. Menurut Gabungan
Industri Kendaraan Bermotor Indonesia, penjualan mobil meningkat rata-rata 53.400 unit per
tahun. Pemilik mobil tak perlu memodifikasi mesin untuk menggunakan campuran bioetanol.
Pasar itu kian luas dan membaik ketika subsidi bahan bakar yang nilainya Rp1.681,25 per liter
itu dicabut. Dengan kebutuhan 17-miliar liter, pemerintah menggelontorkan dana Rp28,6-triliun
per tahun. Terlepas dari urusan bahan bakar, peluang pasar bioetanol tetap besar. Itu lantaran
banyak industri yang memerlukannya. Sekadar menyebut contoh, industri bumbu masak, bedak,
cat, farmasi, minuman berkarbonasi, obat batuk, pasta gigi dan kumur, parfum, serta rokok
memerlukannya. Bahkan industri tinta pun perlu bioetanol. Produk itu berfaedah sebagai pelarut,
bahan pembuatan cuka, dan asetaldehida. Menurut Ir Agus Purnomo, ketua Asosiasi Spiritus dan
Etanol Indonesia (Asendo), kebutuhan etanol untuk industri rata-rata 140-juta liter per tahun.
Investasi marak
Dengan segala kelebihan di atas, penggunaan bioetanol agaknya kian mendesak. Bukan hanya
karena industri itu menjadi lokomotif pengembangan ekonomi dan menciptakan lapangan
pekerjaan. Namun, juga lantaran harga minyak bumi yang diperkirakan melambung hingga
US$100 per barel (1 barel = 117,35 liter) pada tahun mendatang. Itulah sebabnya, Johan Bukit
produsen bioetanol memperkirakan, ‘Siapa pun presiden terpilih, pada 2009 sulit
mempertahankan subsidi bahan bakar.’ Kondisi itu mendorong banyak investor membenamkan
modal untuk membangun kilang hijau alias energi terbarukan. Johan Arnold Manonutu,
misalnya, menjalin kemitraan dengan masyarakat Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Anak
tunggal mantan Menteri Penerangan zaman Bung Karno itu menggelontorkan dana jutaan rupiah
untuk membeli 5 unit mesin produksi bioetanol berkapasitas masing-masing 200 l/hari. Mesinmesin
itu ‘dipinjamkan’ kepada warga Desa Menara, Kecamatan Amurang Timur, Kabupaten
Minahasa Selatan. Satu unit mesin dikelola 3 orang. Johan menampung hasil produksi mereka
yang mencapai 1.000 liter sehari, dengan harga Rp6.000 per liter. ‘Harga itu jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan harga cap tikus yang hanya Rp300 per liter,’ ujarnya. Cap tikus yang ia
maksud adalah sulingan nira aren berkadar etanol 35% yang lazim digunakan untuk bahan
minuman keras. Johan memasarkan etanol itu ke beberapa rumahsakit untuk sterilisasi. Dengan
harga jual Rp16.000-Rp17.000 per liter, omzetnya Rp16-juta-Rp17-juta per hari. Edy Darmawan
dari PT Indo Acidatama berencana membangun pabrik pengolahan berkapasitas 50-juta liter per
tahun di Lampung. Begitu juga Sugar Group Company (SGC), pemilik 3 pabrik gula raksasa
yang mendirikan pabrik berkapasitas sama di Lampung Tengah. Mereka mengendus peluang
besar dengan membangun kilang hijau yang ramah lingkungan. Pangsa pasar terbentang luas,
harga memadai, bahkan dapat digunakan untuk keperluan sendiri. Itulah bioetanol, ‘bensin’ dari
tetumbuhan. Ingin membangun kilang di halaman rumah agar mencecap manisnya berbisnis
bioetanol? (Sardi Duryatmo/Peliput: Andretha Helmina, Imam Wiguna, Lani Marliani, & Nesia
Artdiyasa)
Sumber: Trubus Majalah Pertanian Indonesia : http://www.trubus-online.com Online version:
http://www.trubusonline.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=80
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar