Selasa, 20 Juli 2010

Tragedi Priok Berdarah...

tak terasa sudah 12th berlalu sejak kejadian pelanggaran HAM berat yang terjadi di bulan Mei 1998, pada saat itu konflik yg terjadi bertujuan untuk "menggulingkan" singgasana pemerintahan yang disinyalir telah merugikan rakyat & bersifat diktator (otoriter). Tokoh sentral dalam konflik tersebut adalah mahasiswa-masyarakat tionghoa-aparat, tak terhitung berapa banyak korban jiwa & luka yang diakibatkan oleh peristiwa berdarah tersebut. Indonesia berduka atas terjadinya peristiwa ini...

kini, tepatnya 12 tahun kemudian...kasus pelanggaran HAM kategori berat terjadi kembali, kali ini disebabkan oleh penggusuran areal pemakaman Al Habib Hasan Muhammad Al Haddad yang lahir di Ulu, Palembang, Sumatera Selatan, pada tahun 1727 atau yang lebih dikenal dengan julukan "Mbah Priok". Beliau adalah salah satu tokoh penyebar agama Islam di Jakarta -khususnya wilayah Jakarta Utara-, tidak berlebihan kiranya apabila Mbah Priok ini mendapat tempat di hati para warga Indonesia (khususnya Jakarta) yang mayoritas beragama Islam. Yang menjadi tokoh sentral kali ini adalah masyarakat-Satpol PP.

Bentrokan Tanjung Priok terjadi saat Satpol PP akan menggusur bangunan-bangunan di Makam Mbah Priok pagi hari (14/4). Penggusuran ini ditentang warga. Akhirnya bentrokan pun tak bisa terhindarkan, bentrokan terus terjadi hingga sore. Suasana bentrokan tergolong anomie, hal ini bisa dilihat dari kebrutalan massa maupun aparat (Satpol PP)dalam berkonflik. saling lempar batu, merusak fasilitas publik bahkan membunuh menjadi hal yang wajar & tidak terpikirkan lagi konsekuensi hukumnya (& memang tidak akan pernah dipermasalahakan merunut dari makna harafiah anomie itu sendiri yaitu suasana dimana hukum, norma & nilai seolah tersembunyi ataupun hilang).

Anomie merupakan perspektif sosiologis yang berkaitan dengan pandangan disorganisasi sosial. Teori anomi mengatakan bahwa penyimpangan adalah hasil ketegangan-ketegangan sosial tertentu yang mendorong individu menjadi devian (menyimpang). Robert Merton (1930) mengatakan bahwa masyarakat industri modern menekankan pencapaian sukses materi dalam bentuk kemakmuran dan pendidikan sebagai tujuan untuk mencapai status. Sementara itu secara bersamaan membatasi akses atas suatu institutsi dari segmen masyarakat tertentu yg sebenarnya juga dapat memperolehnya secara sah. Segmen masyarakat yg dimaksud biasanya adalah masyarakat awam. Situasi anomi muncul ketika terjadi kesenjangan yg parah antara tujuan budaya dan cara-cara yg sah yg tersedia bagi kelompok tertentu di masyarakat guna mencapai tujuan tersebut.

Hal inilah yang terjadi pada masyarakat Koja, Jakarta Utara...Pihak Pelindo yang disinyalir sebagai pemilik sah areal pemakaman Mbah Priok, berniat mengalokasikan makam Mbah Priok ke Tempat Pemakan Umum (TPU) Budhidarma, Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara. Dan menurut penjelasan dari pihak Pemprov DKI Jakarta, sebenarnya kerangka Habib Hasan sendiri sudah tidak di Tanjung Priok. Kerangka jasad Habib Hasan Al Haddad atau Mbah Priok telah dipindahkan pada tahun 1997 lalu bersamaan dengan 32 rangka lainnya yang ada di TPU Dobo dengan luas 53.054 M2. Jadi, pihak Pemprov DKI & Pelindo beranggapan bahwa penggusuran ini tidak menyalahi aturan. Namun tidak begitu dengan masyarakat sekitar, Mbah Priok yang telah dianggap sebagai tokoh penting dalam penyebaran agama Islam di Jakarta ini begitu dihormati oleh warga sekitar sehingga ketika penggusuran ini terjadi pada pagi hari (14/4)true collective consiousness yg terbentuk dalam diri mereka adalah mereka merasa perlu untuk mempertahankan areal pemakaman ini. Warga Koja merasa mendapat tekanan dari pihak aparat yg terus merangsek masuk areal pemakaman dengan tujuan untuk "menghancurkan" areal tesebut guna dijadikan Ruang Terbuka Hijau & Terminal Peti Kemas. Mereka (warga Koja) merasa memiliki hak untuk mempertahankan areal makam tersebut namun hak tersebut seolah tidak diindahkan oleh pihak aparat-Pemprov DKI-Pelindo...Begitu pun dengan Satpol PP, mereka juga merasa mendapatkan tekanan dari "pihak atas" untuk merelokasi areal tersebut sebagai bentuk tanggung jawab atas kinerja mereka.

Tekanan yang berbenturan inilah yg pada akhirnya menimbulkan suasana chaos dan anomie yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Alangkah baiknya apabila pemerintah sebagai pemegang kekuasaan bertindak sebagai mediator dalam kasus ini, pihak MUI sudah berupaya untuk menjadi penengah dalam kasus ini namun apabila pemerintah tidak turun tangan dan pihak media massa/elektronik terus menerus menayangkan tragedi kekerasan ini secara intens maka solusi tidak akan tercapai. Saya yakin, baik warga maupun Satpol PP hanya menjadi kambing hitam dari kepentingan "atasan". Semoga arwah para korban Tragedi Priok Berdarah (14/4) bisa diterima disisiNya amin...

(by: Ajeng Agrita D.W)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar