Pendidikan Lingkungan & Pendidikan Kewargaan: Melindungi Lingkungan, Melestarikan Kehidupan Warga
Pendahuluan
Berdasarkan kerangka acuan seminar yang disodorkan oleh panitia, makalah ini berupaya membahas isu-isu sebagai berikut:
- Problematika isu lingkungan
- Alasan pentingnya pendidikan lingkungan di dalam konteks Indonesia kontemporer
- Strategi pendidikan lingkungan dalam menghadapi krisis lingkungan
Tulisan ini tidak bersifat komprehensif maupun holistik. Tulisan ini dimaksudkan sebagai pengantar diskusi belaka untuk bersama membedah permasalahan pendidikan lingkungan serta mengidentifikasi peran apa yang dapat dimainkan oleh warga guna mewujudkan ‘lingkungan yang laik’ bagi ‘warga yang baik’, dan bagaimana menyusun program pendidikan lingkungan yang tidak hanya bisa meningkatkan kesadaran warga namun juga mengundang keterlibatan warga, juga kerjasama apa saja yang bisa dilakukan oleh warga, lembaga swadaya masyarakat, negara dan kelompok kepentingan lainnya guna mengatasi krisis lingkungan.
Manusia vis a vis Alam
There are no passengers on Spaceship Earth. We are all crew members. ~Buckminster Fuller
Sulit untuk disangkal bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi saat ini, baik pada tataran global maupun lingkup nasional, sebagian besar bersumber pada perilaku manusia. Kasus pencemaran dan kerusakan, baik di laut, hutan, atmosfer, air, tanah, dan seterusnya; banjir, kekeringan, kebakaran hutan, polusi cahaya, gagal panen, penurunan hasil tangkapan ikan, merebaknya penyakit, dan seterusnya bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dengan sesama makhluk hidup dan hanya mementingkan diri sendiri. Ambil contoh yang konkret. Kasus semburan lumpur yang diakibatkan PT Lapindo di Sidoarjo, bencana ekologis dan sosial yang ditimbulkan PT Freeport Indonesia di Papua, tumpahan minyak akibat kebocoran kegiatan penambangan perusahaan raksasa Beyond Petroleum yang mencemari kawasan Teluk Meksiko, naiknya permukaan laut yang akan menghilangkan pulau-pulau kecil dari peta. Contoh lainnya, kasus perambahan hutan secara liar, penyelundupan kayu-kayu gelondongan, pencurian ikan oleh kapal-kapal dengan jaring pukat harimau, impor limbah secara illegal dari luar negeri, perdagangan satwa liar langka yang dilindungi, resistensi nyamuk terhadap vaksin anti malaria. Demikian pula kasus sampah di DKI Jakarta, Bandung dan daerah lainnya. Semua itu sesungguhnya disebabkan oleh perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab secara sosial dan moral, juga tidak peduli terhadap lingkungan hidup. Kasus-kasus di atas tidak saja menyangkut individu orang per orang atau perusahaan, tetapi juga birokrasi pemerintah. Bahkan kasus-kasus lingkungan yang terkait dengan globalisasi perdagangan dan berbagai perjanjian internasional untuk penanganan perubahan iklim dan keanekaragaman hayati, salah satu contohnya, adalah persoalan yang menyangkut kelicikan negara tertentu yang merugikan kepentingan pihak lain yang lebih lemah, tanpa sumberdaya dan juru bicara termasuk lingkungan hidup.
Menurut Arne Naess (1993), krisis lingkungan dewasa ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal. Kita memerlukan pola atau gaya hidup baru yang tidak hanya menyangkut orang per orang secara individualistis tetapi juga budaya masyarakat secara keseluruhan. Artinya diperlukan pendidikan lingkungan yang mengajarkan etika lingkungan yang menuntun manusia untuk berinteraksi secara baru dengan/dalam alam semesta. Dengan kata lain, krisis lingkungan yang kita alami saat ini sebenarnya berakar pada kesalahan fundamental-filosofis dalam cara pandang manusia mengenai dirinya, alam dan tempat manusia di dalam keseluruhan ekosistem. Pada gilirannya, kekeliruan cara pandang ini melahirkan perilaku yang keliru terhadap alam. Menurut Naess, kekeliruan cara pandang dan perilaku inilah awal mula bencana lingkungan hidup terjadi.
Kesalahan cara pandang ini bersumber dari etika antroposentrisme, yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang memiliki dan bisa mengukur nilai (value), sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup umat manusia. Manusia dianggap berada di luar, di atas dan terpisah dari alam. Bahkan, manusia dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja secara semena-mena terhadap alam. Cara pandang ini melahirkan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap alam dan segala isinya.
Cara pandang antroposentrisme, yang menimbang alam beserta segala isinya semata sebagai alat di tangan manusia, penuh kelemahan. Kelemahannya, menurut paham ini etika berlaku terbatas bagi manusia saja. Juga, konsep mengenai perlakuan etis terhadap alam, apalagi ide tentang hak asasi alam (atau hak asasi hewan dan tumbuhan), dianggap aneh dan tidak masuk akal. Manusia tidak terima kalau binatang dan tanaman mempunyai hak yang sejajar dengan mereka. Istilah anak mudanya, gengsi dong.
Kelemahan di atas dikritik dan dikoreksi oleh etika biosentrisme dan ekosentrisme. Bagi kedua isme ini, manusia tidak hanya dipandang sebagai makhluk sosial. Manusia pertama-tama harus dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk ekologis. Manusia hanya bisa hidup dan berkembang sebagai manusia utuh dan penuh, tidak hanya dalam komunitas sosial, tetapi juga dalam komunitas ekologis, yaitu makhluk yang kehidupannya tergantung dari dan terkait erat dengan semua kehidupan lain di alam semesta. Hanya makhluk yang menjalin ketergantungan timbal-balik saling menguntungkan dengan semua kehidupan lain, dan hanya melalui “jaring kehidupan” itu makhluk semacam manusia bisa hidup dan berkembang menjadi diri sendiri dan membangun tatanan sosial. Tanpa alam, tanpa makhluk hidup lain, manusia tidak akan bisa bertahan hidup, berevolusi, menjamin kelangsungan spesiesnya di bumi. Seperti makhluk lain, manusia mempunyai kedudukan yang sama dalam jaring kehidupan di alam semesta ini. Manusia dibentuk oleh dan merealisasikan dirinya dalam alam. Bagi biosentrisme dan ekosentrisme, komunitas biotis dan ekologis mempunyai peran sama penting dengan komunitas sosial.
Jadi intinya, manusia tidak berada di luar, di atas dan terpisah dari alam. Juga, tidak ada istilah penguasa yang dapat semana-mena terhadap makhluk lain. Tidak ada istilah penumpang yang bisa berleha-leha hanya mengandalkan pihak lain demi mencapai kenyamanan pribadi. Manusia dan alam beserta segala isinya adalah awak yang bahu membahu, saling menghormati, saling bergantung satu sama lain, di kapal bernama Spaceship Earth.
Pendidikan Lingkungan
Merealisasikan etika yang baru ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Gerakan membangun budaya baru, etika baru, gaya hidup baru, yang disebut Naess sebagai ecosophy –gerakan kearifan merawat bumi sebagai sebuah rumah tempat yang nyaman bagi semua kehidupan, adalah jalan terjal berliku. Tapi membangun gerakan bersama demi terwujudnya “damai di bumi” ini adalah niscaya. Budaya baru ini tetap harus dimulai, diajarkan, dipertahankan, dan diwariskan dari satu orang ke orang yang lain, dari satu kelompok ke kelompok yang lain, dari satu generasi ke generasi yang lain. Di sinilah letak pentingnya pendidikan.
Kendala yang biasa menghadang gerakan pendidikan dan penyadaran lingkungan, selain yang bersifat teknis, juga berupa tantangan untuk mendapat buy-in dari warga. Warga perlu mengerti bahwa gerakan ini bermanfaat bagi mereka dan selanjutnya terdorong untuk melakukan aksi nyata. Kenyataan di lapangan mungkin sedikit membuat masygul. Ternyata dukungan masyarakat masih rendah. Ini diduga karena kurangnya pengetahuan, pemahaman, dan rasa kepemilikan serta lemahnya keterlibatan warga dalam pengelolaan sumber daya alam. Menurut Kushardanto (2007), kesadaran dan dukungan yang lemah dari masyarakat lokal membuat beberapa kawasan konservasi dunia yang sangat penting bagi keanekaragaman hayati terancam keberadaannya. (Makalah ini selanjutnya akan membatasi diri dalam wilayah konservasi, karena isu lingkungan terlalu umum sehingga sulit mendapatkan data mutakhir).
Pendidikan lingkungan di dalam rangka mendukung pengelolaan kawasan konservasi perlu dijadikan program yang sama pentingnya dengan program-program yang lain. Seringkali pendidikan konservasi masih sebatas program pelengkap dan sifatnya hanya insidental. Pendidikan konservasi masih dilakukan dengan metode, penggunaan media dan waktu penjangkauan yang tidak tepat. Masih menurut Kushardanto, pendidikan konservasi tidak mencapai tujuan karena pesan yang disampaikan melalui media kepada masyarakat masih terlalu teknis sehingga membuat masyarakat merasa tidak berdaya, tidak mengerti dan tidak memahami serta mereka berkeyakinan bahwa situasinya begitu serius sehingga kegiatan apa pun yang akan lakukan pasti tidak akan berguna, laksana upaya menggarami lautan.
Pendidikan konservasi yang tidak dirancang dengan baik dan dimaksudkan hanya untuk sekedar informasi tidak akan berhasil, baik dalam hal pesan yang disampaikan maupun dari aspek proses membangun dukungan konstituen. Pesan-pesan konservasi yang telah dirancang dengan teliti dan dengan segmentasi pasar yang tepat diyakini akan berhasil jika disampaikan dengan menggunakan saluran komunikasi yang tepat. Saluran dalam berkomunikasi menurut Winarso (2005) yaitu media komunikasi interpersonal, televisi, radio, film, buku, koran, majalah (media komunikasi massa), telepon, teleks, telegram dan lain-lain. Menurut Weinreich (1999) untuk menjangkau target audien untuk berbagai segmentasi yang berbeda, perlu diidentifikasi saluran komunikasi yang menarik perhatian dan yang dipercayai oleh audien. Untuk target audien yang berbeda, maka dalam penjangkauannya pendidik perlu memilih saluran komunikasi yang sudah popular dan dapat dipertanggungjawabkan.
Salah satu bentuk implementasi pendidikan konservasi dengan menggunakan berbagai media komunikasi dan kelompok sasaran yang luas yaitu Kampanye Bangga (Pride Campaign). Kampanye Bangga, yang dikembangkan oleh lembaga konservasi yang mengkhususkan diri dalam pendidikan konservasi RARE International dan dibantu oleh lembaga konservasi terkemuka dunia The Nature Conservancy, adalah suatu perkawinan antara pendidikan konservasi secara tradisional dan teknik social marketing yang bertumpu kepada perubahan perilaku untuk membangkitkan dukungan dan aksi konservasi dari publik. Media edukatif dan kreatif yang digunakan dalam kampanye ini, misalnya menggunakan maskot spesies kunci, kegiatan sekolah, media cetak, media massa, dan berbagai media lain yang digali dari media preferensi target kampanye. Penggunaan media yang tepat akan mendorong terjadinya perubahan sikap dan perilaku positif terhadap kawasan konservasi.
Pendidikan konservasi gagal untuk mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat salah satu penyebabnya karena kesalahan dalam memilih, merancang dan menggunakan media komunikasi. Beberapa hal yang mempengaruhi efektivitas media komunikasi menurut Weinreich (1999) yaitu proses pemilihan media berdasarkan preferensi masyarakat, uji coba penggunaan media, serta metode atau waktu pendistribusian media. Pertanyaan yang penting yang ingin dijawab melalui penelitian ini yaitu apakah benar media yang dipilih dengan melibatkan masyarakat dapat berdampak positif terhadap perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap konservasi sumberdaya. Pembelajaran pendidikan konservasi di beberapa tempat menurut RARE terbukti berhasil karena menggunakan media komunikasi berdasarkan media preferensi masyarakat target.
Tahapan Kampanye Bangga dengan prinsip-prinsip social marketing-nya, selama relevan dapat dijadikan acuan untuk menyusun strategi pendidikan lingkungan bagi warga secara umum. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, pendidikan lingkungan adalah tanggung jawab dan hak setiap warga di bumi pertiwi yang dilindungi oleh Undang-Undang. Bahkan mengingat pentingnya pendidikan lingkungan, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi ihwal pendidikan, ilmu pengetahuan dan budaya (UNESCO) dan program lingkungan (UNEP) telah banyak mengembangkan prakarsa di bidang ini. Salah satunya adalah International Environmental Education Program. Program ini mengakui kebutuhan pendidikan baik yang formal melalui sekolah maupun pendidikan informal yang diselenggarakan oleh berbagai kelompok warga yang peduli.
Penutup
Pendidikan lingkungan, yang dilakukan oleh para pendidik yang terampil dan “passionate”, adalah langkah awal untuk mendobrak cara berpikir dan berperilaku dalam kerangka paradigm etika lama yang bersifat antroposentris. Merealisasikan etika baru dan gaya hidup baru bernama ecosophy yang biosentris dan ekosentris memerlukan komitmen bersama, yang bersinergi menjadi sebuah gerakan (yang bisa digerakkan melalui program kampanye yang tepat sasaran dan terus menerus semacam “Kampanye Bangga”). Gerakan bersama ini sangat dibutuhkan karena bencana ekologis dan krisis lingkungan saat ini tengah menuju ke arah yang memprihatinkan. Krisis lingkungan adalah krisis kehidupan, sehingga menyelamatkan lingkungan berarti menyelamatkan kehidupan. Hal ini tidak mustahil dilakukan. Mari mengubah pola hidup kita, sebagai individu dan kelompok, dari hal terkecil, sekarang juga. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar