Kamis, 22 Juli 2010

Bagaimana Rasulullah sholat Tarawih/Lail

Menghidupkan malam-malam bulan Ramadlan dengan berbagai macam ibadah adalah
perkara yang sangat dianjurkan. Diantaranya adalah shalat tarawih. Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam pernah mengerjakannya di masjid dan diikuti para
shahabat beliau di belakang beliau. Tatkala sudah terlalu banyak orang yang mengikuti
shalat tersebut di belakang beliau, beliau masuk ke rumahnya dan tidak
mengerjakannya di masjid. Hal tersebut beliau lakukan karena khawatir shalat tarawih
diwajibkan atas mereka karena pada masa itu wahyu masih turun.
Diterangkan dalam hadits Abu Hurairah radliyallahu `anhu, beliau berkata: Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam selalu memberi semangat untuk menghidupkan
(shalat/ibadah) bulan Ramadlan tanpa mewajibkannya. Beliau shallallahu `alaihi wa
sallam bersabda: "Barangsiapa menghidupkan bulan Ramadlan dengan keimanan dan
mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lewat." Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam wafat dalam keadaan meninggalkan shalat tarawih
berjamaah. Hal ini berlangsung sampai kekhilafahan Abu Bakr serta pada awal
kehilafahan Umar radliyallahu `anhu." (HR. Bukhari 1/499, Muslim 2/177, Malik
1/113/2, Abu Dawud 1371, An-Nasa'i 1/308, At-Tirmidzi 1/153, Ad-Darimi 2/26, Ibnu
Majah 1326, Ahmad 2/281, 289, 408, 423. Adapun lafadh hadits yang kedua adalah
tambahan pada riwayat Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Lihat Al-Irwa' juz 4 hal.
14)
Juga hadits `Amr bin Murah Al-Juhani, beliau berkata: "Seseorang dari Qadlafah
datang kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, kemudian berkata: `Wahai
Rasulullah! Bagaimana pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq
kecuali Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah, aku shalat yang lima, puasa di
bulan Ramadlan, menghidupkan Ramadlan dan membayar zakat?' Maka jawab
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: `Barangsiapa mati atas yang demikian, maka
dia termasuk orang-orang yang shidiq dan syahid." (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu
Hibban dalam Shahih keduanya dengan sanad yang shahih. Lihat tahqiq Syaikh Albani
terhadap Shahih Ibnu Khuzaimah 3/340/2262 dan Shahih At-Targhib 1/419/993)
Kedua hadits di atas menerangkan tentang keutamaan menghidupkan malam bulan
Ramadlan dengan berbagai ibadah di antaranya shalat tarawih berjamaah.
Sholat Tarawih Berjama'ah
Tidak diragukan lagi bahwa shalat tarawih dengan berjamaah pada bulan Ramadlan
sangat dianjurkan. Hal ini diketahui dengan beberapa hal berikut:
2
1. Penetapan Rasulullah tentang berjamaah padanya.
2. Perbuatan beliau shallallahu `alaihi wa sallam.
3. Keterangan beliau tentang fadlilah(keutamaan)nya.
Penetapan beliau tampak dalam hadits Tsa`labah bin Abi Malik Al-Quradli, dia berkata:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada suatu malam di bulan Ramadlan keluar
dan melihat sekelompok orang shalat di sebelah masjid. Beliau bertanya: "Apa yang
mereka lakukan?" Seseorang menjawab: "Wahai Rasulullah, mereka adalah orang yang
tidak bisa membaca Al-Qur'an, Ubay bin Ka'b membacakannya untuk mereka dan
bersama dialah mereka shalat". Maka beliau bersabda: "Mereka telah berbuat baik",
atau "Mereka telah berbuat benar dan hal itu tidak dibenci bagi mereka." (HR. Al-
Baihaqi 2/495 dan dia berkata: "Hadits ini mursal hasan." Syaikh Al-Albani berkata:
"Hadits ini telah diriwayatkan pula secara bersambung (maushul) dari jalan lain dari
Abi Hurairah radliyallahu `anhu dengan sanad la ba'sa bihi karena ada hadits-hadits
pendukungnya. Hadits ini disebutkan pula oleh Ibnu Nashr di dalam Qiyamul Lail hal.
90 dengan riwayat Abu Dawud 1/217 dan Al-Baihaqi).
Sedangkan perbuatan beliau dalam hal ini disebutkan dalam beberapa hadits, yaitu: Dari
Nu`man bin Basyir radliyallahu `anhu, ia berkata: "Kami berdiri (untuk shalat tarawih)
bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada malam ke 23 di bulan Ramadlan
sampai habis sepertiga malam pertama. Kemudian kami shalat bersama beliau pada
malam ke 25 sampai pertengahan malam. Kemudian beliau shalat bersama kami malam
ke 27 sampai kami menyangka bahwa kami tidak mendapatkan al-falah (makan sahur)
sampai kami menyeru untuk sahur." (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf
2/40/2, Ibnu Nashr 89, An-Nasai 1/238, Ahmad 4/272, Al-Firyabi dalam Ar-Rabi` wal
Khamis min Kitabis Shiyam 1/440 dan berkata: "Pada hadits ini ada dalil yang jelas
bahwa shalat tarawih di masjid-masjid kaum muslimin termasuk sunnah dan Ali bin
Abi Thalib selalu menganjurkan Umar radliyallahu `anhu untuk mendirikan sunnah ini
sampai beliau pun mendirikannya.")
Juga hadits dari Anas radliyallahu `anhu, dia berkata:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melaksanakan shalat di bulan Ramadlan. Aku
datang dan berdiri di sampingnya. Kemudian datang yang lain dan yang lain sampai
berjumlah lebih dari tiga orang. Tatkala Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam merasa
bahwa aku ada di belakangnya, beliau meringankan (bacaan) shalat, kemudian masuk
ke rumah beliau. Sesudah masuk ke rumahnya, beliau shalat di sana dan tidak shalat
bersama kami. Keesokan harinya kami bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah engkau
tadi malam mengajari kami (perkara dien)?" Maka beliau pun menjawab: "Ya, dan
itulah yang menyebabkan aku berbuat." (HR. Ahmad 3/199, 212, 291 dan Ibnu Nashr
dengan dua sanad yang shahih serta At-Thabrani dalam Al-Ausath, semisalnya
sebagaimana di dalam Al-Jami' 3/173).
Juga hadits dari Aisyah radliyallahu `anha, beliau berkata: "Manusia shalat di masjid
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan Ramadlan dengan berkelompok3
kelompok. Seseorang yang mempunyai sedikit dari (ayat) Al-Qur'an bersama lima atau
enam orang atau kurang atau lebih daripada itu. Mereka shalat bersama seorang tadi.
Lalu Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan pada malam itu untuk
meletakkan tikar di (depan) pintu kamarku. Aku pun melaksanakannya. Kemudian
Rasulullah keluar kepadanya sesudah shalat Isya yang akhir. Lalu berkumpullah
manusia yang ada di masjid dan Rasulullah shalat bersama mereka sampai larut malam.
Rasulullah kemudian pergi dan masuk (rumah) dengan meninggalkan tikar begitu saja
(pada keadaan awal). Pada pagi harinya, manusia memperbincangkan shalat Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam bersama orang-orang yang ada di masjid pada malam itu.
Maka jadilah masjid penuh dengan manusia. Lantas Rasulullah keluar (ke masjid) pada
malam yang kedua dan mereka pun shalat bersama beliau. Jadilah manusia
memperbincangkan hal itu. Setelah itu bertambah banyaklah yang menghadiri masjid
(sampai penuh sesak dengan penghuninya). Pada malam yang ketiga beliaupun keluar
dan manusia shalat bersama beliau. Lalu tatkala malam yang keempat masjid hampir
tidak cukup. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya' yang akhir
bersama mereka lantas masuk masuk ke rumah beliau, sedang manusia tetap (di
masjid). Rasulullah berkata kepadaku: "Wahai Aisyah, bagaimana keadaan manusia?"
Aku katakan: "Wahai Rasulullah, manusia mendengar tentang shalatmu bersama orang
yang ada di masjid tadi malam, maka mereka berkumpul untuk itu dan meminta agar
engkau shalat bersama mereka." Maka beliau berkata: "Lipat tikarmu, wahai Aisyah!"
Aku pun melaksanakannya. Rasulullah bermalam (di rumahnya) dan tidak dalam
keadaan lalai sedangkan manusia tetap pada tempat mereka. Mulailah beberapa orang
dari mereka mengucapkan kata "shalat!" sampai Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam keluar untuk shalat subuh. Tatkala selesai shalat fajar, beliau menghadap kepada
manusia dan bertasyahud (mengucapkan syahadat dalam khutbatul hajah), lalu
bersabda: "Amma ba`du, wahai manusia, demi Allah, Alhamdulillah tidaklah aku tadi
malam dalam keadaan lalai dan tidaklah keadaan kalian tersamarkan bagiku. Akan
tetapi aku khawatir akan diwajibkan atas kalian (dalam riwayat lain: Akan tetapi aku
khawatir shalat lail diwajibkan atas kalian) kemudian kalian lemah (untuk
melaksanakannya), maka berarti kalian dibebani amal-amal yang kalian tidak mampu.
Sesungguhnya Allah tidak bosan sampai kalian bosan." Pada riwayat lain ada
tambahan, Az-Zuhri berkata: "Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat,
keadaannya demikian. Hal ini berlangsung sampai masa khilafah Abu Bakar dan pada
awal khilafah Umar." (HR. Bukhari 3/8-10, 4/203,205, Muslim 2/177-178-188-189,
Abu Daud 1/217, An-Nasai 1/237 dan lain-lain).
Al-Hafidh Ibnu Hajar mengomentari ucapan Az-Zuhri "keadaannya demikian",
maksudnya dalam keadaan shalat tarawih berjamaah ditinggalkan.
Sedangkan Syaikh Albani menyatakan: "Lebih tepat dikatakan bahwa maksudnya shalat
tarawih dikerjakan dengan berkelompok-kelompok."
Syaikh Albani mengatakan: "Hadits ini menerangkan dengan sangat jelas tentang
disyariatkannya shalat tarawih berjama'ah, karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa
4
sallam terus menerus melakukannya pada malam-malam tersebut. Dalam hadits ini
disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam meninggalkannya pada
malam yang keempat (yaitu shalat tarawih berjamaah) karena khawatir akan diwajibkan
atas mereka dengan ucapan beliau: Aku khawatir (ini) diwajibkan atas kalian. Tidak
diragukan lagi bahwa kekhawatiran Rasulullah hilang dengan wafatnya beliau sesudah
Allah menyempurnakan syariat-Nya. Dengan ini hilanglah sebab meninggalkan jamaah
dan kembali pada hukum sebelumnya yaitu disyariatkannya jamaah. Oleh karena itu
Umar radliyallahu `anhu menghidupkkannya kembali."
Hadits dari Hudzaifah bin Al-Yaman radliyallahu `anhu, ia berkata: Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam mendirikan shalat pada suatu malam di bulan Ramadlan di
kamar (yang terbuat) dari pelepah kurma. Kemudian dituangkan baginya sewadah air.
Kemudian beliau berkata: "Allahu Akbar (tiga kali) Dzul malakut wal jabarut wal
kibriya' wal `adhamah", kemudian membaca surat Al-Baqarah. Lalu beliau ruku' dan
ruku'nya semisal lama berdirinya dan membaca pada ruku'nya: Subhana rabbiyal
`adhim, Subhana rabbiyal `adhim. Kemudian beliau mengangkat kepala dari ruku' dan
lamanya berdiri seperti ruku'nya dan mengucapkan: "Rabiyal hamdu". Kemudian sujud
dan lama sujudnya seperti berdirinya (yakni berdiri setelah ruku') dan mengucapkan
dalam sujudnya "Subhana rabbiyal a`la". Kemudian mengangkat kepalanya dari sujud
dan membaca di antara dua sujud rabbighfirli dan duduk selama waktu sujudnya.
Kemudian sujud lagi dan membaca "Subhana rabiyal a`la". Beliau shalat empat rakaat
dan di dalamnya membaca surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa, Al-Maidah dan Al-
An`am sampai datang adzan untuk shalat (fajar)." (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/90/2, Ibnu
Nashr hal. 89-90, An-Nasai 1/246, Ahmad 5/400, Ibnu Majah 1/291, Al-Hakim 1/271,
Abu Dawud 1/139-140, At-Thahawi dalam Al-Misykah 1/308, At-Thayalisi 1/115, Al-
Baihaqi 2/121-122, Ahmad 5/398, Muslim 2/186 dan lain-lain).
Adapun keterangan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang keutamaan shalat
tarawih berjamaah terdapat pada hadits Abu Dzar radliyallahu `anhu, beliau berkata:
Kami berpuasa (Ramadlan), Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak shalat
bersama kami sampai tersisa tujuh hari bulan Ramadlan. Beliau berdiri (untuk shalat)
sampai sepertiga malam. Beliau tidak berdiri (shalat) bersama kami pada sisa malam
keenam dan berdiri bersama kami pada sisa malam kelima sampai setengah malam.
Kami bertanya: "Wahai Rasulullah, seandainya engkau shalat sunnah bersama kami
pada sisa malam ini." Beliau menjawab: "Barangsiapa berdiri (untuk shalat tarawih)
bersama imam sampai dia (imam) berpaling, maka dituliskan baginya shalat sepanjang
malam." Kemudian beliau tidak shalat bersama kami sampai tinggal tersisa tiga malam
Ramadlan. Beliau shalat bersama kami pada sisa malam yang ketiga dan beliau
memanggil keluarga dan istrinya. Beliau shalat bersama kami sampai kami
mengkhawatirkan falah. Abu Dzar radliyallahu `anhu ditanya :"Apa falah itu?" Beliau
menjawab: "(Falah adalah) Sahur." (HR Ibnu Abi Syaibah 2190/2, Abu Daud 1/217, At-
Tirmidzi 2/72-73 dan dishahihkannya, An-Nasai 1/237, Ibnu Majah 11/397, Ath-
Thahawi dalam Syarhu Ma`anil Atsar 1/206, Ibnu Nashr hal 79, Al-Firyabi 71/1-82/2
dan Al-Baihaqi dan sanadnya shahih sebagaimana ungkapan syaikh Al-Albani.)
5
Ucapan beliau shallallahu `alaihi wa sallam "Barang siapa shalat bersama imam..." jelas
menunujukkan tentang keutamaan shalat tarawih di bulan Ramadlan bersama imam.
Hal ini dikuatkan oleh Abu Dawud di dalam Al-Masa'il hal. 62, beliau berkata: "Aku
mendengar Ahmad ditanya: "Mana yang lebih engkau sukai, seorang yang shalat
bersama manusia (berjamaah) atau yang sendirian?" Beliau menjawab: "Shalat seorang
bersama manusia. Aku juga mendengar beliau berkata: "Aku kagum terhadap seseorang
yang shalat tarawih dan witir bersama imam. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam
bersabda: "Sesungguhnya seseorang yang shalat (tarawih) bersama imam sampai
selesai, Allah akan menuliskan baginya sisa malamnya." Yang semisal ini juga
dinyatakan oleh Ibnu Nashr hal. 91 dari Ahmad. Kemudian Abu Dawud berkata:
"Seseorang berkata kepada Ahmad: "Saya mendengar shalat tarawih diakhirkan sampai
akhir malam?" Beliau menjawab: "Tidak, sunnah kaum muslimin lebih aku sukai."
Menurut Syaikh Al-Albani maksudnya adalah berjamaah shalat tarawih dengan
bersegera ( di awal waktu) itu lebih utama daripada sendirian, walaupun diakhirkan
sampai akhir malam. Shalat pada akhir malam memiliki keutamaan khusus. Berjamaah
lebih afdlal karena Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakannya bersama manusia
di masjid pada beberapa malam sebagaimana pada hadits Aisyah di depan. Oleh karena
itu kaum muslimin melaksanakannya (secara berjamaah) pada jaman Umar radliyallahu
`anhu sampai sekarang." (Shalatut Tarawih hal. 15)
Jamaah Shalat Tarawih Bagi Wanita
Disyariatkan bagi wanita untuk menghadiri shalat tarawih di masjid dengan dalil hadits
Abu Dzar radliyallahu `anhu di atas yang berbunyi "Beliau (Rasulullah) memanggil
keluarganya dan para istrinya." Bahkan boleh disiapkan bagi mereka imam khusus
selain untuk jamaah laki-laki. Umar radliyallahu `anhu tatkala mengumpulkan manusia
untuk berjamaah, menjadikan imam bagi laki-laki Ubai bin Ka'ab dan bagi wanita
Sulaiman
bin Abi Khatsmah.
Juga hadits `Arfajah Ats-Tsaqafi, ia berkata: "Ali bin Abi Thalib radliyallahu `anhu
selaalu memerintahkan manusia untuk shalat pada bulan Ramadlan. Beliau menjadikan
seorang imam bagi laki-laki dan seorang imam bagi perempuan. Aku (`Arfajah) ketika
itu sebagai imam perempuan."
Kedua riwayat di atas diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 2/494. Abdurrazaq meriwayatkan
hadits pertama dalam Al-Mushannaf 4/258/8722. Dikeluarkan juga oleh Ibnu Nashr
dalam Qiyamur Ramadlan hal. 93. Kemudian berargumentasi seperti di atas pada hal.
95. Hal diterangkan secara jelas oleh Syaikh Al-Albani dalam Qiyamur Ramadlan hal.
21-22.
Syaikh Al-Albani menambahkan: "Menurutku, keadaan ini dimungkinkan bila
6
masjidnya luas agar manusia tidak saling terganggu."
Jumlah Rakaatnya
Di atas telah dijelaskan tentang disyariatkannya shalat tarawih berjamaah karena adanya
penetapan, perbuatan dan anjuran Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Sekarang berapa
sebenarnya jumlah rakat yang rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam laksanakan.
Dalam masalah ini ada dua hadits yang menerangkan:
1. Dari Abi Salamah bin Abdurrahman bahwa beliau bertanya kepada Aisyah
radliyallahu `anha: "Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan
Ramadlan?" Beliau menjawab: "Tidaklah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
menambah (rakaat shalat) di bulan Ramadlan dan tidak pula pada bulan selainnya
melebhi sebelas raka'at. Beliau shalat empat raka'at dan jangan ditanya betapa bagus
dan panjangnya, lalu beliau shalat tiga raka'at." (HR Bukhari 2/25, 4/205. Muslim 2/16
Abu Uwamah 2/327 Al-Baihaqi 2/495 - 496 dan Ahmad 6/36, 37, 104)
2. Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu `anhu berkata: "Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam shalat bersama kami pada bulan Ramadlan delapan raka'at dan beliau berwitir.
Tatkala malam berikutnya kami berkumpul di Masjid dan berharap beliau keluar (ke
masjid). Ternyata beliau tidak kunjung datang sampai pagi. Kemudian kami masuk dan
mengatakan: "Wahai Rasulullah kami tadi malam berkumpul di masjid dan kami
mengharap engkau shalat bersama kami." Maka beliau berkata: "Sesungguhnya aku
khawatir akan diwajibkan atas kalian."
Di dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, Muslim dan lain-lain yang menyebutkan bahwa
shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada bulan Ramadlan dan selainnya di
malam hari adalah 13 raka'at, termasuk darinya dua rakaat fajar. Akan tetapi ada hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Malik 1/142 dan Bukhari 3/35 dan lain-lain dari Aisyah
radliyallahu `anha, beliau berkata: "Rasulullah biasa shalat di malam hari 13 raka'at."
Kemudian beliau shalat dua rakaat ringan (pendek) apabila mendengar adzan subuh.
Al-Hafidh mengkompromikan riwayat ( 13 rakaat) ini dengan riwayat sebelumnya (11
rakaat), beliau mengatakan: "Dhahir hadits ini menyelisihi yang telah lewat, maka
dimungkinan bahwa (kelebihan) dua rakaat (pada yang 13 rakaat) tadi adalah sunnah
ba`da Isya'. Hal itu karena memang shalat ini dilaksanakan di rumah atau sebagai
pembuka shalat malam, karena telah tsabit (tetap) dalam riwayat Muslim bahwa
Rasulullah membuka shalat lail dengan dua rakaat yang ringan/pendek."
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Inilah yang rajih menurutku, karena riwayat Abi
Salamah menunjukkan kekhususan/pengharusan pada 11 rakaat, yaitu 4 rakaat, 4 rakaat
kemudian 2 rakaat. Hal ini menunjukkan tidak bertentangan dengan riwayat 2 rakaat
yang ringkas."
7
Kedlaifan Hadits 20 Rakaat
Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata setelah menjelaskan hadits Aisyah di atas (Al-Fath
4/205-206): "Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu Abbas
radliyallahu `anhuma bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat di bulan
Ramadlan 20 rakaat dan witir, sanadnya dla`if, bertentangan dengan hadits Aisyah
radliyallahu `anha yang terdapat dalam Shahihain. Aisyah adalah orang yang paling
tahu tentang keadaan nabi shallallahu `alaihi wa sallam di malam hari atau selainnya."
Pernyataan ini semakna dengan pernyataan Al-Hafidh Az-Zaila`i di dalam Nashbur
Rayah 2/153.
Syaikh Al-Albani menegaskan: "Hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma ini sangat
dlaif sebagaimana yang dinyatakan oleh As-Suyuthi di dalam Al-Hawi lil Fatwa 2/73
dengan alasan bahwa pada sanadnya ada Abu Syaibah Ibrahim Ibnu Utsman. Al-Hafidh
berkata di dalam At-Taqrib: Dia matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan) dan telah
kucari sumber-sumbernya tetapi aku tidak menemukan kecuali dari jalannya. Ibnu Abi
Syaibah mengeluarkannya di dalam Al-Mushanaf 2/90/2, Abdu bin Humaid di dalam
Al-Muntakhab minal Musnad 43/1-2, At-Thabrani di dalam Mu'jamul Kabir 3/148/2
dan di dalam Al-Ausath sebagaimana di dalam Al-Muntaqa karya Adz-Dzahabi 2/3 dan
dalam Al-Jam'i Bainahu wa Baina Shaghir 1/219, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 1/2, Al-
Khatib dalam Al-Maudlih 1/219 dan Al-Baihaqi dalam Sunannya 2/469 semuanya dari
jalan Ibrahim tersebut dari Al-Hakam dari Muqsim dari Ibnu Abbas secara marfu'. At-
Thabrani berkata: "Atsar ini tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas kecuali dengan sanad
ini". Al-Baihaqi berkata: "Abu Syaibah infirad (bersendirian dalam meriwayatkan) dan
dia dlaif. Demikian juga yang dikatakan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma` 3/172:
"Dia dlaif, pada hakekatnya dia dlaif sekali sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh
ucapan Al-Hafidh di depan bahwa "dia matruk". Inilah yang benar. Ibnu Main berkata:
"Dia tidak tsiqah" Al-Jauzajani berkata: "Dia saqith (gugur riwayatnya), Syaibah
mendustakan kisah darinya". Al-Bukhari berkata: "Ahli hadits mendlaifkannya."
Al-Hafidh Ibnu Katsir menyebutkan di dalam Ikhtishar Ulumul Hadits hal. 118 bahwa
orang yang dikatakan oleh Al-Bukhari bahwa ahli hadits mendiamkannya adalah derajat
bagi orang tersebut yang paling rendah. Oleh karena itu aku berpendapat bahwa
haditsnya dalam hal ini maudlu`, karena bertentangan dengan hadits Aisyah dan Jabir
yang telah lewat dari dua hafidh yaitu Az-Zaila'i dan Al-Asqalani. Al-Hafidh Adz-
Dzahabi memasukannya di dalam Manakirnya (riwayat-riwayat yang munkar). Al-
Faqih Ibnu Hajar Al-Haitami berkata dalam Al-Fatawa Al-Kubra 1/195 setelah
menyebutkan hadits tersebut: "Hadits ini sangat dlaif. Ucapan para ulama sangat keras
terhadap salah satu rawinya dengan jarh dan celaan. Termasuk darinya (kritik dan
celaan) bahwa dia meriwayatkan riwayat-riwayat maudlu' seperti hadits "Tidaklah umat
hancur binasa kecuali pada bulan Maret" dan "Tidaklah kiamat terjadi kecuali pada
bulan Maret" dan haditsnya tentang shalat tarawih termasuk dari riwayat-riwayatnya
yang munkar. As-Subki telah menegaskan bahwa syarat beramal dengan hadits dlaif
adalah jika dlaifnya tidak terlalu. Adz-Dzahabi berkata: "Barangsiapa diambil
riwayatnya secara dusta oleh Asy-Syaibah, maka haditsya jangan ditoleh."
8
Syaikh Al-Albani berkata: "Apa yang dinukilkan oleh As-Subki dari Al-Haitami
sebagai isyarat halus bahwasanya dia tidak berpendapat beramal dengan 20 rakaat,
maka pikirkanlah!"
Kemudian As-Suyuthi setelah menyebutkan hadits Jabir dari riwayat Ibnu Hibban
berkata: "Maka kesimpulannya bahwa 20 rakaat tidak tsabit amalannya dari Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam. Apa yang ada pada Shahih Ibnu Hibban adalah sebagai
puncak madzhab kami dan kami memegang erat apa yang ada pada riwayat Bukhari
dari Aisyah radliyallahu `anha bahwasanya Rasulullah tidak menambah dalam
Ramadlan dan selainnya atas sebelas rakaat. Hal ini sesuai dari sisi bahwasanya
Rasulullah shalat tarawih 8 rakaat kemudian witir 3 rakaat. Maka jumlahnya 11 rakaat.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila mengamalkan suatu amal beliau akan
melanggengkannya. Sebagaimana kelanggengannya pada dua rakaat yang beliau qadla'
setelah ashar. Padahal shalat pada waktu itu terlarang. Kalau beliau melaksanakan 20
rakaat walaupun satu kali saja, niscaya beliau tidak akan meninggalkannya selamanya.
Kalau hal yang demikian terjadi maka hal itu tidak akan tersamar bagi Aisyah sehingga
beliau mengucapkan seperti di atas."
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Di dalam ucapannya ada isyarat yang kuat tentang
pilihan beliau terhadap sebelas rakaat dan membuang 20 rakaat yang tersebut di dalam
hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma karena sangat dlaif. Pencukupan Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam terhadap 11 rakaat menunjukkan tidak bolehnya
menambah jumlah rakaatnya. Di atas sudah dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam terus menerus menjalankan shalat tarawih di bulan Ramadlan atau
selainnya sebanyak 11 rakaat. Hal ini terus berlangsung selama hidup beliau dan beliau
tidak menambahnya. Oleh karena itu marilah kita perhatikan pada sunnah-sunnah
rawatib, shalat istisqa', khusyuf dan lain-lain. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam juga
terus menerus menjalankannya dengan jumlah tertentu. Hal ini menunjukkan tidak
bolehnya menambah rakaatnya sebagaimana yang diterima oleh para ulama. Maka
demikian juga shalat tarawih tidak boleh ditambah karena ada persamaan dengan
shalat-shalat yang telah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus
menerus melakukannya dengan tidak menambahnya. Maka barangsiapa menganggap
bahwa ada perbedaan dalam hal shalat tarawih, dia wajib membawakan dalil.
Shalat tarawih bukanlah shalat-shalat sunnah yang mutlak sehingga seorang yang shalat
boleh memilih bilangan mana yang ia suka. Shalat tarawih adalah sunnah muakkadah
yang menyerupai shalat-shalat fardlu dari segi disyariatkan jamaah padanya
sebagaimana yang dinyatakan oleh madzhab Syafi'i. Maka dari segi ini lebih pantas
untuk tidak ditambah."
Imam Ibnu Khuzaimah setelah menyebutkan hadits-hadits shahih tentang jumlah rakaat
shalat lail dari sembilan sampai sebelas rakaat, beliau berkata di dalam Shahihnya
2/1947: "Ikhtilaf ini dibolehkan, boleh bagi seseorang untuk shalat berjamaah pada
9
rakaat yang dia sukai. Sebagaimana yang teriwayatkan dari Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu `alaihi wa sallam shalat dengan bilanganbilangan
tersebut dan sesuai dengan sifat shalat yang dilaksanakan Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam. Tidak dilarang bagi seseorang sesuatu apapun."
Ucapan ini dikomentari oleh Syaikh Al-Albani di dalam Tamamul Minnah hal. 225-
226: "Ucapannya yang berbunyi `sebagaimana yang teriwayatkan dari Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam...' jelas menunjukkan bahwa tidak boleh menambah atas
apa yang telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Dan di antara
penguat apa yang telah beliau nyatakan adalah pernyataan beliau pada kitab Shahihnya
3/341 dalam masalah shalat tarawih tentang penyebutan bab Shalat Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam di Malam Bulan Ramadlan dan dalil tentang tidak mungkin ditambah
pada bulan Ramadlan atas jumlah rakaat yang dilakukan Rasulullah di luar bulan
Ramadlan." Kemudian beliau membawakan hadits Aisyah dengan dua lafadh, di
antaranya: "Shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13 rakaat, di
antaranya dua rakaat fajar."
Umar Menghidupkan Sunnah Shalat Tarawih Berjamaah dan Perintah Beliau
Sebanyak 11 Rakaat
Telah diterangkan bahwasanya manusia setelah wafatnya Rasulullah mereka terus
menerus melaksanakan shalat tarawih di masjid dengan berkelompok-kelompok di
belakang beberapa imam, yang demikian terjadi pada khilafah Abu Bakar dan awal
khilafah Umar radliyallahu `anhu. Kemudian Umar mengumpulkan mereka di belakang
satu imam. Abdurrahman bin Abdul Qari' berkata: Aku keluar ke masjid bersama Umar
bin Khattab pada malam bulan Ramadlan, maka tiba-tiba manusia berkelompok. Ada
yang shalat sendiri, ada yang shalat bersama beberapa orang. Maka beliau berkata:
"Sesungguhnya aku berpendapat kalau aku mengumpulkan mereka pada satu imam
niscaya lebih baik." Kemudian beliau bertekad keras dan mengumpulkan mereka
kepada Ubai bin Ka'ab. Kemudian aku (Abdurrahman) keluar bersama beliau pada
malam yang lain, sedang manusia shalat bersama satu imam. Maka Umar berkata:
"Sebaik-baik bid`ah adalah ini dan orang yang tidur lebih utama daripada orang-orang
yang shalat karena menginginkan akhir malam sedangkan manusia shalat pada awal
malam." (HR. Malik dalam Al-Muwatha' 1/136-137, Al-Bukhari 4/203, Al-Firyabi
2/73, 74/2-1, Ibnu Abi Syaibah 2/91/1.
Orang sekarang berdalil dengan ucapan Umar "Sebaik-baik bid`ah adalah ini" atas dua
perkara:
1. Bahwasanya shalat tarawih berjamaah adalah bid'ah, tidak ada pada jaman Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam. Ucapan ini jelas-jelas batil dengan adanya hadits-hadits
yang telah lewat.
2. Adanya bid`ah yang dipuji (bid'ah hasanah) dan mereka mengkhususkan keumuman
sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang berbunyi "Setiap bid'ah itu sesat'
dan yang semisalnya. Hal ini juga batil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan hal ini dalam Al-Iqtidla' 2/591: "Ketika
10
jaman khilafah Umar radliyallahu `anhu beliau mengumpulkan manusia pada satu imam
dan menerangi masjid. Maka jadilah dalam keadaan yang demikian --yakni jamaah di
masjid dalam keadaan terang atas satu imam-- suatu amalan yang sebelumnya tidak
mereka laksanakan. Hal ini dinamakan bid'ah karena secara bahasa memang demikian
dan bukan bid'ah secara syariat. Sunnah menghendaki bahwasanya hal itu adalah amal
shalih kalaulah tidak karena khawatir diwajibkan. Sedangkan kekhawatiran sudah
hilang dengan wafatnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sehingga hilang
pulalah halangannya."
Beliau juga mengatakan dalam Majmu' Fatawa 31/36: "Hukum asal shalat tarawih
adalah sunnah dan perbuatan Umar radliyallahu `anhu dalam rangka menghidupkan
sunnah ini dimutlakan sebagai bid'ah secara bahasa, bukan syariat."
Jadi bid'ah di sini dilihat dari sisi bahasa bukan menurut syariat. Adapun menurut
syariat bid`ah berarti membuat-buat perkara baru dalam agama yang tidak ada
contohnya dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Lafadh atsar di atas "Orang-orang
tidur darinya lebih utama daripada..." dikomentari oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar sebagai
berikut: "Hal ini adalah keterangan yang jelas bahwa shalat tarawih di akhir malam
lebih afdlal daripada di awalnya. Akan tetapi shalat tarawih sendirian itu tidaklah lebih
utama daripada berjamaah."
Syaikh Al-Albani menambahkan: "Bahkan jamaah di awal waktu lebih utama daripada
shalat di akhir malam sendirian." (Shalat Tarawih hal. 42)
Tentang perintah Umar radliyallahu `anhu untuk shalat sebelas rakaat adalah
diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwaththa' 1/137 no. 248 dari Muhammad bin
Yusuf dari As-Saib bin Yazid, dia berkata: Umar memerintahkan Ubai bin Ka`ab dan
Tamim Ad-Dari agar shalat bersama manusia sebanyak 11 rakaat." Dia (perawi)
berkata: "Ada imam yang membaca 200 ayat sampai kami bersandar di atas tongkat
karena lamanya berdiri dan tidaklah kami selesai kecuali pada terbitnya fajar."
Syaikh Al-Albani berkata: "Sanadnya sangat shahih karena Muhammad bin Yusuf
yakni Syaikh (guru) Imam Malik adalah tsiqah secara sepakat dan Bukhari serta
Muslim berhujah dengannya. Sedangkan As-Saib adalah shahabat Nabi yang pernah
menunaikan haji bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam keadaan masih
kecil. Dari jalan Malik ini dikeluarkan oleh Abu Bakr An-Naisaburi di dalam Al-
Fawaid 1/135, Al-Firyabi (1/76-2/75) dan Al-Baihaqi di dalam Sunan Al-Kubra 1/496.
Dapat dilihat keterangan keshahihan atsar ini dalam kitab Shalatut Tarawih".
Sedangkan riwayat yang menerangkan bahwa Umar shalat dan menyuruh shalat tarawih
sebanyak 20 rakaat adalah tidak shahih. Atsar tentag hal ini diriwayatkan oleh
Abdurrazaq dari jalan lain dari Muhammad bin Yusuf. Lafadh ini (20 rakaat) memiliki
dua kesalahan:
1. Menyelisihi riwayat yang lebih tsiqah yakni 11 rakaat.
11
2. Abdurrazaq menyendiri (infirad) dalam meriwayatkan lafadh ini, walaupun riwayat
tersebut selamat di antara dia dan Muhammad bin Yusuf.
Maka `ilat (cacat)nya pada Abdurrazaq. Walaupun dia tsiqah, hafidh, pengarang yang
masyhur, akan tetapi di akhir umurnya beliau buta dan berubah hapalannya
sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh dalam At-Taqrib. Dia digolongkan para
perawi yang mukhtalith (bercampur hapalannya), yakni setelah akhir umurnya. (Lihat
Mukadimah Ulumil Hadits hal. 407)
Riwayat perawi seperti ini dapat diambil sebelum mukhtalith dan tidak boleh diambil
setelah bercampur hapalannya atau dalam keadaan yang sulit sehingga seorang perawi
tidak tahu apakah dia mengambil dari orang yang mukhtalith tadi sebelum atau sesudah
bercampur hapalannya (Mukadimah Ulumil Hadits hal. 391).
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Atsar ini termasuk jenis yang ketiga yakni tidak
diketahui apakah dia (Abdurrazaq) meriwayatkan sebelum atau sesudah bercampur
hapalannya. Riwayat semacam ini tidak diterima, walaupun diterima termasuk riwayat
yang syadz (asing) dan menyelisihi. Maka bagaimana mau diterima?! Begitu juga atsar
beliau yang menerangkan jumlah rakaatnya 23 didlaifkan oleh Imam Nawawi dalam
Al-Majmu' 4/33 dan beliau berkata: "Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, akan tetapi mursal
karena Yazin (perawi hadits) tidak bertemu dengan Umar. Juga didlaifkan oleh Al-`Aini
dengan beralasan bahwa sanadnya munqathi`. Imam Syafi'i dan Imam Tirmidzi juga
mendlaifkan atsar Umar yang berjumlah 20 rakaat. Beliau berdua dalam membawakan
atsar-atsar ini dengan lafadh (konteks) dengan sighat tamridl (bentuk yang mengandung
cacat), misalnya: ruwiya "diriwayatkan", ukhbira "diceritakan" atau "dikisahkan", dan
sebagainya. Lihat ucapan atau riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa Imam Syafi'i
mendlaifkannya dalam Mukhtashar karya Al-Muzani 1/107."
Adapun atsar dari shahabat selain Umar seperti Ali, Ubai bin Ka`ab, Abdullah bin
Mas`ud radliyallahu `anhum tentang 20 atau 23 rakaat semuanya dlaif. Lihat dalam
buku Shalat Tarawih. Hal tersebut diterangkan pada buku tersebut oleh para ulama.
Oleh karena itu tidak ada ijma' yang menyatakan 20 rakaat sebagaimana anggapan
sebagian orang bahwa para shahabat ijma' atas shalat tarawih 20 rakaat. Ijma' ini tidak
dianggap karena dibangun di atas kedlaifan. Sesuatu yang dibangun di atas kedlaifan
maka ia dlaif pula. Oleh karena itu Al-Mubarakafuri menegaskan di dalam At-Tuhfah
2/76 bahwa hal ini adalah ijma' penguat yang bathil.
Pengingkaran Ulama Terhadap Tambahan 11 Rakaat
Imam Suyuthi berkata di dalam Al-Mashabih fi Shalati Tarawih 2/77: "Dikatakan oleh
Al-Ajuri ---dari rekan-rekan kami-- bahwa Imam Malik menyatakan: Umar
mengumpulkan manusia atas 11 rakaat lebih aku sukai. Ia adalah shalat Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam."
Al-Imam Ibnul `Arabi di dalam Syarah Tirmidzi 4/19 setelah menjelaskan riwayat12
riwayat yang disumberkan dari Umar, beliau berkata: "Yang benar shalat tarawih Nabi
sebanyak 11 rakaat. Adapun selain jumlah ini, maka tidak ada asalnya dan nashnya.
Kalau mengharuskan adanya batasan, maka batasannya adalah shalat Nabi. Nabi tidak
menambah pada Ramadlan dan selainnya di atas 11 rakaat. Inilah shalat tarawih/shalat
lail, maka wajib meniru Nabi shallallahu `alaihi wa sallam."
Demikian juga yang ditegaskan oleh Imam As-Shan'ani dalam Subulus Salam
bahwasanya jumlah shalat tarawih 20 rakaat adalah bid'ah dan beliau berkata: "Tidak
ada bid'ah yang dipuji, bahkan semua bid'ah itu sesat." (Subulus Salam 1/11-12)
Dengan keterangan-keterangan di atas, maka wajib bagi kita memegang erat-erat
sunnah Rasul dan para shahabatnya, yaitu sebelas rakaat, tidak menambahnya.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya barangsiapa di antara
kalian yang hidup sesudahku, dia akan melihat banyak ikhtilaf. Maka wajib atas kalian
sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin (para shahabat). Peganglah erat-erat dan
gigitlah dengan gigi gerahammu dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru.
Sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid'ah, setiap bid'ah sesat dan setiap
kesesatan dalam neraka." (HR. Ahmad 4/126-127 Abu Daud 2/261 At-Tirmidzi 3/377-
378, Ibnu Majah 1/19-21 dan Al-Hakim 1/95-97).
Kalau memang tambahan di atas sebelas rakaat itu tsabit dari salah seorang khulafa'ur
rasyidin atau dari kalangan fuqaha' selain mereka, kami akan mengatakan tentang
bolehnya karena kita mengetahui keutamaan dan pemahaman fikih mereka serta
jauhnya mereka dari membuat bid'ah di dalam agama. Akan tetapi kalau tidak tsabit
maka kita hanya berpegang dengan yang tsabit dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam.
Kendati ada ikhtilaf ulama tentang jumlahnya yaitu ada yang mengatakan jumlahnya
42, 36, 34, 28, 24, 20, dan 11, maka sebaiknya kita kembalikan ikhtilaf ini kepada Allah
dan Rasul-Nya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Shalatlah
sebagaimana aku shalat." (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Kalau kita amati orang-orang yang shalat tarawih lebih dari 11 rakaat, mereka sering
meninggalkan rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban shalat seperti tuma'ninah,
lamanya berdiri, tartil dalam bacaan dan lain-lain. Oleh karena itu tidak selayaknya bagi
orang-orang yang tunduk meninggalkan sunnah ini dan memilih pendapat yang dlaif.
QUNUT DALAM SHALAT WITIR
Imam Malik berpendapat bahwa qunut witir dilaksanakan hanya pada pertengahan atau
setengah akhir bulan Ramadhan. Hal ini juga dinyatakan oleh Az-Zuhri, Imam Malik
dan Imam Ahmad dengan membawakan dalil riwayat Abu Dawud:
Umar Ibnul Khatab radliyallahu `anhu mengumpulkan (manusia) kepada Ubai bin
Ka`ab dan dia shalat bersama mereka pada malam ke 20. Dia tidak qunut kecuali pada
pertengahan akhir bulan Ramadlan. (HR. Abu Dawud dalam Sunannya 2/65)
13
Berikutnya adalah hadits Anas radliyallahu `anhu:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam qunut pada setengah akhir bulan Ramadlan ....
Akan tetapi dalil yang mereka bawakan ini dlaif dari beberapa sisi:
Pertama, pada sanad riwayat dari Umar ada inqitha' (putus sanad) yakni Al-Hasan dari
Umar, sedang Al-Hasan tidak bertemu Umar. Kedua, pada sanad riwayat dari Anas
yang meriwayatkan dari beliau adalah Abul Atikah. Dia dlaif sebagaimana kata Ibnul
Qayim Al-Jauziyahdi dalam Aunul Ma'bud: "Abu Atikah dlaif." Juga kata Al-Baihaqi:
"Tidak shahih sanadnya (lihat halaman ini pada rujuk Imam Malik dalam syarah Az-
Zarqani terhadap Al-Muwatha' 1/216 dan rujuk Imam Ahmad dalam Masail Ibnu Hani
1/100 no. 500. Demikian pula keterangan Syaikh Masyhur Hasan Salman dan beliau
berkata: "Benar, qunut witir pada pertengahan akhir Ramadlan mempunyai keadaan
yang khusus yang diterangkan oleh atsar yang terdapat dalam Shahih Ibnu Khuzaimah
2/155-156 dengan sanad yang shahih. Akan tetapi qunut witir tidak dikhususkan dan
terbatas pada waktu ini, tetapi ia syariatkan di seluruh tahun (Al-Qaulul Mubin hal 133-
134). Demikian juga yang dinyatakan oleh Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah 1/165 dan
lain-lain. Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkan pendapat di atas sebagai
kesalahan.
Mengenai tempat qunut, ada beberapa pendapat yaitu:
Pertama, sesudah ruku`, sebagaimana pendapat Imam As-Syafi'i dan Ahmad Kedua,
sebelum ruku` menurut pendapat Imam Malik Ketiga, boleh sesudah ruku` dan sebelum
ruku, menurut salah satu pendapat Imam Malik. (lihat Al-Istidzkar 6/201)
Dalam ikhtilaf semacam ini, maka kita kembalikan kepada nash yang shahih yaitu
hadits dari Ubai bin Ka`ab radliyallahu `anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi
wa sallam qunut pada rakaat witir dan meletakkannya sebelum ruku`." (HR. Ibnu Abi
Syaibah 12/41/1, Abu Dawud, An-Nasa'i di dalam Sunan Al-Kubra 218/1-2, Ahmad,
At-Thabrani, Al-Baihaqi dan Ibnu Asakir dengan sanad yang shahih. Demikian
penilaian Syaikh Albani).
Hadits shahih ini mendukung pendapat yang kedua.
Syaikh Masyhur berkata: "Qunut witir diletakkan sebelum ruku` sedangkan qunut
nazilah sesudah ruku`. Kecuali apabila terjadi nazilah (kegentingan) di kalangan kaum
muslimin sebagaimana pada atsar yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah (Al-Qaulul
Mubin hal. 134)
Kemudian tatacaranya adalah sebagaimana yang telah dikatakan oleh Sayid Sabiq:
"Apabila qunut setelah ruku`, dengan mengangkat tangan dan takbir setelah selesai
qunut. Yang demikian diriwayatkan dari sebagian shahabat. Sebagian ulama
menyunahkannya dan sebagian lain tidak." (Fiqhus Sunnah 1/166)
14
Adapun masalah mengusapkan kedua tangan ke muka setelah qunut Imam Al-Baihaqi
mengatakan: "Lebih utama tidak dilakukan dan cukup dengan apa yang dilaksanakan
oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, yakni mengangkat tangan tanpa
mengusapkannya ke muka."
Al-`Izz bin Abdis Salam berkata: "Tidaklah mengusapkan kedua tangan ke muka
setelah doa qunut kecuali orang bodoh/jahil." (Al-Fatawa hal. 47).
Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkannya ke dalam kesalahan dalam shalat di
dalam kitab beliau Al-Qaulul Mubin fi Akhta'il Mushalin (keterangan yang jelas
tentang kesalahan orang-orang yang shalat) hal 133.
Doa Qunut
Al-Hasan bin Ali diajari oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kalau selesai dari
dalam shalat witir, agar mengucapkan doa: “Allahummah dinii fiiman hadaita, wa
'aafinii fiiman 'aafaita, wa tawallanii fiiman tawallaita, wa baarik lii fiimaa a’thoita,
waqinii syarro maa qodhoita, fainnaka taqdii wa laa yuqdhoo ‘alaika, wainnahu laa
yadzillu man waalaita, walaa ya’izzuman ‘aadaita, tabaarokta robbanaa wa ta’aa laita,
laa manja minka illa ilaika.” Artinya : "Ya Allah, tunjukkilah aku sebagaimana orang
yang Engkau tunjuki. Selamatkanlah aku sebagaimana orang yang Engkau beri
keselamatan. Kasihilah aku sebagaimana orang yang Engkau kasihi. Berkahilah bagiku
apa-apa yang Engkau berikan. Selamatkanlah aku dari kejelekan apa yang Engkau
takdirkan. Sesungguhnya Engkau yang menentukan dan tidak ada yang menentukan
diri-Mu. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau kasihi dan tidak akan mulia
orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau Rabb kami dan Maha Tinggi. Tidak ada
keselamatan dari-Mu kecuali berlindung kepada-Mu." (HR. Ibnu Khuzaimah 1/911 dan
Ibnu Abi Syaibah)
Syaikh Masyhur mengatakan: "Doa ini tidak boleh ditambah seperti yang dilakukan
kebanyakan imam shalat dengan tambahan "falakal hamdu `alaa maa qadlait
astaghfiruka wa atuubu ilaik." Adapun shalawat kepada Nabi shallallahu `alaihi wa
sallam telah tsabit pada hadits Ubai bin Ka`ab yang mengimami manusia pada shalat
tarawih di jaman Umar radliyallahu `anhu. Perbuataan ini termasuk amal kaum salaf
walaupun atsar ini didlaifkan oleh Ibnu Hajar. (Al-Qaulul Mubin hal. 134)
Demikianlah pembahasan tarawih dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya.
Semoga bermanfaat dan marilah kita berusaha untuk menjalankannya. Kesempurnaan
hanyalah milik Allah.
Wallahu `alam bisshawab.
Maraji':
1. Shalatut Tarawih, Syaikh Nashirudin Al-Albani
15
2. Qiyamul Lail, Syaikh Nashirudin Al-Albani
3. Tamamul Minah, Syaikh Nashirudin Al-Albani
4. Irwa'ul Ghalil, Syaikh Nashirudin Al-Albani
5. Shifatu Shalatin Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, Syaikh
Nashirudin Al-Albani
6. Al-Qaulul Mubin fi Akhta'il Mushalin, Syaikh Masyhur Hasan Salman
7. Zadul Ma`ad, Imam Ibnu Qayim Al-Jauziah
8. Al-Istidzkar, Imam Ibnu Abdil Barr
9. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq
10. Ilmu Ushulil Bida`, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
(Dikutip dari majalah Salafy Edisi XXII/1418/1997, penulis asli ustadz Zuhair Syarif,
judul asli "Sholat Tarawih", hal 22-32)
Beberapa Cara Shalat Malam yang dikerjakan Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam
Dari hadits-hadits dan riwayat yang ada dapat disimpulkan bahwa Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam mengerjakan shalat malam dan witir lengkap berbagai cara:
Pertama.
Shalat 13 rakaat dan dimulai dengan 2 rakaat yang ringan.
Berkenaan dengan ini ada beberapa riwayat:
a. Hadits Zaid bin Khalid al-Juhani bahwasanya berkata: "Aku perhatikan shalat malam
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Yaitu (ia) shalat dua rakaat yang ringan
kemudian ia shalat dua rakaat yang panjang sekali. Kemudian shalat dua rakaat, dan
dua rakaat ini tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat
(tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang
dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat
sebelumnya), kemudian witir satu rakaat, yang demikian adalah tiga belas rakaat."
(Diriwayatkan oleh Malik, Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud dan Ibnu Nashr)
b. Hadits Ibnu Abbas, ia berkata: "Saya pernah bermalam di kediaman Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam suatu malam, waktu itu beliau di rumah Maimunah
radliyallahu anha. Beliau bangun dan waktu itu telah habis dua pertiga atau setengah
malam, kemudian beliau pergi ke tempat yang ada padanya air, aku ikut berwudlu
bersamanya, kemudian beliau berdiri dan aku berdiri di sebelah kirinya maka beliau
pindahkan aku ke sebelah kanannya. Kemudian meletakkan tangannya di atas kepalaku
seakan-akan beliau memegang telingaku, seakan-akan membangunkanku, kemudian
beliau shalat dua rakaat yang ringan. Beliau membaca Ummul Qur'an pada kedua rakaat
itu, kemudian beliau memberi salam kemudian beliau shalat hingga sebelas rakaat
dengan witir, kemudian tidur. Bilal datang dan berkata: Shalat Ya Rasulullah! Maka
beliau bangun dan shalat dua rakaat, kemudian shalat mengimami orang-orang. (HR.
Abu Dawud dan Abu `Awanah dalam kitab Shahihnya. Dan asalnya di Shahihain)
16
Ibnul Qayim juga menyebutkan hadits ini di Zadul Ma`ad 1:121 tetapi Ibnu Abbas tidak
menyebut bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan
dua rakaat yang ringan sebagaimana yang disebutkan Aisyah.
c. Hadits Aisyah, ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila
bangun malam, memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan, kemudian shalat
delapan kemudian berwitir. Pada lafadh lain: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam shalat Isya, kemudian menambah dengan dua rakaat, aku telah siapkan siwak
dan air wudhunya dan berwudlu kemudian shalat dua rakaat, kemudian bangkit dan
shalat delapan rakaat, beliau menyamakan bacaan antara rakaat-rakaat itu, kemudian
berwitir pada rakaat yang ke sembilan. Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
sudah berusia lanjut dan gemuk, beliau jadikan yang delapan rakaat itu menjadi enam
rakaat kemudian ia berwitir pada rakaat yang ketujuh, kemudian beliau shalat dua
rakaat dengan duduk, beliau membaca pada dua rakaat itu "Qul ya ayyuhal kafirun" dan
"Idza zulzilat."
Penjelasan.
Dikeluarkan oleh Thahawi 1/156 dengan dua sanad yang shahih. Bagian pertama dari
lafadh yang pertama juga dikeluarkan oleh Muslim 11/184; Abu Awanah 1/304,
semuanya diriwayatkan melalui jalan Hasan Al-Bashri dengan mu`an`an, tetapi Nasai
meriwayatkannya (1:250) dan juga Ahmad V:168 dengan tahdits. Lafadh kedua ini
menurut Thahawi jelas menunjukan bahwa jumlah rakaatnya 13, ini menunjukan bahwa
perkataannya di lafadh yang pertama : "kemudian ia berwitir" maksudnya tiga rakaat.
Memahami seperti ini gunanya agar tidak timbul perbedaan jumlah rakaat antara
riwayat Ibnu Abbas dan Aisyah.
Kalau kita perhatikan lafadh kedua, maka di sana Aisyah menyebutkan dua rakaat yang
ringan setelah shalat Isya'nya, tetapi tidak menyebutkan adanya shalat ba'diyah Isya. Ini
mendukung kesimpulan penulis pada uraian terdahulu bahwa dua rakaat yang ringan itu
adalah sunnah ba`diyah Isya.
Kedua
Shalat 13 rakaat, yaitu 8 rakaat (memberi salam setiap dua rakaat) ditambah lima rakaat
witir, yang tidak duduk kecuali pada rakaat terakhir (kelima).
Tentang ini ada riwayat dari Aisyah sebagai berikut: Adalah Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam tidur, ketika bangun beliau bersiwak kemudian berwudhu, kemudian
shalat delapan rakat, duduk setiap dua rakaat dan memberi salam, kemudian berwitir
dengan lima rakaat, tidak duduk kecuali ada rakaat kelima, dan tidak memberi salam
kecuali pada rakaat yang kelima. Maka ketika muadzin beradzan, beliau bangkit dan
shalat dua rakaat yang ringan.
Penjelasan :
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad II:123, 130, sanadnya shahih menurut persyaratan
Bukhari dan Muslim. Dikeluarkan juga oleh Muslim II:166; Abu Awanah II:325, Abu
17
Daud 1:210; Tirmidzi II:321 dan beliau mengesahkannya. Juga oleh Ad-Daarimi 1:371,
Ibnu Nashr pada halaman 120-121; Baihaqi III:27; Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla
III:42-43.
Semua mereka ini meriwayatkan dengan singkat, tidak disebut padanya tentang
memberi salam pada tiap dua rakaat, sedangkan Syafi'i 1:1/109, At-Thayalisi 1:120 dan
Hakim 1:305 hanya meriwayatkan tentang witir lima rakaat saja.
Hadits ini juga mempunyai syahid dari Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Abu Dawud
1:214 daan Baihaqi III:29, sanad keduanya shahih. Kalau kita lihat sepintas lalu,
seakan-akan riwayat Ahmad ini bertentangan dengan riwayat Aisyah yang membatas
bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan lebih dari
sebelas rakaat, sebab pada riwayat ini jumlah yang dikerjakan Nabi shallallahu `alaihi
wa sallam adalah 13 rakaat ditambah 2 rakaat qabliyah Shubuh. Tetapi sebenarnya
kedua riwayat ini tidak bertentangan dan dapat dijama' seperti pad uraian yang lalu.
Kesimpulannya dari 13 rakaat itu, masuk di dalamnya 2 rakaat Iftitah atau 2 rakaat
ba'diyah Isya.
Ketiga.
Shalat 11 rakaat, dengan salam setiap dua rakaat dan berwitir 1 rakaat.
Dasarnya hadits Aisyah berikut ini: "Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
shalat pada waktu antara selesai shalat Isya, biasa juga orang menamakan shalat
`atamah hingga waktu fajar, sebanyak 11 rakaat, beliau memberi salam setiap dua
rakaat dan berwitir satu rakaat, beliau berhenti pada waktu sujudnya selama seseorang
membaca 50 ayat sebelum mengangkat kepalanya".
Penjelasan:
Diriwayatkan oleh Muslim II:155 dan Abu Awanah II:326; Abu Dawud I:209; Thahawi
I:167; Ahmad II:215, 248. Abu Awanah dan Muslim juga meriwayatkan dari hadits
Ibnu Umar, sedangkan Abu Awanah juga dari Ibnu Abbas.
Mendukung riwayat ini adalah Ibnu Umar juga: Bahwa seorang laki-laki bertanya
kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang shalat malam, maka sabdanya:
Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Kalau seseorang daripada kamu khawatir
masuk waktu Shubuh, cukup dia shalat satu rakaat guna menggajilkan jumlah rakaat
yang ia telah kerjakan.
Riwayat Malik I:144, Abu Awanah II:330-331, Bukhari II:382,385, MuslimII:172. Ia
menambahkan (Abu Awanah): "Maka Ibnu Umar ditanya: Apa yang dimaksud dua
rakaat - dua rakaat itu? Ia menjawab: Bahwasanya memberi salam di tiap dua rakaat."
Keempat.
Shalat 11 rakaat yaitu sholat 4 rakaat dengan 1 salam, empat rakaat salam lagi,
kemudian tiga rakaat.
18
Haditsnya adalah riwayat Bukhari Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu. Menurut
dhahir haditsnya, beliau duduk di tiap-tiap dua rakaat tetapi tidak memberi salam,
demikianlah penafsiran Imam Nawawi. Yang seperti ini telah diriwayatkan dalam
beberapa hadits dari Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak
memberi salam antara dua rakaat dan witir, namun riwayat-riwayat itu lemah,
demikianlah yang disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Nashr, Baihaqi dan Nawawi.
Kelima
Shalat 11 rakaat dengan perincian 8 rakaat yang beliau tidak duduk kecuali pada rakaat
kedelapan tersebut, maka beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi, kemudian
bangkit dan tidak memberi salam, selanjutnya beliau witir satu rakaat, kemudian
memberi salam (maka genap 9 raka'at). Kemudian Nabi sholat 2 raka'at sambil duduk.
Dasarnya adalah hadits Aisyah radliallahu `anha, diriwayatkan oleh Sa'ad bin Hisyam
bin Amir. Bahwasanya ia mendatangi Ibnu Abbas dan menanyakan kepadanya tentang
witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam maka Ibnu Abbas berkata: Maukah aku
tunjukan kepada kamu orang yang paling mengetahui dari seluruh penduduk bumi
tentang witirnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: Ia bertanya siapa dia? Ia
berkata: Aisyah radlillahu anha, maka datangilah ia dan Tanya kepadanya: Maka aku
pergi kepadnya, ia berkata: Aku bertanya; Hai Ummul mukminin khabarkan kepadaku
tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, Ia menjawab: Kami biasa
menyiapkan siwak dan air wudlunya, maka ia bersiwak dan berwudlu dan shalat
sembilan rakaat tidak duduk padanya kecuali pada rakaat yang kedelapan, maka ia
mengingat Allah dan memuji-Nya dan bershalawat kepada nabi-Nya dan berdoa,
kemudian bangkit dan tidak memberi salam, kemudian berdiri dan shalat (rakaat) yang
kesembilan, kemudian beliau duduk dan mengingat Allah dan memujinya (at tahiyat)
dan bershalawat atas nabi-Nya shallallahu `alaihi wa sallam dan berdoa, kemudian
memberi salam dengan salam yang diperdengarkan kepada kami, kemudian shalat dua
rakat setelah beliau memberi salam, dan beliau dalam keadaan duduk, maka yang
demikian jumlahnya sebelas. Wahai anakku, maka ketika Nabi shallallahu `alaihi wa
sallam menjadi gemuk, beliau berwitir tujuh rakaat, beliau mengerjakan di dua rakaat
sebagaimana yang beliau kerjakan (dengan duduk). Yang demikian jumlahnya sembilan
rakaat wahai anakku.
Penjelasan
Diriwayatkan oleh Muslim II:169-170, Abu Awanah II:321-325, Abu Dawud I:210-
211, Nasai I/244-250, Ibnu Nashr halaman 49, Baihaqi III:30 dan Ahmad VI:53,54,168.
Keenam.
Shalat 9 rakaat, dari jumlah ini, 6 rakaat beliau kerjakan tanpa duduk (tasyahud) kecuali
pada rakaat yang keenam tersebut, beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam kemudian beliau bangkit dan tidak memberi salam
sedangkan beliau dalam keadaan duduk.
19
Yang menjadi dasar adalah hadits Aisyah radiyallahu anha seperti telah disebutkan pada
cara yang kelima.
Itulah cara-cara shalat malam dan witir yng pernah dikerjakan Rasulullah, cara
yang lain dari itu bisa juga ditambahkan yang penting tidak melebihi sebelas rakaat.
Adapun kurang dari jumlah itu tidak dianggap menyalahi karena yang demikian
memang dibolehkan, bahkan berwitir satu rakaatpun juga boleh sebagaimana sabdanya
yang lalu: "....Maka barang siapa ingin maka ia boleh berwitir 5 rakaat, dan barangsiapa
ingin ia boleh berwitir 3 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir dengan satu
rakaat."
Hadits di atas merupakan nash boleh ia berwitir dengan salah satu dari rakaat-rakaat
tersebut, hanya saja seperti yang dinyatakan hadits Aisyah bahwasaya beliau tidk
berwitir kurang dari 7 rakaat.
Tentang witir yang lima rakaat dan tiga rakaat dapat dilakukan dengan berbagai cara:
a. Dengan sekali duduk dan sekali salam
b. Duduk at tahiyat setiap dua rakaat
c. Memberi salam setiap dua rakaat
Al-Hafidh Muhammad bin Nashr al-Maruzi dalam kitab Qiyamul Lail halaman
119 mengatakan: Cara yang kami pilih untuk mengerjakan shalat malam, baik
Ramadlan atau lainnya adalah dengan memberi salam setiap dua rakaat. Kalau seorang
ingin mengerjakan tiga rakaat, maka di rakaat pertama hendaknya membaca surah
"Sabbihisma Rabbikal A'la" dan pada rakaat kedua membaca surah "Al-Kafirun", dan
bertasyahud dirakaat kedua kemudian memberi salam. Selanjutya bangkit lagi dan
shalat satu rakaat, pada rakaat ini dibaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlash, Mu`awwidzatain
(Al-Falaq dan An-Naas), setelah itu beliau (Muhammad bin Nashr) menyebutkan caracara
yang telah diuraikan terdahulu.
Semua cara-cara tersebut boleh dilakukan, hanya saja kami pilih cara yang
disebutkan di atas karen didasarkan pada jawaban Nabi shallallahu `alaihi wa sallam
ketika beliau ditanya tentang shalat malam, maka beliau menjawab: bahwa shalat
malam itu dua rakaat dua rakaat, jadi kami memilih cara seperti yang beliau pilih.
Adapun tentang witir yang tiga rakaat, tidak kami dapatkan keterangan yang pasti
dan terperinci dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya beliau tidak memberi
salam kecuali pada rakat yang ketiga, seperti yang disebutkan tentang Witir lima rakaat,
tujuh dan sembilan rakaat. Yang kami dapati adalah bahwa beliau berwitir tiga rakaat
dengan tidak disebutkan tentang salam sedangkan tidak disebutkan itu tidak dapat
diartikan bahwa beliau tidak mengerjakan, bahkan mungkin beliau melakukannya.
Yang jelas tentang pelaksanaan yang tiga rakaat ini mengandung beberapa ihtimaalat
(kemungkinan), diantaranya kemungkinan beliau justru memberi salam, karena
demikialah yang kami tafsirkan dari shalat beliau yang sepuluh rakaat, meskipun di
20
sana tidak diceritakan tentang adanya salam setiap dua rakaat, tapi berdasar keumuman
sabdanya bahwa asal shalat malam atau siang itu adalah dua rakaat, dua rakaat.
Sedangkan hadits Ubay bin Ka'ab yang sering dijadikan dasar tidak adanya salam
kecuali pada rakaat yang ketiga (laa yusallimu illa fii akhirihinna), ternyata tambahan
ini tidak dapat dipakai, karena Abdul Aziz bin Khalid bersendiri dengan tambahan
tersebut, sedangkan Abdul Aziz ini, tidak dianggap tsiqah oleh ulama Hadits. Dalam at-
Taqrib dinyatakan bahwa dia maqbul apabila ada mutaba'ah (hadits lain yang
mengiringi), kalau tidak ia termasuk Layyinul Hadits. Di samping itu tambahan
riwayatnya menyalahi riwayat dari Sa'id bin Abi Urubah yang tanpa tambahan tersebut.
Ibnu Nashr, Nasai dan Daruqutni juga meriwayatkan tanpa tambahan. Dengan ini, jelas
bahwa tambahan tersebut adalah munkar dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Tapi walaupun demikian diriwayatkan bahwa shahabat-shahabat Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam mengerjakan witir tiga rakaat dengan tanpa memberi salam kecuali
pada rakaat yang terakhir dan ittiba' kepada mereka ini lebih baik baik daripada
mengerjakan yang tidak dicontohkan. Dari sisi lain perlu juga diketengahkan bahwa
terdapat banyak riwayat baik dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, para shahabat
ataupun tabi'in yaang menunjukan tidak disukainya shalat witir tiga rakaat, diantaranya:
"Janganlah engkau mengerjakan witir tiga rakaat yang menyerupai Maghrib, tetapi
hendaklah engkau berwitir lima rakaat." (HR. Al-Baihaqi, At Thohawi dan Daruquthny
dan selain keduanya, lihat Sholatut Tarawih hal 99-110).
Hadits ini tidak dapat dipakai karena mempunyai kelemahan pada sanadnya, tapi
Thahawi meriwayatkan hadits ini melalui jalan lain dengan sanad yang shahih. Adapun
maksudnya adalah melarang witir tiga rakaat apabila menyerupai Maghrib yaitu dengan
dua tasyahud, namun kalau witir tiga rakaat dengan tidak pakai tasyahud awwal, maka
yang demikian tidak dapat dikatakan menyerupai. Pendapat ini juga dinyatakan oleh
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari II:385 dan dianggap baik oleh Shan'aani dalam Subulus
Salam II:8.
Kesimpulan dari yang kami uraikan di atas bahwa semua cara witir yang disebutkan di
atas adalah baik, hanya perlu dinyatakan bahwa witir tiga rakaat dengan dua kali
tasyahhud, tidak pernah ada contohnya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
bahkan yang demikian tidak luput dari kesalahan, oleh karenanya kami memilih untuk
tidak duduk di rakaat genap (kedua), kalau duduk berarti memberi salam, dan cara ini
adalah yang lebih utama.
(Dikutip dari tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, judul asli Sholatut
Tarawih, edisi Indonesia Kelemahan Riwayat Tarawih 20 Rakaat.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar